Dongeng Langit yang Mulai Dilupakan
Rekaman masyarakat Nusantara terhadap terjadinya gerhana tak hanya dalam bentuk prasasti dan candi. Kisah bertutur dalam bentuk dongeng, mitos, dan legenda tentang gerhana, Bulan, atau benda-benda langit lain pun banyak dimiliki suku-suku bangsa Nusantara. Namun, cerita yang memberi banyak manfaat pada pengembangan imajinasi dan perilaku anak itu kini mulai ditinggalkan.
Salah satu dongeng tentang gerhana yang banyak diceritakan adalah kisah raksasa Batara Kala atau Kala Rahu yang menelan Dewa Matahari atau Dewi Bulan. Tindakan itu dilakukan sang raksasa untuk balas dendam karena Dewa Matahari dan Dewi Bulan telah mengadukan Batara Kala kepada Dewa Wisnu saat sedang mencuri air keabadian atau tirta amerta.
Mitos itu membuat masyarakat di sejumlah daerah di masa lalu membunyikan kentongan atau berbagai tetabuhan agar Batara Kala memuntahkan kembali Matahari dan Bulan. Meski kisah itu ditemukan di Jawa, sejumlah daerah lain, seperti Bali, juga memiliki kisah yang mirip meski ada sedikit variasi.
Dongeng lain tentang Bulan yang cukup populer adalah kisah Nini Anteh di Tatar Pasundan. Untuk menghindari godaan dari pria yang tak disukainya, Anteh yang merupakan penenun dan pembuat baju ternama berdoa agar Tuhan melindunginya.
Tiba-tiba, cahaya Bulan menarik Anteh bersama kucingnya, Candramawat, menuju Bulan. Di Bulan itulah, kini Anteh dan Candramawat tinggal sehingga saat Bulan purnama akan terlihat seolah-olah ada Nini Anteh yang sedang menenun beserta kucingnya.
Berbagai kisah tentang benda-benda langit itu mulai dikumpulkan sejumlah astronom yang tertarik dengan kisah-kisah etnoastronomi Indonesia dalam Indonesia Star-Lore. Dongeng tentang benda-benda langit itu bisa digunakan untuk memahami bagaimana sebuah peradaban masyarakat memahami lingkungannya.
Sejumlah kisah yang sudah dikumpulkan itu antara lain cerita Bulan Pejeng dari Bali yang bercerita tentang Bulan jatuh, legenda manusia Bulan Lawaendrona dari Nias, atau kisah pemecah Matahari menjadi Bulan dan bintang-bintang dari Papua.
Ada pula kisah Kilip, pemuda suku Dayak Benoaq dan pemaian alat musik sampe yang menyelamatkan Putri Bulan dari serangan raksasa Rahu, juga kisah naga raksasa Hala Na Godang dari Batak yang menelan Bulan hingga Bulan hilang setiap bulan saat fase Bulan mati atau Bulan baru.
Kumpulan kisah tutur, baik berupa dongeng, mitologi, legenda, atau cerita rakyat terkait astronomi Indonesia itu sudah diterbitkan dalam bahasa Jepang bersama kisah sejenis dari berbagai negara Asia lainnya. Kini, tim sedang berusaha agar kisah-kisah itu juga bisa diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
”Banyak nilai kearifan lokal yang tersimpan sebagai pesan cerita,” kata kurator Indonesia Star-Lore, Emanuel Sungging Mumpuni. Dari cerita-cerita yang dikumpulkan, tata kelola masyarakat tradisional di masa lalu yang hidup selaras dengan alam juga bisa dipelajari, termasuk karakter mereka apakah termasuk masyarakat agraris atau maritim.
Banyak nilai kearifan lokal yang tersimpan sebagai pesan cerita.
Di luar kisah yang sudah dibukukan, diyakini masih banyak kisah lain tentang benda-benda langit dari berbagai suku bangsa Nusantara yang belum diketahui dan dikumpulkan. Karena itu, butuh dukungan banyak pihak agar kisah-kisah itu tidak hilang ditelan zaman.
Ditinggalkan
Kisah tutur itu kini mulai banyak ditinggalkan masyarakat. Penyebabnya beragam, mulai dari orangtua yang tidak mampu dan tidak punya waktu untuk membacakan dongeng bagi anaknya hingga menganggap dongeng justru membahayakan anak. Penolakan untuk menceritakan kisah-kisah rakyat itu juga muncul di sejumlah sekolah karena khawatir siswa justru menganggap dongeng itu nyata.
Penolakan terhadap dongeng itu pernah dialami komunikator astronomi dan pengelola situs langitselatan.com, Avivah Yamani. Saat itu, dalam kunjungan ke sekolah-sekolah untuk mengenalkan astronomi di sejumlah kota, Avivah mencoba mengenalkan benda-benda langit melalui dongeng untuk menarik perhatian anak-anak.
Namun, dalam satu kesempatan, ada guru taman kanak-kanak yang mendampingi siswa menolak jika siswa-siswanya diberi dongeng dengan alasan khawatir anak-anak sulit membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya khayalan belaka.
Padahal, murid-murid saat itu menginginkan dongeng dan tahu jika dongeng itu adalah kisah tak nyata. Namun, sang guru akhirnya mengizinkan Avivah mendongeng dengan penegasan ke siswa bahwa dongeng itu adalah cerita tidak nyata.
Peneliti etnoastronomi yang juga pembina Himpunan Astronomi Amatir Jakarta, Widya Sawitar, menegaskan, penolakan sebagian guru terhadap dongeng muncul karena ketidakmampuan guru menghubungkan antara dongeng yang sejatinya memang bukan kisah nyata dan kondisi yang sesungguhnya.
Saat ini, banyak guru atau orangtua yang tidak memiliki kemampuan mendongeng. Dongeng yang semakin tidak populer membuat pengetahuan mereka tentang materi dongengnya terbatas. Sementara pengetahuan mereka tentang obyek langit juga sangat kurang, baik akibat tidak ada di materi ajar maupun karena kepekaannya terhadap alam lemah.
Akibatnya, fungsi guru atau orangtua sebagai jembatan antara kisah dongeng dan obyek sebenarnya tidak terjadi. ”Akhirnya, nilai filosofis dongengnya menjadi bias,” katanya.
Imajinasi
Saat ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama para penggiat dongeng sedang gencar mengampanyekan kembali dongeng. Bahkan, sejak 2015, penggiat dongeng itu mendeklarasikan 28 November sebagai Hari Dongeng Nasional. Tanggal itu dipilih sesuai hari kelahiran tokoh dongeng Indonesia, Drs Suyadi atau lebih dikenal sebagai Pak Raden.
Salah satu akar kebudayaan Indonesia adalah budaya bertutur yang tinggi. Karena itu, Indonesia memiliki banyak cerita, termasuk dongeng, yang perlu dilestarikan. Terlebih, mendongeng diyakini punya banyak manfaat bagi perkembangan anak dan keharmonisan keluarga.
Sejumlah studi menunjukkan dongeng bisa digunakan sebagai alat untuk mendidik. Dengan mendengarkan dongeng, anak juga akan memiliki kemampuan komunikasi lebih baik karena mendengarkan kata-kata pilihan dari sang pendongeng. Selain itu, dongeng dengan tema-tema tertentu juga membuat anak lebih peka dengan orang dan lingkungan sekitar.
Dongeng melatih kognisi (pengetahuan) dan afeksi (emosi) anak secara imajinatif. Imajinasi yang dimiliki anak itulah yang akan membuat mereka lebih kreatif.
Imajinasi yang dibangun sejak anak-anak itulah yang akan menjadi kekuatan untuk pengembangan sains dan teknologi masa depan. Imajinasi itu pula yang membuat sains dan teknologi berkembang hingga seperti sekarang.
Pentingnya imajinasi itu membuat ilmuwan terkemuka di abad ke-20 Albert Einstein pada 1929 pernah berkata, ”Imajinasi itu lebih penting dari pengetahuan. Pengetahuan itu terbatas, tetapi imajinasi mencakup seluruh dunia, mendorong kemajuan dan melahirkan evolusi.”
Imajinasi itu lebih penting dari pengetahuan. Pengetahuan itu terbatas, tetapi imajinasi mencakup seluruh dunia, mendorong kemajuan dan melahirkan evolusi.
Terbentuknya imajinasi itu pula yang diharapkan Avivah dengan mengenalkan astronomi kepada anak-anak melalui dongeng. Imajinasi diharapkan akan menumbuhkan rasa ingin tahu anak dan mendorong mereka untuk mau belajar dan menggali pengetahuan tentang apa pun, bukan hanya astronomi. Imajinasi itu pula yang akan menjadi penyemangat anak-anak untuk terus mengejar mimpi-mimpinya.
Karena itu, peristiwa gerhana Bulan total 28 Juli 2018 mendatang diharapkan dapat dijadikan momentum untuk mengenalkan kembali dongeng-dongeng yang berkaitan dengan berbagai obyek langit. Tak hanya menyelami kisah-kisahnya yang membangkitkan imajinasi, tetapi juga menyaksikan keindahan obyek-obyek langit nan menawan itu secara langsung.