Afirmasi Perempuan Belum Seutuhnya Dijalankan Parpol
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Semua parpol telah memenuhi kuota keterwakilan perempuan sebanyak minimal 30 persen dalam proses pendaftaran calon legislatif. Namun, langkah ini dilakukan parpol hanya untuk memenuhi syarat administratif. Afirmasi perempuan belum secara substantif dilakukan parpol.
Peneliti dari The Initiative Institute, Airlangga Pribadi, mengatakan, saat ini afirmasi perempuan belum seutuhnya dijalankan parpol. ”Hal ini terlihat bagaimana komposisi perempuan dalam jajaran kepengurusan utama parpol, seperti jabatan ketua umum, wakil ketua umum, sekjen, serta ketua DPP dan DPD yang masih didominasi laki-laki,” ucapnya dalam acara diskusi ”The Power of Emak-emak”, di Jakarta, Minggu (22/7/2018).
Berdasarkan data dari Litbang Kompas, jumlah perempuan anggota DPR cenderung meningkat dari tahun 1999 hingga 2014. Pada 2009 tercatat 44 perempuan di DPR, kemudian pada 2014 jumlahnya 97 orang atau 17,32 persen.
Airlangga mengatakan, angka tersebut seharusnya masih bisa didorong hingga mencapai 30 persen. Selain itu, meski tren jumlah perempuan di DPR cenderung meningkat, Airlangga menilai keberhasilan kader perempuan di DPR cenderung menurun.
”Hal ini disebabkan karena aspirasi perempuan belum sepenuhnya dijalankan oleh parpol. Beberapa proses politik yang berlangsung tidak menempatkan perempuan sebagai elemen utama dalam pengambilan keputusan,” katanya.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Irine Hiraswari, menjelaskan, perempuan juga sering dicap sebagai sosok yang sensitif perasaannya ketika menjabat di posisi tertentu. ”Hal tersebut merupakan hal yang wajar karena seseorang terkadang perlu untuk melibatkan perasaan dalam mengambil keputusan politik,” ucapnya.
Irine mengatakan, meski keterwakilan perempuan sudah terpenuhi dalam proses pendaftaran caleg, para caleg perempuan ini perlu mendapatkan pendidikan politik yang setara dengan caleg laki-laki. Kemudian, dalam proses pemilihan nantinya, para perempuan juga kerap berhadapan dengan paham patriarki yang masih kental di beberapa daerah.
”Selain itu, perlu dilihat juga seberapa banyak perempuan yang mendapatkan nomor urut satu dalam proses pendaftaran caleg. Hal ini bisa menjadi salah satu indikator apakah parpol tersebut peduli dengan keterwakilan perempuan,” ujarnya.
Menurut Irine, meski KPU telah mengatakan bahwa nomor urut tidak perlu dijadikan pertimbangan bagi pemilih, sejumlah caleg masih mementingkan nomor urut ini. ”Karena, secara psikologis, para pemilih cenderung melihat caleg berdasarkan nomor urutnya,” katanya.
Aktivis perempuan, Wanda Hamidah mengatakan, perempuan merupakan sosok yang paling peka jika ada kebijakan politik yang menyangkut keseharian rumah tangga. ”Seperti masalah pendidikan anak, harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi. Perempuan pasti mengerti masalah tersebut karena mereka terbiasa mengurus rumah tangga sehari-hari,” katanya.
Wanda menambahkan, banyak juga perempuan cerdas yang belum terlibat atau memperjuangkan program-program yang dibutuhkan perempuan di ranah politik. ”Padahal, banyak program perempuan yang bisa diajukan dalam ranah politik, seperti pembangunan RPTRA yang bisa menciptakan ruang aman bagi perempuan dan anak,” katanya.