Daerah Bergerak Hidupkan Kopi
JAKARTA, KOMPAS Banyak daerah di Indonesia mulai bergairah menghidupkan kopi. Gerakan menghidupkan kopi ini turut menumbuhkan perekonomian lokal. Di sejumlah tempat, daya tawar petani mulai meningkat.
Di Bondowoso, Jawa Timur, petani kini bisa menjual biji kopi beras Rp 90.000 per kilogram untuk jenis spesialti. Padahal, sembilan tahun lalu, kopi serupa hanya dihargai Rp 17.000 per kg dengan kondisi asalan. Tak heran, petani yang dulu enggan menanam kopi, kini kembali ke ladang.
Di Aceh Tengah, lahan kopi mencapai 80.000 hektar (ha). Harga kopi Aceh jauh lebih tinggi dibandingkan harga rata-rata kopi arabika dunia. Jika harga arabika rata-rata 2,5 dollar AS per kg, kopi Gayo bisa lebih dari 6 dollar AS. Gairah menghidupkan kopi juga terlihat di Papua, Malang, Sumatera Utara, dan Jambi.
Fenomena kebangkitan kopi di daerah-daerah mengemuka dalam diskusi ”Mengelola Kekayaan Kopi Nusantara” di Bentara Budaya Jakarta, Sabtu (21/7/2018). Hadir sebagai pembicara Bupati Bondowoso Amin Said Husni, Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar, Kepala Balai Penelitian Kopi Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Sukrisno Widyotomo, dan Penasihat Dewan Kopi Indonesia Surip Mawardi. Diskusi itu merupakan salah satu rangkaian Festival Kopi Nusantara yang diselenggarakan harian Kompas. Festival berlangsung sejak Kamis (19/7) dan akan berakhir hari Minggu (22/7).
Amin Said Husni dalam diskusi mengatakan, kopi menjadi hasil perkebunan yang berhasil mengangkat ekonomi Bondowoso. Sebelumnya, petani kopi Bondowoso hanya memanen kopi robusta di kebun warisan. Kopi hanya dihargai Rp 17.000 per kg. Padahal, secara geografis Bondowoso tergolong subur dan cocok untuk arabika spesialti. ”Belanda membuka lahan di Bondowoso dan hanya kawasan ini saja yang selamat dari serangan karat daun yang pernah menghancurkan kebun kopi Jawa,” kata Amin.
Pemerintah Kabupaten Bondowoso merintis kerja sama dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) Jember, sembilan tahun lalu. Kerja sama diperluas dengan merangkul Bank Indonesia untuk mendukung peningkatan kemampuan petani, Bank Jatim untuk permodalan, eksportir untuk pasar, Perhutani untuk ketersediaan lahan, dan asosiasi kopi untuk memberi dukungan ke petani.
Hasil kerja sama itu membuahkan hasil. Petani Bondowoso kini tak lagi menjual kopi asalan. Sebagian dari mereka menggeluti kopi spesialti yang bernilai tinggi.
Demikian pula di Aceh. Kopi Gayo di pasaran dihargai mahal karena predikat spesialti yang didapatkan. ”Kami memproses kopi dengan hati-hati. Cuci tangan wajib dilakukan, sepatu harus bersih. Sempat ada tuduhan kopi kami tak diolah higienis, kami buktikan bahwa kami memperlakukan kopi dengan serius,” kata Shabela
Kini 80.000 ha kebun arabika di Gayo dikelola 33.100 keluarga. Kopi Gayo mengisi pasar di 17 negara di dunia. Ia mendorong peremajaan tanaman karena ada kekhawatiran produktivitas turun, tetapi petani di Gayo takut kehilangan pendapatan dalam proses peremajaan.
Harga tinggi
Surip Mawardi mengatakan, di pasar internasional, kopi spesialti Indonesia mendapatkan harga tinggi. Sebagai contoh, harga kopi spesialti Gayo 6 dollar AS lebih per kg. Harga rata-rata kopi robusta 2,4 dollar AS. Arabika Brasil dihargai 2,38 dollar AS. ”Kopi asalan pun dihargai tinggi. Untuk kopi dengan kadar air 15 persen dan 15 persen kotoran dihargai Rp 60.000 per kg. Pembeli dari Finlandia sempat keberatan, tetapi mereka tetap membeli,” kata Surip.
Karena itu, Dewan Kopi Indonesia menggenjot kopi spesialti. Gayo kini sudah masuk dalam pengakuan kopi spesialti dunia. Dewan Kopi mendorong daerah lain agar harga di pasaran turut terdongkrak.
Untuk mendukung kemajuan kopi, Puslitkoka bekerja sama dengan sejumlah daerah untuk mendampingi petani kopi. Menurut Sukrisno, Puslitkoka juga memproduksi bibit kopi akar super arabika dan robusta. Bibit ini diklaim bisa menjadi jawaban dari tantangan perubahan iklim dan perbaikan kuantitas sekaligus kualitas kopi.
Pasar baru
Dalam pameran kopi, petani juga mendapatkan pasar baru. Petani Papua, misalnya, mendapatkan permintaan kopi arabika sebanyak 1 ton. ”Kami senang sekaligus bingung bagaimana memenuhi permintaan tersebut. Sementara ini, kami layani yang bisa dulu,” kata Paulus Sarira dari tim Papua.
Tim Papua, menurut Paulus, bersemangat memasarkan kopi di Festival Kopi Nusantara. Mereka yang terdiri atas pengusaha dan petani patungan untuk membiayai ongkos ke Jakarta.
Pemilik usaha Labajo Flores Coffee, Werry Tan, menyambut gembira besarnya antusiasme pengunjung akan kopi lawas. Di Flores, kopi Juria menjadi kopi yang sangat diminati belakangan ini karena langka. ”Stok kopi sejak hari pertama habis. Kami harus cepat-cepat mendatangkan kembali,” ujarnya.
Beberapa jenis kopi unik yang ditawarkan petani ludes di hari pertama. Kopi jenis typika dan maragogype dari PTPN 12 salah satunya. Robusta aroma cokelat dari Sumba Barat Daya pun habis pada hari pertama.
Gerai alat penggorengan Onebean menjadi salah satu yang ramai pengunjung. Pengunjung antre untuk bisa menggoreng kopi di gerai itu.
Kelas sangrai kopi yang dilatih oleh produsen mesin sangrai, Johny Rahadi ”Uncle John”, pun ramai peminat. Dalam kelas itu, para peserta diajari memilih biji beras hijau (green bean) yang benar dan diajak menyangrai untuk menghasilkan kopi spesialti. (NIT/ITA)