ENDE, KOMPAS — Ratusan desa wisata di Nusa Tenggara Timur butuh penguatan dari setiap pemerintah daerah, baik pemerintah kabupaten maupun provinsi. Alokasi anggaran di bidang kepariwisataan dinilai sangat terbatas dan tidak tepat sasaran. Akibatnya, alokasi anggaran yang ada malah tak membuat destinasi wisata di NTT menarik untuk wisatawan.
Ketua DPC Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia (Asita) Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) Cheely Taso di Ende, Sabtu (21/7/2018), mengatakan, NTT memiliki sekitar 200 desa yang telah digarap, sebagian besar tersebar di Pulau Flores, dan Sumba. Sebenarnya ada lebih dari 2.000 desa wisata dari total 3.270 desa di NTT apabila mendapatkan dukungan dan perhatian dari pemkab masing-masing.
Semestinya setiap kabupaten memiliki lebih dari 30 desa wisata untuk mendongkrak wisatawan masuk desa. Instansi teknis bertugas mendorong pembentukan desa wisata ini. Setiap desa punya potensi unggulan wisata masing-masing.
”Desa wisata yang ada saat ini tumbuh dari pemeliharaan sejumlah tradisi budaya atau adat di desa itu oleh tokoh masyarakat desa. Kemudian didukung sejumlah destinasi wisata desa, seperti rumah adat, air terjun, ritual adat tahunan desa, kerajinan khas, makanan khas, seni budaya desa, dan keunggulan lain. Kehadiran desa wisata atas inisiatif masyarakat desa atau LSM setempat. Setelah terbentuk dan digelar sejumlah kegiatan yang menghadirkan turis, pemda mulai melirik desa itu,” kata Taso.
Namun, dinas pariwisata dan instansi pemda terkait biasanya sekadar mengambil data (informasi desa), gambar, dan membuka acara kunjungan perdana wisatawan masuk desa itu. Belum ada komitmen pemda membangun akses jalan menuju desa, jaringan listrik, air bersih, MCK, dan jaringan telepon di desa itu.
Desa wisata yang ada saat ini tumbuh dari pemeliharaan sejumlah tradisi budaya atau adat di desa itu oleh tokoh masyarakat desa.
Wisatawan mengeluhkan akses jalan yang buruk menuju desa-desa wisata, tidak ada jaringan listrik hingga internet sehingga sulit mengoperasikan gawai. Tidak ada pula jaringan telepon seluler masuk desa wisata meskipun desa itu sudah dikenal wisatawan dari dalam dan luar negeri. Tidak ada pembinaan sumber daya warga untuk kelola wisata desa.
Jika ada kegiatan dari dinas pariwisata di desa wisata, staf dari dinas itu yang mengambil alih semua acara dan tak melibatkan pengusaha pelaku wisata lokal atau masyarakat desa. Organisasi masyarakat yang terlibat di bidang pariwisata, seperti Asita, PHRI, agen wisata, serta travel, jarang dilibatkan dalam acara-acara pariwisata, tetapi pemda selalu ingin terlibat sendiri.
”Tour de Flores atau TDF apa untungnya bagi pengembangan wisata di NTT. Itu sama sekali tidak ada. Mereka yang bersepeda itu adalah atlet, pebalap sepeda nasional dan internasional, bukan pelaku usaha wisata. Masyarakat tidak dapatkan apa-apa dari TDF itu, kecuali dinas pariwisata provinsi dan kabupaten, serta sejumlah instansi terkait,” kata Taso.
Secara terpisah, pendiri dan pembina sanggar wisata ”Liang Dara” Desa Liang Dara Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, Kristo Nison, mengatakan, desanya masih membutuhkan jaringan listrik, telepon, dan pelatihan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, bagi masyarakat. Sekitar enam rumah warga di desa itu sudah dijadikan homestay bagi turis-turis yang mau menginap, tetapi mereka kesulitan listrik dan jaringan telepon seluler.
Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT Marius Ardu Jelamu mengatakan, sejumlah kegiatan pariwisata di daerahnya, seperti TDF, tetap berdampak besar bagi kehadiran wisatawan di NTT. Setiap peserta dengan cara masing-masing mempromosikan sejumlah keindahan di NTT selama TDF berlangsung melalui media sosial. Kenaikan jumlah kunjungan wisatawan ke NTT akhir-akhir ini salah satu di antaranya atas promosi TDF.
”Dana TDF tidak sampai belasan miliar rupiah, paling Rp 2 miliar saja. Dana itu terserap habis untuk kegiatan TDF, seperti membagi hadiah kepada para juara tiap etape, perhotelan, keamanan, dan seterusnya. Silakan saja kalau memang mau diaudit,” kata Jelamu.