Usaha Melawan Keterbatasan
Tim boling ”Merah Putih” bertekad mengulang sukses meraih medali emas saat Asian Games Doha 2006. Namun, jalan meraih mimpi itu tidak mudah karena minimnya regenerasi atlet, keterbatasan arena, serta kesempatan bertanding di luar negeri.
Tim boling Indonesia menorehkan prestasi perdana pada Asian Games Seoul 1986. Sri Mulyani Ruzgar, Fenny Tjahjo, dan Charlotte Sjamsuddin meraih medali perunggu di nomor trio putri, serta Poppy Marijke Tambis, yang berlaga pada nomor all event putri, juga meraih perunggu.
Puncak prestasi tim boling ”Merah Putih” terjadi pada Asian Games Doha 2006, saat Ryan Lalisang meraih emas pada nomor tunggal putra, serta Putty Armein meraih perak pada nomor tunggal putri. Prestasi pada 2006 itu dinilai cukup sensasional. Bahkan, Ryan pun tak menyangka mengingat saat itu atlet-atlet boling terbaik Asia, antara lain dari Korea Selatan, Jepang, Malaysia, Taiwan, hingga Singapura tampil.
Sayangnya, setelah capaian gemilang itu, prestasi boling Indonesia cenderung turun pada dua Asian Games berikutnya. Pada Asian Games Guangzhou 2010, Indonesia melalui Putty Armein, Sharon Santoso, Ivana Hie, Tannya Roumimper, Novie Phang, dan Shalima Zalsha meraih perak pada nomor tim lima putri. Pada Asian Games Incheon 2014, Indonesia meraih dua perunggu lewat Hardy Rachmadian dan Billy Muhammad Islam pada nomor ganda putra, serta Putty Armein, Sharon Santoso, Chantika Cheya, Tannya Roumimper, Novie Phang, dan Nabila Alisha pada nomor tim lima putri.
Penurunan prestasi boling itu, menurut Ryan, disebabkan minimnya regenerasi atlet. Jika pun ada, jumlahnya sangat terbatas. Buktinya, pada usianya yang ke-38 atau tergolong veteran untuk karier atlet, ia masih jadi andalan. Sementara prestasi atlet muda di pelatnas juga masih kalah dari para senior.
Kondisi itu tidak lepas dari terbatasnya tempat pembinaan atlet boling di Indonesia. Pusat latihan atau permainan boling yang bisa dipakai umum, termasuk untuk pembinaan, masih terbatas hanya di Jawa, terutama di kawasan Jabodetabek. Sementara di daerah lain, mayoritas sudah gulung tikar.
Ryan mencontohkan di kampung halamannya di Balikpapan. Dahulu, ia mulai berlatih boling sejak usia 10 tahun, di satu-satunya pusat permainan boling di kota minyak itu. Ia bisa bermain di sana karena kedua orangtuanya juga hobi boling. Namun, kini, pusat permainan boling itu sudah tak ada lagi.
Keterbatasan arena boling membuat olahraga ini menjadi asing di masyarakat. Geliat pembinaan tak ada, apalagi kompetisi di daerah. ”Bagaimana mungkin boling bisa berkembang, apalagi olahraga ini harus dimainkan di tempat khusus, tidak bisa sembarang tempat seperti sepak bola,” kata Ryan.
Minim jam terbang
Selain masalah pembinaan, para atlet yang ada pun minim pengalaman bertanding. Kejuaraan nasional relatif hanya ada di sekitar Jabodetabek. Itu pun tidak ada setiap bulan. Padahal, atlet boling harus sering bertanding untuk menambah jam terbangnya.
Adapun kesempatan untuk ikut kejuaraan di luar negeri juga terbatas karena minimnya anggaran pelatnas. Hampir semua atlet di pelatnas tidak memiliki sponsor sehingga sangat bergantung pada pendanaan pemerintah. Dari 12 atlet pelatnas untuk Asian Games 2018, hanya Ryan dan Tannya Roumimper yang memiliki sponsor pribadi sehingga mereka bisa ikut sejumlah kejuaraan di luar negeri.
Keduanya mencari sendiri sponsor ke luar negeri. Hal itu karena di dalam negeri sangat jarang ada perusahaan mau mensponsori atlet boling yang dinilai tak populer di Indonesia.
Selain kedua masalah itu, atlet boling pelatnas lain, Billy Muhammad Islam menuturkan, para atlet juga dihadapkan dengan masalah minimnya anggaran peralatan. Akibatnya, jumlah alat berlatih dan bertanding yang ada sangat terbatas.
Bola yang menjadi komponen paling penting di boling, contohnya, setiap atlet yang ada sekarang, kecuali Ryan dan Tannya, hanya memiliki tiga bola baru. Bola itu yang digunakan untuk latihan dan tanding. Namun, walau tergolong baru didatangkan, bola itu juga sejatinya sudah tua untuk kategori boling, yakni berusia sekitar 8-12 bulan.
Bola boling punya tekstur permukaan yang sangat memengaruhi laju bola saat digunakan. Tekstur bola itu umumnya hanya berusia sekitar 200 gim atau sekitar 2-3 bulan. Setelah itu, teksturnya akan aus sehingga laju bola akan sulit dikendalikan.
”Atlet-atlet negara lain, seperti Korea Selatan, Jepang, Malaysia, dan Singapura, punya bola baru setiap akan bertanding. Itu juga yang membuat peforma mereka bisa optimal,” kata Billy, peraih perunggu Asian Games 2014.
Di tengah segala keterbatasan itu, pelatih pelatnas boling Thomas Tan mengatakan, pihaknya tetap berusaha sebaik mungkin untuk menghadapi Asian Games kali ini. Selain memulai pelatnas dari awal tahun, tim juga menjalani pemusatan latihan dan uji tanding di luar negeri.
Segenap persiapan itu diharapkan mematangkan teknik dan mental atlet. Jajaran pelatih pun optimistis para atlet Indonesia itu bisa meraih medali pada ajang empat tahunan tersebut.
”Bisa main bertanding di Asian Games saja luar biasa, apalagi ini main di negara sendiri yang disaksikan langsung para pendukungnya, terutama dari keluarga. Itu pasti menambah motivasi para atlet untuk meraih prestasi terbaik di Asian Games ini, termasuk menyumbang emas,” kata Thomas.