Transfer Politisi dan Kekuasaan
Kabar adanya biaya transfer bagi anggota DPR yang bersedia pindah partai untuk Pemilu 2019 merupakan ancaman terhadap kualitas demokrasi dan parlemen.
Kabar adanya biaya transfer bagi anggota DPR yang pindah partai pada Pemilu 2019 pertama kali mencuat dari pernyataan sejumlah elite Partai Amanat Nasional. Mereka mengutip pengakuan kader yang juga mantan anggota DPR dari PAN, Lucky Hakim, yang akan maju menjadi calon anggota legislatif dari Partai Nasdem pada Pemilu mendatang.
Disebutkan, Lucky mengaku dijanjikan uang Rp 5 miliar agar pindah ke Nasdem. Sebanyak Rp 2 miliar di antaranya telah diterima politisi yang berlatar belakang artis ini (Kompas, 19/7/2018). Namun, Lucky dan Nasdem membantah informasi tersebut.
Namun, kabar tentang adanya biaya transfer tidak hanya muncul dalam kasus Lucky. Anggota DPR dari Partai Hanura, Ferry Kase, juga mengaku sering menerima tawaran pindah partai ke partai lain dengan iming-iming uang.
Tawaran itu datang pascakonflik di Hanura, Januari lalu, yang membuat partai itu terbelah ke dua kepengurusan, satu di bawah kepemimpinan Oesman Sapta Odang dan satu lagi dipimpin Daryatmo. Tawaran untuk pindah ini, menurut Ferry, juga diterima oleh anggota DPR dari Hanura lainnya.
”Saat bertemu pengurus partai lain, anggota DPR dari partai lain atau rekan anggota DPR dari Hanura yang sudah memutuskan pindah partai, mereka menawarkan bergabung,” ujar Ferry.
Dari tawaran yang masuk, di antaranya ada yang menawarkan biaya transfer. ”Paling tinggi Rp 5 miliar,” katanya.
Biaya transfer itu salah satunya untuk kompensasi dari hilangnya pendapatan anggota DPR yang pindah partai. Hilangnya pendapatan itu terjadi karena posisi mereka di parlemen akan diganti oleh partai lamanya sebelum masa jabatannya habis pada Oktober 2019.
”Kompensasi ini dihitung dari gaji, tunjangan, dan penghasilan lain yang bisa diterima anggota DPR jika dia masih menjabat hingga akhir masa jabatannya di periode ini, yaitu Oktober 2019. Ya, total sekitar Rp 3 miliar,” kata Ferry.
Selain untuk kompensasi, biaya transfer ini juga untuk modal kampanye pada Pemilu 2019. Besarnya tergantung pada hasil negosiasi dengan partai yang mengajak bergabung.
Namun, Ferry menyatakan, dirinya tak terpengaruh dengan tawaran itu. Dia tetap memilih bertahan di Hanura karena ingin menuntaskan kepercayaan pemilih yang memilihnya pada Pemilu 2014. ”Saya diberi amanah menjadi wakil mereka hingga Oktober 2019. Amanah ini saya jaga,” ujarnya.
Kompensasi ini dihitung dari gaji, tunjangan, dan penghasilan lain yang bisa diterima anggota DPR jika dia masih menjabat hingga akhir masa jabatannya di periode ini, yaitu Oktober 2019. Ya, total sekitar Rp 3 miliar
Kabar biaya transfer itu juga didengar Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani. Dia mendengar anggota DPR dari PPP, Okky Asokawati, yang memutuskan menjadi caleg dari Nasdem ditawari uang Rp 2 miliar hingga Rp 2,5 miliar.
Namun, Okky membantahnya. Dia mengatakan tak ada bantuan dalam bentuk uang dari Nasdem. Bantuan yang ditawarkan Nasdem hanya berupa pengadaan alat peraga kampanye, seperti bendera dan kaus dan bantuan publikasi.
Telah lama
Praktik pembajakan anggota DPR dari partai lain dengan iming-iming uang itu ditengarai sudah muncul menjelang pemilu sebelumnya. Menurut anggota DPR periode 2009-2014 dari Fraksi PAN, Abdul Hakam Naja, dirinya telah mendengar praktik itu menjelang pendaftaran caleg untuk Pemilu 2014.
Namun, kala itu, upaya pembajakan dilakukan perseorangan. Sementara kali ini, dilihatnya lebih masif dan sistematis, serta diduga telah menjadi kebijakan sebagian partai.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, dugaan pembajakan ini tak akan terjadi jika saat pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu, DPR dan pemerintah memasukkan syarat kader partai dalam pencalonan anggota legislatif.
”Kami dulu mengusulkan, syarat menjadi caleg harus tiga tahun menjadi kader partai, dihitung dari sebelum waktu pendaftaran bakal caleg oleh partai ke KPU,” ujarnya.
Selain menghindari pembajakan, kebijakan itu juga memberi waktu bagi partai itu menginternalisasi nilai-nilai, ideologi, dan platform partai kepada para caleg yang akan mereka ajukan. Namun, usulan ini ditolak fraksi-fraksi di DPR.
Akibatnya, dugaan pembajakan kader pun menjadi terbuka lebar. Dengan membajak kader partai lain, apalagi jika orang itu anggota DPR, peluang mendulang suara bagi partai di pemilu mendatang akan lebih besar. Cara mendulang suara ini, bagi partai, jauh lebih singkat dan mudah dibandingkan lewat kaderisasi, yang berbiaya besar tetapi belum tentu berhasil.
Dengan membajak kader partai lain, apalagi jika orang itu anggota DPR, peluang mendulang suara bagi partai di pemilu mendatang akan lebih besar. Cara mendulang suara ini, bagi partai, jauh lebih singkat dan mudah dibandingkan lewat kaderisasi, yang berbiaya besar tetapi belum tentu berhasil.
Pembajakan kader partai lain makin didorong oleh ambang batas parlemen di Pemilu 2019 yang besarnya 4 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan Pemilu 2014 yang besarnya 3,5 persen. Ini artinya, partai harus dapat minimal 4 persen suara sah nasional untuk dapat mendudukkan wakilnya di DPR.
Namun, pembajakan kader ini membuat praktik demokrasi menjadi sangat transaksional. Politisi yang lahir dari kondisi itu cenderung hanya mengejar kekuasaan untuk dirinya sendiri. ”Ancaman besarnya adalah degradasi mutu dan kualitas parlemen periode selanjutnya,” kata Titi.
Praktik pembajakan itu, kata peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Khairul Fahmi, juga menunjukkan telah matinya ideologi partai.
”Partai berubah dari kelompok orang yang memperjuangkan nilai yang diyakini, ke pertimbangan yang lebih pragmatis. Partai sudah seperti industri,” katanya.
Pembajakan kader juga berpotensi membuat korupsi makin marak. Partai sangat mungkin menuntut penggantian atas modal yang telah dikeluarkan, dan menjadikan hasil bajakannya sebagai alat untuk mengeruk anggaran negara lewat posisinya di lembaga legislatif.
Jika demikian, apa yang didapat oleh rakyat?