Praktik jual-beli fasilitas diduga terjadi di sejumlah lapas di Indonesia dan sudah berlangsung lama. Tak heran jika ada kesan terjadi pembiaran. Perlu ada evaluasi total.
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dinilai tidak serius membereskan persoalan di dalam lembaga pemasyarakatan. Evaluasi total diperlukan untuk memutus mata rantai bisnis kotor yang ada di dalam lapas.
Praktik bisnis kotor seperti jual-beli fasilitas dan suap terhadap pegawai lapas diduga tidak hanya terjadi di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Praktik serupa diduga terjadi di lapas-lapas lain di Indonesia.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Muhammad Syafii, mengatakan, praktik bisnis kotor untuk mendapatkan sel mewah dan izin keluar bukanlah hal baru. Praktik-praktik kotor itu juga terjadi di beberapa lapas di Indonesia. Hal itu juga pernah menjadi evaluasi bagi Kementerian Hukum dan HAM, tetapi tidak kunjung ada pembenahan.
”Yang pasti karena ini sudah terjadi di mana-mana dan berlangsung lama, berarti di Kemenkumham belum ada evaluasi. Padahal, DPR berkali-kali menegur saat RDP (rapat dengar pendapat),” ujar Syafii.
Sabtu pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap dan menetapkan Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husen bersama anggota stafnya, yaitu Hendry Saputra, sebagai tersangka. Wahid diduga menerima suap Rp 47,7 juta, 410 dollar Amerika Serikat, serta dua mobil, yakni Mitsubishi Triton dan Mitsubishi Pajero (Kompas, 22/7/2018).
Menurut Syafii, praktik bisnis kotor tersebut tidak mungkin terjadi secara instan, tetapi sudah berlangsung sistematis sejak bertahun-tahun. Pihak-pihak yang terlibat pun dimulai dari tingkatan sipir hingga pejabat lapas. Karena itu, ia menilai, Kemenkumham tidak mungkin tidak mengetahui praktik itu.
”Membangun lapas dengan kapasitas seperti hotel itu bukan pekerjaan satu hari dan bukan satu orang, tetapi banyak orang dan butuh waktu yang lama. Jadi tidak mungkin tidak diketahui Menkumham atau Dirjen Lapas. Mereka pasti sudah tahu dan ini sudah mata rantai, tetapi tidak ada tindakan tegas,” kata Syafii.
Karena itu, Syafii mengatakan, perlu evaluasi yang tuntas untuk memutus mata rantai tersebut. Komisi III akan segera memanggil Kemenkumham untuk dimintai keterangan. ”Kami akan panggil dan akan kami tegur lagi, paling tidak sebelum reses (30 Juli),” katanya.
Titik balik pembenahan
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, pihaknya juga akan membicarakan kasus itu dengan KPK.
”Besok (hari ini), kami akan dalami soal OTT di Lapas Sukamiskin di sela-sela RDP dengan KPK,” ujarnya.
Ia berpendapat, penangkapan Kepala Lapas Sukamiskin seyogianya menjadi titik balik dalam pembenahan sistem pemasyarakatan. Masalah itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengganti personel atau standar operasional prosedur (SOP).
Menurut dia, setidaknya ada dua hal penting yang perlu dievaluasi dalam sistem lapas, yakni struktur lembaga dan pengawasan, serta kultur di lingkungan lapas.
Siap mundur
Menyusul penangkapan Kepala Lapas Sukamiskin, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham siap melakukan evaluasi dan revitalisasi untuk seluruh lapas di Indonesia. Direktur Jenderal Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami siap mundur jika evaluasi dan revitalisasi itu gagal.
”Kami upayakan dulu revitalisasi ini, kalau gagal saya bersedia mundur,” ujar Sri.
Kami upayakan dulu revitalisasi ini, kalau gagal saya bersedia mundur
Utami menerangkan, saat ini Ditjen Pemasyarakatan sudah menyusun beberapa instrumen revitalisasi. Revitalisasi tersebut meliputi petugas penyelenggara lapas dan seluruh mekanisme penyelenggaraan penegakan aturan di lapas.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zainal Arifin Mochtar mengatakan, sistem pemenjaraan di Indonesia harus diperbaiki mulai dari hulu ke hilir. Pengawasan baik dari pemberian remisi, izin keluar, maupun lainnya harus diawasi secara ketat. (E18/E03)