Menatap Misi Nyaris Mustahil
Di atas kertas, judoka Indonesia nyaris tidak berpeluang dalam perebutan medali Asian Games 2018. Namun, judo bukanlah cabang olahraga terukur. Judoka nasional masih berharap tuah tuan rumah seraya berusaha memangkas jarak kualitas dengan negara-negara unggulan di Asia.
Di lingkup Asia Tenggara, Indonesia adalah raja judo. Tim Merah Putih dua kali berturut-turut menguasai juara umum judo dalam SEA Games Singapura 2015 dan Kuala Lumpur 2017.
Namun kondisi sebaliknya di kawasan Asia, judoka nasional hanya pelengkap. Kemampuan mereka masih jauh tertinggal dengan negara-negara Asia yang merupakan penguasa judo dunia, antara lain, Jepang, Korea Selatan, Mongolia, Kazakhstan, Azerbaijan, Uzbekistan, dan China.
Salah satu yang harus dihadapi Indonesia adalah Jepang. Negara asal judo tersebut merupakan peraih medali emas terbanyak dalam Kejuaraan Dunia 2017 di Budapest, Hongaria, dan Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Judoka “Negeri Sakura” juga bertaburan di dalam peringkat 100 besar dunia versi Federasi Judo Internasional (IJF), sedangkan tidak satu pun dari 16 judoka pelatnas yang masuk dalam daftar itu.
“Secara kualitas kita masih jauh tertinggal. Dalam turnamen Asia, atlet kita biasanya kalah di babak pertama atau kedua. Sangat sulit berprestasi di Asia karena merupakan kiblat judo dunia,” ucap manajer judo Amalsyah Tarmizi, Sabtu (14/7/2018), di Jakarta.
Kalau bisa mengalahkan tingkat kedua dan tidak ketemu unggulan di babak awal, ada harapan masuk semifinal
Untuk menyiasati kesenjangan itu, Pengurus Besar Persatuan Judo Seluruh Indonesia (PB PJSI) menggembleng atlet pelatnas. Selama empat bulan, judoka berlatih tanding di universitas lokal Jepang, di Tenri dan Nara. Selain itu, atlet dilatih langsung oleh juara dunia judo empat kali pada era 1980-an, Shozo Fujii.
Serangkaian program pelatnas tersebut ditujukan agar atlet pelatnas mampu bersaing dengan kekuatan tingkat kedua Asia, seperti Taiwan, India, dan Pakistan. “Kalau bisa mengalahkan tingkat kedua dan tidak ketemu unggulan di babak awal, ada harapan masuk semifinal. Semua bergantung keberuntungan saat undian,” tutur Amalsyah.
Program pelatnas mulai membuahkan hasil. Awal Juli 2018, judoka pelatnas Ni Kadek Anny Pandini (25) meraih perunggu di kelas -57 kilogram putri di Taiwan Asia Terbuka 2018. Prestasi ini merupakan yang pertama kali bagi atlet pelatnas di tingkat Asia.
Undian Anny cukup menguntungkan. Ia bertemu dengan judoka yang tidak diunggulkan dari Vietnam dan Taiwan di babak awal. Baru pada semifinal, Anny dikalahkan juara dunia 2017 Sumiya Dorjsuren asal Mongolia yang kemudian meraih emas.
Anny mampu mengungguli judoka tingkat kedua Asia. “Kemarin itu tenang banget, tidak grogi, pas tanding jadi all out. Saya yakin karena sudah sering latih tanding di Jepang,” kata atlet asal Bali itu.
Bila beruntung dalam undian, atlet pelatnas lainnya seperti Iksan Apriyadi (29) di kelas -73 kg, dan Horas Manurung (30) di kelas -90 kg, juga berpeluang masuk semifinal. Mereka adalah judoka senior yang sempat bertanding di Asian Games Incheon 2014, tetapi kalah di babak awal. Harapan juga muncul di kelas -66 kg melalui Mochammad Syaiful Raharjo (31), yang merupakan peraih emas di SEA Games 2015 dan 2017.
Reinkarnasi padepokan
Salah satu penyebab ketertinggalan prestasi Indonesia dengan negara Asia lainnya adalah regenerasi yang buruk. Anny, Horas, Syaiful, dan Iksan merupakan tulang punggung judo nasional sejak 2011. Mereka belum memiliki pelapis dengan kualitas setara hingga kini.
Di Jepang, dua judoka mereka menguasai kelas -60 kg putra. Ryuju Nagayama (22) merupakan peringkat pertama dunia, sementara seniornya Naohisa Takato (25) di peringkat kedua. Adapun Takato adalah juara dunia 2017.
Dominasi Jepang berasal dari regenerasi lewat pembinaan jangka panjang. Dalam tingkat sekolah, pelajar dibebankan kurikulum judo. Pelajar yang memiliki bakat akan difasilitasi dengan pelatihan di universitas lokal. Dari universitas, mereka mengambil bibit-bibit atlet nasional yang akan dibina berkesinambungan dan dibawa bertanding ke tingkat internasional.
Pembinaan di PJI krusial untuk prestasi judo
Permasalahan regenerasi judoka nasional berakar dari pembinaan jangka panjang di Padepokan Judo Indonesia (PJI), di Ciloto, Jawa Barat, yang vakum sejak 2013. Program judoka yunior itu baru kembali hadir pada 2018 saat kepengurusan Ketua Umum PB PJSI Jenderal TNI Mulyono.
“Pembinaan di PJI krusial untuk prestasi judo. Pembinaan yang dimulai 1993 itu merupakan kunci dari regenerasi atlet muda nasional," ucap mantan judoka nasional yang merupakan alumni pembinaan yunior PJI Ira Purnamasari.
Ira peraih emas SEA Games 2003, 2005, dan 2007, menceritakan, di PJI, judoka yunior yang berbakat dilatih selama bertahun-tahun tanpa putus. Mereka difasilitasi dalam pendidikan dan kebutuhan harian. Atlet muda itu biasanya ikut berlatih bersama pelatnas yang berada di Ciloto. Hal itu membuat atlet cepat berkembang.
Atmosfer di Ciloto pun menjadi penuh dengan persaingan. Senior akan terpacu agar tidak terdegradrasi. Yunior yang masih muda juga akan menunjukkan semangat lebih mengejar kemampuan senior. Selain itu, judoka pelatnas pun memiliki lawan latih tanding.
Namun demikian, pembinaan PJI baru dimulai kembali. Butuh 3-5 tahun pembinaan yang konsisten sampai atlet yunior mampu menggantikan senior dan bersaing di Asia. Itu pun dengan syarat, judoka muda diberikan jam terbang di kejuaraan internasional.