Rina Ciputra: Menaungi yang Terbuang
Sesuatu yang terbuang itu bernaung di rumah Rina Ciputra Sastrawinata (63). Rina merawat dan memfungsikannya menjadi karya seni dekoratif.
Di antaranya, bongkahan besar akar tanaman bakau, gambar-gambar bercorak abstrak dari aplikasi lukisan yang sebelumnya dipakai sebagai dekorasi pesta pernikahan anaknya, tak ketinggalan batu-batu fosil yang tidak diberi harga layak ketika diperjualbelikan ke luar negeri.
”Akar-akar bakau itu begitu besar. Mungkin saat ini sudah tidak mudah lagi diketemukan yang seukuran itu. Saya menemukannya di Sukabumi, Jawa Barat. Akar bakau sebesar itu dibuang begitu saja,” ujar Rina, yang bergelut sebagai pengusaha properti di kediamannya di Pondok Indah, Jakarta Selatan, Jumat (13/7/2018).
Rina adalah putri sulung Ciputra (87), yang juga terkemuka sebagai pengembang properti di Indonesia.
Rumah tiga lantai itu memiliki luas bangunan 1.400 meter persegi di atas tanah seluas 3.700 meter persegi. Di teras belakang rumah terhampar halaman cukup luas dihiasi beragam patung dan bebatuan fosil. Halaman itu dibatasi kali kecil. Di seberangnya terhampar Padang Golf Pondok Indah.
Kolam renang sepanjang 25 meter dengan lebar tak lebih dari 5 meter melengkapi halaman belakang. ”Cucu-cucu saya suka berenang di situ,” ujar Rina.
Rina tumbuh dengan selera seni yang sedikit banyak dipengaruhi selera ayahnya. Beberapa patung hasil aplikasi seni lukisan Hendra Gunawan (1918-1983) ada di rumahnya. Selain itu, dipajang beberapa patung karya seniman lain.
Bangunan rumah Rina membentang empat persegi panjang. Di lantai satu ia menempatkan bagian tengah sebagai ruang utama, ruang yang paling ia sukai. ”Karena di sini biasa diletakkan matras untuk bermain keempat cucu saya. Mereka main dan berguling-guling di situ,” ujarnya.
Rina menikah dengan Budiarsa Sastrawinata, memiliki empat anak, yakni Anindya Sastrawinata, Lalitya Sastrawinata, Nararya Sastrawinata, dan Aditya Sastrawinata.
Di rumah itu, Rina beserta suaminya ditemani Nararya, yang menikah pada 2016 dan dikaruniai satu anak, serta Aditya, anak bungsu Rina. Di ruang utama itu pula keluarga Rina menerima tamu. Tetapi, tidak jarang pula menerima tamu di ruang keluarga. ”Ruang keluarga lebih rapi daripada ruang utama,” ucap Rina.
Ruang keluarga ada di sisi kiri ruang utama. Di sisi kanan ruang utama terdapat ruang terbuka yang dipenuhi beragam rak buku dan suvenir. Di sisi itu pula kamar Rina. Di depan kamar tidurnya, Rina menempatkan kamar kerja di dekat tangga menuju lantai kedua. ”Di kamar kerja itu saya juga menempatkan berbagai peralatan untuk gym.”
Ruang di lantai dua dan tiga menjadi rumah bagi keluarga kecil Nararya dan anak bungsunya, Aditya.
Lulusan University of Auckland, Selandia Baru (1978), dan Claremont Graduate School, Los Angeles, AS (1980), ini amat menyukai koleksi benda seni, tetapi ia juga menaruh pesan konservasi lingkungan di rumah.
Akuarium terbalik
Di teras depan sisi kiri, Rina membuat sebuah akuarium besar yang terbalik. Akuarium ini ada di tengah kolam. ”Kolam ini memiliki kedalaman hanya sekitar 30 sentimeter. Tentu di antara ikan-ikan koi yang berukuran besar itu akan membutuhkan kedalaman lebih, maka dibuatlah akuarium terbalik,” kata Rina.
Akuarium terbalik dengan permukaan terbuka di bagian bawahnya diletakkan sedikit di bawah permukaan air kolam. Udara di dalam akuarium kaca dikeluarkan sehingga air kolam tersedot memasuki ruang akuarium di atas permukaan air kolam.
Dari bagian bawah akuarium, ikan-ikan koi besar bisa menyelam masuk ke akuarium terbalik itu. Ikan-ikan itu pun dengan mudahnya keluar lagi dari akuarium ke kolam.
Kolam ikan dan ornamen akar-akar bakau serta jati itu dipisahkan sebuah koridor menuju pintu masuk rumah Rina. Di sisi kanan koridor terdapat kolam kecil memanjang.
Di kolam kecil itu dibenamkan beberapa potongan batang pohon yang sudah membatu atau fosil. ”Coba rasakan, bagian permukaan kulit fosil ini licin. Ini berarti fosil ini sebelumnya ditemukan di alam yang berair.”
Fosil-fosil itu ditemukan Rina di Sukabumi. Fosil-fosil seperti itu banyak dibeli orang asing dengan harga per kilogram Rp 20.000. ”Di sejumlah negara, pemerintahnya melindungi fosil-fosil seperti ini dan tidak bisa diperjualbelikan ke luar negeri,” kata Rina.
Tak jauh dari pintu masuk rumah terdapat panel kayu dengan berbagai hiasan dekoratif. Di antaranya gambar bercorak abstrak yang berbentuk lingkaran besar.
Warna merah di antara warni-warna lain pada hiasan dekoratif itu mengingatkan pada karakter warna lukisan Hendra Gunawan. Ini menjadi karya seni aplikasi lukisan Hendra Gunawan yang memiliki kisah tersendiri. Medianya menggunakan bidang aluminium.
”Pada waktu itu saya memikirkan dekorasi untuk pesta pernikahan anak saya, Nararya, supaya setelah selesai tidak akan terbuang percuma,” kata Rina.
Saya memikirkan dekorasi untuk pesta pernikahan anak saya, Nararya, supaya setelah selesai tidak akan terbuang percuma.
Ia kemudian membuat 20 gambar dekoratif seni aplikasi dari lukisan Hendra Gunawan. Sebagian besar karya itu kini dipajang di dinding rumahnya.
Persoalan merawat karya seni, bagi Rina, ibarat kegiatan merias diri setiap hari. ”Merias diri untuk membuat diri kita menjadi bahagia. Seperti itu pula merawat karya seni, supaya diri kita bahagia,” ujar Rina.
Di sisi kanan ruang utama terdapat semacam perpustakaan keluarga. Rina kemudian mengambil sebuah kotak yang dikemas indah. Kotak itu berisi tumpukan buku unik, antara lain naskah kuno China yang diproduksi ulang.
Naskah-naskah kuno itu dihimpun dan dicetak sesuai aslinya dengan teknologi percetakan terkini, kemudian menjadi suvenir. Rina ingin menunjukkan potensi kewirausahaan yang dikembangkan di China dari sebuah naskah kuno bersejarah.
Indonesia, kata Rina, juga memiliki potensi kewirausahaan seperti itu pula.
Di rumah Rina, ada narasi kehidupan dari sekelumit benda seni yang ia rawat, dari sesuatu yang sebelumnya terbuang percuma. Juga, harapan Rina bagi perkembangan kewirausahaan Indonesia.