Kado Muram Seabad Sukamiskin
Tahun ini, Lembaga Pemasyarakatan Klas 1 Sukamiskin genap berusia 100 tahun. Namun, bukan kado manis yang diberikan padanya. Penjara yang awalnya kental dengan semangat antikorupsi ini justru disayat luka mendalam oleh anak-anaknya sendiri.
Sabtu (21/7/2018) sekitar pukul 10.00, Lembaga Pemasyarakatan Klas 1 Sukamiskin Bandung, Jawa Barat, ramai seperti biasanya. Kecuali hari Minggu, setiap hari lapas ini ramai dikunjungi pembesuk yang kangen dengan keluarga atau kolega yang ditahan di sana. Sabtu adalah hari paling padat meski durasi kunjungannya tak berubah, pukul 09.00-14.00.
Tak hanya manusia yang riuh rendah di sana. Kendaraan beragam merk memenuhi parkirannya yang luas. Halaman parkir itu bak etalase toko mobil mewah keluaran terbaru. Tidak heran bila menilik siapa yang di tahanan di sana. Sejak tahun 2012, lapas ini khusus bagi koruptor. Sebagian besar masih punya pengaruh dan banyak uang meski sudah divonis bersalah.
Salah satu pembesuknya adalah Dindin (39) asal Bogor. Dia bersama istri dan dua anak datang membesuk bos-nya yang ditahan di sana.
Dari Bogor, ia naik mobil pribadi, daihatsu terios bertahun muda. Tak jelas kasus apa yang menjerat bosnya. Dindin tutup mulut. Yang pasti dia dan keluarganya makan bareng bos-nya di dalam Lapas.
"Karena jaraknya jauh dari Bogor, saya hanya jenguk sebulan sekali," katanya.
Sepintas, Dindin punya keterbatasan waktu bertemu atasannya. Lapas Sukamiskin punya jadwal kunjungan ketat.
Akan tetapi, penggeledahan yang dilakukan KPK pada Senin sekitar pukul 00.30, melunturkan pendapat itu. Diduga, ada celah yang dimanfaatkan para tahanan untuk bertemu siapa saja, kapan saja sesuka hati di Sukamiskin. Syaratnya sejumlah uang mencapai ratusan juta rupiah.
Operasi senyap itu dilakukan KPK dibantu aparat Kepolisian Kota Besar Bandung. Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Wahid Husen hadir dalam penggeledahan itu. Dia bahkan ikut saat kantornya sendiri diperiksa KPK.
Wahid juga ikut menemani saat kamar terpidana Fahmi Darmawangsa, Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron, serta Tubagus Chaeri Wardana, adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, diperiksa. Saat hendak digeledah, Chaeri dan Fuad Amin, tidak berada di kamarnya. Mereka mendapat izin berobat.
Semua rangkaian penggeledahan berlangsung sekitar 1,5 jam. Namun, saat semuanya usai, KPK justru menciduk Wahid ke Jakarta.
Wahid diduga menerima suap terkait izin berobat bagi narapidana di sana. Dalam keterangan persnya di Jakarta, KPK menetapakan empat tersangka dalam kasus ini. Selain Wahid, ada staf lapas Hendry Sahputra, narapidana korupsi Fahmi Darmawansyah, dan narapidana umum Andri Rahmat.
Membuka Luka
Kasus ini jelas membuka isu lama. Sukamiskin diduga jadi sarang korupsi. Periode 2015 hingga Maret 2018, sudah ada empat kali serah terima jabatan di Sukamiskin. Motif suap diduga kuat melatarbelakangi pasang copot jabatan itu. Wahid menjabat Kalapas sejak 14 Maret 2018.
Investigasi tim Kementerian Hukum dan HAM tahun 2017, menguatkan fakta itu. Terpidana Anggoro Widjojo, Rahmat Yasin, dan Romi Herton sempat beberapa kali meminta izin berobat dan mengunjungi anak yang sakit.
Akan tetapi, faktanya mereka singgah di tempat lain. Anggoro, misalnya, sepulang dari berobat di rumah sakit tidak langsung kembali ke lapas tapi menginap di apartemen di Kota Bandung.
Karya jurnalistik Harian Kompas tahun 2013 dan 2016 juga memperlihatkan indikasi serupa. Dari hasil inspeksi mendadak Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana, pada 20 Mei 2013, ditemukan Ipad, Ipod, pengeras suara, pemutar DVD, serta kepingan cakram film di sel terpidana Adrian Waworuntu.
Di sel mantan Gubernur Bengkulu Agusrin Najamuddin, yang berada satu blok dengan bekas sel Soekarno, ditemukan tempat tidur, kursi rotan dengan alas busa, minicompo, lemari filing cabinet, meja kerja, dan rak buku dengan sejumlah buku.
Tiga tahun kemudian, semuanya seperti tak berubah. Penggunaan telepon bahkan terlihat terang-terangan dilakukan sejumlah narapidana Lapas Sukamiskin, Bandung.
Lokasinya di sejumlah saung mewah di dalam lapas. Di tempat itu juga tidak sedikit narapidana yang memiliki laptop di dalam sel untuk berkomunikasi melalui aplikasi Skype.
Kasus ini sejatinya menjadi kado suram bagi seabad Sukamiskin. Mulai dibangun tahun 1918, sejarah panjang antikorupsi di lapas ini jelas ternodai.
Tempat ini dirancang Charles Prosper Wolff Schoemaker, Guru Besar Technische Hogeschool Bandung. Arsitektur Schoemaker menukil seni bangunan Jawa, seperti terlihat pada atap tajuk tumpang dua, empat saka guru di tengah ruang shalat, dan ornamen bunga dan sulur-suluran. Dari sana, ia ingin menonjolkan kebudayaan baik orang Indonesia. Budaya korupsi jelas bukan salah satu semangat yang ingin dia angkat.
Fondasi Sukamiskin juga dibangun Liem A Goh, seorang kontraktor yang dikenal anti korupsi. A Goh selalu memilih bahan terbaik, mencegah penyimpangan, dan mewajibkan anak buahnya melaporkan setiap bahan bangunan yang digunakan.
Peran Soekarno, bapak bangsa sekaligus murid Schoemaker yang pernah ditahan di sana akibat menentang ketidakadilan juga hanya jadi kisah lalu. Kamar tahanannya masih diabadikan berkode TA-01.
Dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat tulisan Cindy Adams, Soekarno ditempatkan dekat ruang Direktur Penjara. Sel lain di dekatnya dikosongkan. Ia baru boleh keluar sel setelah tidak ada tawanan lain di area di dekatnya.
Buku politik terlarang di sini. Diskusinya yang berkembang di antara tahanan hanya seputar makanan dan cuaca. Karena itu, Soekarno mengistilahkan dirinya ”dijauhkan dari udara yang bisa mencemari pribumi”. Namun, di antara luka dan penghinaan, Sukamiskin justru kian mempergigih Soekarno untuk memperjuangkan kemerdekaan negeri ini.
Miskin Koruptor
Wakil Direktur Center for Detention Studies (CDS) Gatot Goei sangat menyayangkan kejadian yang menimpa Wahid. Hal ini menunjukan masih lemahnya pengawasan di Lapas Sukamiskin. Padahal sebelumnya kasus serupa juga terjadi tahun 2015, 2016, dan 2017. CDS merupakan lembaga yang fokus pada berbagai penelitian dan advokasi kebijakan tentang pelaksanaan sistem pemasyarakatan.
“Seharusnya ini menjadi pembelajaran dan dilakukan pembenahan, pengawasan ditingkatkan,” kata Gatot.
Gatot juga menyoroti, pemberian izin berobat ke rumah sakit di luar lapas itu juga tertutup, artinya izin cenderung mudah diberikan kepada terpidana dengan ekonomi kalangan atas atau napi korupsi. Sedangkan bagi terpidana ekonomi lemah atau kasus kejahatan lainnya relatif sulit untuk memperoleh izin seperti itu.
Menurut Gatot, pemberian izin itu harus dibenahi, dan pihak lapas harus melaporkan kegiatan operasionalnya setiap hari kepada pihak kementerian dan kanwil.Izin berobat ke rumah sakit di luar lapas yang diberikan seharusnya setelah melalui hasil pemeriksaan dari dokter yang ditunjuk oleh lapas, kanwil, atau kementerian.
“Pemberian izin seperti itu juga perlu disampaikan kepada KPK, tiap minggu, tiap bulan ada berapa napi yang diberi izin berobat, ke rumah sakit mana saja. Ini penting untuk mencegah praktik suap. Sistem komunikasi, koordinasi, dan pengawasan harus dibenahi,” ujar Gatot.
Menarik bila mendengar usulan Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra terkait maraknya kasus korupsi saat ini. Tindakan hukum di luar pidana penjara, seperti perampasan harta sampai pemiskinan koruptor, mendesak dilakukan.
Revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi perlu mengatur hal ini. Mereka yang terbukti korupsi, kata Azyumardi, harus dimiskinkan, dijatuhi hukuman pelayanan sosial, tidak diberi remisi, dan dicabut hak politiknya secara permanen. Bila hal itu dilakukan, celah koruptor melanggengkan tindakan yang sama mungkin bisa ditekan sejak dini.(Samuel Oktora/Cornelius Helmy)