Konsep diri mengalami revolusi seiring dengan revolusi teknologi. Dulu orang membangun konsep diri secara konstan berdasarkan pergulatan pikiran, bahkan ideologi yang kemudian diwujudkan dalam tindakan. Di sini kemudian diniscayakan adanya kesesuaian antara tindakan dan ucapan. Di media sosial yang terjadi justru sebaliknya, individualisme yang riuh.
Gejala tersebut terjadi secara global dan ditangkap secara elegan oleh seniman Italia, Fabrizio Dusi, lewat proyek ”Bla Bla Bla” yang dipamerkan di Art:1 Gallery, Jakarta Pusat. Dalam pameran yang berlangsung sampai 5 Agustus itu, Fabrizio memotret gejala komunikasi di media sosial belakangan ini.
Fabrizio memajang karyanya berupa gambar sejenis mural berukuran 3 x 10 meter yang menempel pada dinding galeri. Karya itu berisi imaji 30 orang yang saling bercakap. Semua membuka mulut. Di atas mereka, mengapung buih-buih warna-warni. Di antara kerumunan itu tertulis ”Talk to me”, ”Bla bla bla”, dan ”Listen to me”.
Fabrizio mempersilakan pengunjung untuk menulis apa saja yang terlintas di benaknya, lalu menempelkannya pada gambar tadi. Setidaknya terdapat 350.000 tulisan tentang beragam ungkapan dengan beragam bahasa: Inggris, Jepang, Korea, Indonesia, Batak, dan Arab. ”Dang, Adong, Hepeng”, ”Do what you want to do”, dan ”Why don’t you call me as often?” adalah beberapa ungkapan yang menempel di sana.
Lewat proyek ini, Fabrizio menangkap semangat zaman ketika orang-orang lebih senang mengoceh di media sosial tentang apa saja, tetapi enggan menyapa sekeliling. Mereka lebih senang disimak, tetapi enggan menyimak.
Dalam bahasa sejarawan sekaligus kritikus seni Chiara Gatti, sebagaimana tertulis dalam pengantar kuratorial, Fabrizio berhasil membuat ironi ringan, tetapi menyengat. Ini tentang orang-orang yang melakukan monolog searah, sembari mengabaikan pesan yang datang dari orang lain. Dengan kata lain, ini adalah era individualisme dalam bentuk lain. Orang-orang lebih peduli dengan segala yang menyangkut dirinya di media sosial.
Mengganda
Jika ditilik lebih jauh, pengguna media sosial mengganda dalam membentuk konsep diri di tengah revolusi teknologi saat ini. Artinya, apa yang seseorang unggah di media sosial bisa sangat bertolak belakang dengan kehidupan di dunia nyata. Bisa juga, apa yang dia unggah sama sekali tidak sebangun dengan yang ada di dalam benaknya. Banyak pengguna media sosial tidak memahami hakikat dari teks atau gambar yang dia unggah, yang penting mengunggah. Bahkan, yang lebih penting lagi, unggahan itu direspons dan dipuja. Jika ada yang mencela, tinggal putus hubungan saja: ”unfriend”, ”unfollow”, atau ”block” sekalian.
Pada tahap berikutnya muncul jargon ”aku mengunggah maka aku ada”. Adagium ini analog dengan adagium suci kaum eksistensialis yang meniru sabda filsuf Perancis, René Descartes, ”Cogito ergo sum”, yang kerap diterjemahkan secara bebas menjadi ”Aku berpikir maka aku ada”.
Sayangnya, unggahan-unggahan di media sosial itu tidak dilandasi dengan pikiran matang, bahkan kerap tanpa berpikir. Kelincahan jari jauh lebih cepat daripada otak penggunanya bekerja. Hal yang utama adalah segera mengunggah biar diakui mutakhir (update), kemudian mendapat banyak respons positif dan menambah pengikut atau follower.
Pengguna media sosial semacam itu bisa sangat aktif di beberapa aplikasi media sosial. Bisa juga dia memiliki banyak grup percakapan yang kemudian mengunggah hal yang sama hampir secara serentak. Bayangkan jika hal itu dilakukan oleh jutaan pengguna media sosial. Di Indonesia, jumlah pengguna media sosial sekitar 130 juta jiwa. Inilah mengapa terjadi reproduksi informasi dalam skala besar dan repetitif. Anda bisa mendapat unggahan yang sama sebanyak sepuluh atau sebelas kali pada hari yang sama, bahkan pada jam yang sama.
Anehnya, semakin mudah dan membanjirnya informasi tidak serta-merta membuat kita semakin mudah memahami peristiwa yang terjadi. Yang muncul malah berjuta tanya. Sebab, informasi yang datang silih berganti itu tidak sinkron, tidak mendudukkan persoalan. Sebaliknya, malah kerap kali saling menegasikan. Inilah barangkali yang disebut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel sebagai ”blur”.
Sesuatu yang lebih memusingkan tentu saja sikap pengguna media sosial dalam memilih konten, isi, atau gagasan yang diunggah. Sama sekali tidak dipilih. Semua mereka komentari, mulai dari Piala Dunia, bendera Zohri, sampai cara beribadah seseorang dikomentari panjang lebar. Tiba-tiba semua orang menjadi pakar atas segala hal.
Di dunia ini tidak ada yang lebih ahli daripada pengguna media sosial. Banyak pengguna media sosial merasa mempunyai pengetahuan dan keahlian tentang masalah-masalah fundamental dan sensitif. Tentang agama, misalnya. Padahal, jika dilacak, mereka tidak memiliki latar belakang yang memadai tentang itu.
Sebab, dorongan pengguna media sosial mengunggah bukan untuk memberikan informasi, melainkan sekadar ingin diakui, ingin didengar, ingin dimengerti. Akan tetapi, tidak berusaha mendengar atau memahami lawan bicara, yang mengemuka adalah individualisme yang riuh.
Fabrizio Dusi mengkritik realitas absurd yang kini melanda seluruh manusia di bumi dengan cara yang amat artistik, santun, dan bermartabat. Ia berharap, seni menggugah rasa terdalam dari sumber segala sumber nurani para penyimaknya.