Londa Lima, pantai di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, berpasir putih dengan ombak yang menggulung panjang dan memecah di bibir pantai.
Pemerintah Kabupaten Sumba Timur telah membangun fasilitas bagi pengunjung pantai ini. Di bawah rindang pepohonan, dibangun tiga lopo (rumah kecil) beratap kerucut dan berdinding melingkar dengan diameter sekitar 4 meter. Di dalam lopo dibangun para-para, tempat duduk dan berekreasi. Pengunjung bisa duduk santai atau tidur-tiduran sambil menikmati tiupan angin dan desiran ombak memecah pantai. Di pantai itu dibangun tiga kamar mandi/toilet, lengkap dengan air bersih dari sumur bor. Disediakan pula tong sampah di sejumlah tempat.
Tiga ayunan dan satu mainan semacam komidi putar disediakan di sekitar lopo. Hari libur dan hari Minggu tempat mainan tersebut dipenuhi anak-anak.
Sebuah kolam ikan dibangun dengan titian bagi pejalan kaki di atasnya. Kolam diisi ikan air tawar, seperti ikan mas dan nila. Titian membawa pengunjung ke rumah peristirahatan, sekitar 30 meter dari lopo.
Rumah peristirahatan dibangun dengan arsitektur tradisional Sumba dan berbahan bangunan lokal. Rumah ini berukuran sekitar 6 meter x 8 meter tanpa sekat kamar. Di dalamnya ada lima tempat duduk dengan pendopo menghadap ke laut.
Di depan rumah terhampar pasir putih. Deburan ombak bergulung mengikuti garis pantai, kemudian memecah di bibir pantai, menghasilkan buih-buih putih memanjakan mata.
Akses
Mencapai pantai Londa Lima tidak sulit. Perjalanan dari Waingapu menuju pantai hanya perlu waktu 15-20 menit dengan kendaraan roda empat atau roda dua.
Area wisata pantai seluas 1 hektar ini dipagar keliling. Hanya ada satu akses ke pantai. Jam buka tempat wisata ini pukul 06.00-20.00 Wita.
Di pintu masuk, Selasa (15/5/2018), Ruben Monekaka (58), tenaga honorer Dinas Pariwisata Sumba Timur, menunggu sambil memegang setumpuk karcis. Karcis masuk untuk orang dewasa Rp 4.000 per orang dan anak-anak Rp 2.000 per orang. Tarif parkir sepeda motor Rp 2.500 per unit, sedangkan kendaraan roda empat Rp 10.000 per unit.
Monekaka tinggal di gubuk di depan pintu masuk. Di depan gubuk, istri Monekaka menjual air mineral, rokok, permen, dan makanan ringan.
Londa Lima, demikian kisah Monekaka, berasal dari bahasa Sumba yang berarti ’berpegangan tangan’. Konon, tahun 1960-an, sepasang muda mudi dari Waingapu menceburkan diri ke laut dari pantai tersebut sambil berpegangan tangan karena cinta mereka tidak direstui kedua orangtua. Sang pria, orang biasa yang dalam budaya Sumba disebut ata, jatuh cinta kepada gadis bangsawan atau rambu.
Di luar kisah sedih yang dituturkan Monekaka, Pantai Londa Lima merupakan tempat wisata bagi warga Waingapu dan sekitarnya untuk bersantai dan bersenang-senang.
Rindu pasola
Puluhan anak dan orang dewasa, hari itu, bergembira ria di bibir pantai. Mereka merayakan ulang tahun salah satu siswa sekolah dasar dari Kelurahan Lamba Napu, Waingapu.
Setelah menyanyikan lagu ulang tahun, bocah-bocah tersebut menggambar orang menunggang kuda seperti tradisi pasola di pasir pantai. Pasola adalah permainan perang-perangan dua kelompok ”pasukan” berkuda yang saling melempar tombak kayu di sabana.
Aksi anak-anak itu memperlihatkan kerinduan mereka menghadirkan kembali pasola di Sumba Timur. Saat ini pasola hanya ada di Sumba Barat Daya dan Sumba Barat.
”Mama dan bapa bilang, dulu di Sumba Timur juga ada pasola, tetapi sudah punah karena dilarang tokoh agama. Kami ingin pasola dihidupkan lagi di Sumba Timur,” kata Jecky Lodu, salah seorang siswa SD.
Sekitar 15 meter sebelah barat dari kerumunan anak-anak, terdapat dermaga kayu yang menjorok 70 meter ke laut dengan lebar 3 meter. Dermaga tersebut dibangun untuk pengunjung duduk, berfoto, bahkan meloncat ke laut saat berenang.
Dua banana boat diparkir sekitar 20 meter dari dermaga kayu. Tarif keliling wahana yang ditarik perahu cepat tersebut Rp 10.000 per orang.
Pada hari biasa, jumlah pengunjung pantai ini 10-50 orang. Hari libur dan hari Minggu, jumlah pengunjung melonjak menjadi sekitar 200 orang.
Salah satu pengunjung, Abraham Gono (38), warga Kelurahan Lambanapu, Waingapu, yang ditemui di salah satu lopo menuturkan, hampir setiap pekan ia ke pantai mengantar tamu. Hari itu, ia mengantar 15 penumpang dengan mobil pikap miliknya. Penyewa merayakan ulang tahun anaknya dan mengajak teman-teman.
”Sewa pikap Rp 100.000 pergi-pulang. Kami datang pukul 13.00 Wita, paling pukul 18.00 Wita balik ke Waingapu. Setiap hari Minggu atau hari libur, kendaraan saya pasti ada yang menyewa,” katanya.