JAKARTA, KOMPAS — Impor bahan baku kakao terus melonjak seiring meningkatnya permintaan produk olahan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Jika produksi dan produktivitas kakao tak dipacu, impor bakal lebih besar sebab pasar terus tumbuh.
Berdasarkan data Asosiasi Industri Kakao Indonesia, impor biji kakao mencapai 112.712 ton selama kurun Januari-Mei 2018. Angka itu naik 41,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 79.792 ton.
Peningkatan itu sejalan dengan penurunan produksi kakao dalam negeri.
Menurut data AIKI, produksi kakao Indonesia turun dari 520.000 ton tahun 2007 menjadi 340.000 ton pada 2016. Padahal, kapasitas terpasang industri pengolah kakao di Indonesia diperkirakan mencapai 800.000 ton per tahun.
Pada sisi lain, pasar terus tumbuh. Potensi ekspor juga bertambah karena kebutuhan kakao olahan meningkat secara global. ”Rata-rata kenaikannya mencapai 2-4 persen per tahun. Kebutuhan produk kakao olahan yang meningkat ini karena sejumlah negara mengalami musim dingin ekstrem dan membutuhkan produk kakao olahan untuk menghangatkan tubuh,” kata Ketua Umum AIKI Pieter Jasman saat dihubungi, Jumat (20/7/2018).
Ekspor kakao olahan asal Indonesia, menurut AIKI, naik dari 121.684 ton pada Januari-Mei 2017 menjadi 135.444 ton pada Januari-Mei 2018. Namun, nilainya turun dari 443,3 juta dollar AS menjadi 432,6 juta dollar AS.
Impor
Pieter menambahkan, volume ekspor kakao ditargetkan tahun ini naik 10-20 persen dibandingkan tahun lalu, yakni 303.880 ton. Oleh karena itu, impor bahan baku pun diperkirakan meningkat 10-20 persen dibandingkan tahun lalu yang mencapai 226.313 ton.
Kebutuhan optimal industri kakao mencapai 800.000 ton per tahun. Pieter berharap produksi dan produktivitas perkebunan kakao nasional terus dipacu agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Pieter menilai perkebunan kakao membutuhkan bantuan pupuk, bibit, dan pendampingan agar dapat terdongkrak. ”Hal ini perlu difasilitasi oleh pemerintah,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia Arief Zamroni menambahkan, mayoritas hasil panen petani diserap oleh industri. Pada 2017, hasil panen biji kakao diperkirakan mencapai 400.000-430.000 ton.
Menurut Arief, petani kakao membutuhkan harga yang menarik untuk memacu produksinya. ”Saat ini petani sedang bergairah menanam kakao karena harga jualnya Rp 23.000-Rp 32.000 per kilogram,” katanya.
Program pemerintah seperti gerakan nasional tempo lalu, menurut Ketua Dewan Kakao Indonesia Soetanto Abdoellah, perlu dijalankan kembali. Lewat program itu, petani kakao bisa mendapatkan bantuan bibit, pupuk, pestisida, bahkan modal.
Pemerintah dinilai perlu memberi perhatian lebih pada kesejahteraan petani kecil. Di hilir, pelaku industri butuh iklim yang mendukung, termasuk soal bea masuk bahan baku.