KPU Minta Informasi MA dan KPK
KPU tak hanya meneliti berkas caleg, untuk memastikan mereka bukan bekas napi perkara korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan anak. KPU juga minta informasi ke MA, KPK, dan menunggu masukan publik.
Jakarta, Kompas- Komisi Pemilihan Umum meminta informasi Mahkamah Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi, untuk memastikan bahwa nama-nama bakal caleg yang dikirimkan partai politik, bukan bekas narapidana perkara korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak.
Pada saat yang sama, KPU juga memverifikasi persyaratan caleg, antara lain dengan mencermati berkas pendaftaran caleg. Dalam berkas pendaftaran tersebut, ada surat keterangan dari pengadilan yang menerangkan bahwa caleg bersangkutan tidak pernah menjadi terpidana dari perkara dengan ancaman hukuman lima tahun atau lebih. Jika caleg pernah menjalani pidana ringan atau perkara politik, hal itu pun harus dibuktikan dengan putusan pengadilan.
”Jika memeriksa dokumen secara detail, sebenarnya sudah kelihatan, apakah dia itu mantan terpidana atau bukan mantan terpidana. Perkara yang dihadapi caleg itu juga kelihatan. Jika perkaranya korupsi, kejahatan seksual anak, dan bandar narkoba, sudah pasti dicoret. Namun, jika ada informasi dari MA, proses verifikasi KPU akan lebih mudah,” kata Ketua KPU Arief Budiman, Jumat (20/7/2018), di Jakarta.
Sejumlah parpol ditengarai tidak memenuhi pakta integritas untuk tidak mencalonkan bekas napi perkara korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak.
Partai Golkar, misalnya, tetap mencalonkan du kadernya yang mantan napi korupsi, sebagai caleg. Mereka adalah Ketua DPD I Golkar Aceh TM Nurlif dan Ketua Harian DPD I Golkar Jawa Tengah Iqbal Wibisono. Sementara Partai Nasdem mengusung Mandra, yang pernah dipidana satu tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor. M Taufik yang pernah dipidana dalam perkara korupsi, juga tetap diusung oleh Partai Gerindra untuk caleg DPRD DKI. PDI-P juga mengusung Sumi Harsono, mantan terpidana perkara korupsi, untuk kursi DPRD Sidoarjo. DPD Partai Demokrat Provinsi Jambi diduga mencalonkan dua bekas napi korupsi menjadi caleg.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, KPK telah menerima surat permintaan dari KPU terkait daftar mantan terpidana korupsi yang akan dipakai sebagai bahan verifikasi caleg. Berdasarkan data KPK, jumlah terpidana perkara korupsi yang diproses hukum oleh lembaga itu yang telah berkekuatan hukum tetap hingga Mei 2018, ada 520 orang. ”Daftar lengkapnya akan kami langsung kami serahkan kepada KPU,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah mengatakan, pihaknya belum menerima surat dari KPU. Jika surat sudah diterima, MA membutuhkan waktu untuk menyurati setiap pengadilan tinggi di daerah guna mengumpulkan informasi putusan dari pengadilan tipikor di setiap wilayah.
Anggota KPU, Ilham Saputra, menuturkan, KPU juga memanfaatkan situs resmi MA dengan memasukkan nama-nama caleg ke dalam sistem pencarian untuk memastikan bahwa caleg bersangkutan tidak pernah terlibat dalam tiga kejahatan yang diatur di dalam PKPU Nomor 20/2018.
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menuturkan, dua kader Golkar yang bekas narapidana korupsi, yaitu TM Nurlif dan Iqbal Wibisono, tetap diusung jadi caleg karena permintaan konstituen. Oleh karena itu, Golkar meyakini pencalonan kedua kader itu tidak akan berdampak pada citra ataupun elektabilitas partai. Apalagi, Nurlif dan Iqbal, sudah cukup lama mengabdi pada Partai Golkar dan punya basis massa yang besar.
Namun, Partai Golkar juga sudah menyiapkan sejumlah skenario jika akhirnya KPU mencoret caleg mereka yang bekas napi perkara korupsi.
Sebelumnya, PDI-P dan Partai Demokrat juga menyatakan tak akan menggugat ke Bawaslu jika KPU mencoret nama caleg mereka yang ternyata bermasalah.
Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria mengatakan, keputusan pencalonan Taufik sebagai anggota DPRD DKI Jakarta merupakan kewenangan dari DPD Gerindra DKI Jakarta.
Perbaikan berkas
KPU menargetkan, hari ini sudah bisa menyerahkan hasil verifikasi caleg yang mereka lakukan ke parpol. Parpol punya waktu 10 hari, yakni 22-31 Juli untuk melakukan perbaikan berkas dan persyaratan caleg. ”Jika ada mantan napi korupsi, KPU akan mengembalikannya ke parpol. Parpol masih bisa mengganti caleg bersangkutan dengan caleg lain. Bahkan, sampai dengan penetapan daftar calon sementara (DCS), jika baru ketahuan ada mantan napi korupsi, caleg bersangkutan masih bisa diganti yang lain,” kata Arief Budiman.
Publik diharapkan terlibat aktif dalam memantau keberadaan bekas napi korupsi yang dicalonkan oleh parpol. Saat DCS ditetapkan, publik diundang untuk ikut mengecek apakah ada mantan napi korupsi yang namanya terdaftar sebagai caleg. Pasalnya, ada lebih dari 200.000 caleg untuk DPR dan DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang harus diverifikasi oleh KPU RI dan KPU di daerah.
”Publik yang melihat ada caleg dari mantan napi korupsi lolos verifikasi, sebaiknya menginformasikan kepada KPU karena warga yang lebih mengenal setiap calon itu. Jika ada laporan mengenai hal itu, KPU akan mengecek kebenarannya,” ujarnya.
Persyaratan lain bagi caleg juga harus dilengkapi dan diperbaiki pada 22-31 Juli 2018. Persyaratan itu, antara lain keabsahan surat atau dokumen caleg, seperti ijazah, dan hasil cek kesehatan.