Riuh gempita pemberitaan dan apresiasi kepada pelari 100 meter putra juara dunia yunior, Lalu Muhammad Zohri, menghidupkan kembali kisah prestasi atlet karate tradisional asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Fauzan Noor (20).
Fauzan awalnya luput dari perhatian seusai jadi juara dunia karate tradisional di ajang WASO Cup 2017 di Praha, Ceko, akhir Desember 2017. Di final, ia mengalahkan karateka tuan rumah pada nomor kumite (perkelahian) perorangan.
Mustafa, pelatih karate tradisional yang mendampingi Fauzan, mengatakan, setiba di Kalsel sebagai juara dunia, Fauzan disambut sederhana di Bandara Syamsudin Noor, Banjarbaru, oleh perwakilan Dinas Pemuda dan Olahraga Kalsel, Komite Olahraga Nasional Indonesia Kalsel, serta pengurus Koordinator Daerah Federasi Karate Tradisional Indonesia Kalsel.
”Pemerintah Indonesia, khususnya pemangku olahraga, kami harap memberikan yang terbaik kepada atlet berprestasi. Siapa pun orangnya harus diberi penghargaan. Jangan lihat apa cabang olahraganya. Mereka pahlawan bangsa,” kata Mustafa, dihubungi dari Banjarmasin, Jumat (20/7/2018).
Fauzan juga berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya, Adnan Firdaus (60), adalah buruh bangunan, sedangkan Jamariyah (56), ibunya, tukang pijat. Mereka menempati rumah beton yang lebih dari 20 tahun tidak direnovasi.
Fauzan mulai menarik perhatian sejumlah pihak setelah kisahnya dimunculkan lagi. ”Dari Senin (16/7) sampai Kamis ada terus yang datang ke rumah kami untuk menemui Fauzan. Yang datang antara lain pegawai dari Pemkot Banjarmasin, tentara, dan polisi,” kata Jamariyah.
Menurut Fauzan, ia sudah dipanggil bertemu langsung Kepala Polda Kalsel Inspektur Jenderal Rachmat Mulyana, kemudian Komandan Korem 101/Antasari Kolonel (Inf) Yudianto Putrajaya, dan Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina.
”Ulun (saya) ditawari jadi anggota Polri oleh Pak Kapolda dan jadi prajurit TNI oleh Pak Danrem. Ulun diminta mengikuti seleksi masuk melalui jalur prestasi. Sementara Pak Wali Kota menawari ulun jadi pegawai honorer dulu di Pemkot Banjarmasin,” tuturnya.
Sebenarnya, sepulang dari Praha, Fauzan ikut seleksi masuk bintara Polri dan melamar sebagai anggota Satuan Polisi Pamong Praja Kota Banjarmasin. Ia gagal jadi polisi karena tinggi badannya 162,5 sentimeter (cm) atau kurang 2,5 cm dari standar minimal tinggi badan calon bintara Polri. Lamarannya sebagai anggota satpol PP juga tak bersambut.
Pelayan toko
Menurut Jamariyah, anaknya kini bekerja di sebuah minimarket di Banjarmasin. Bungsu dari tiga bersaudara itu juga pernah bekerja sebagai petugas keamanan dan tukang pasang sarung jok sepeda motor setamat SMA tahun 2015.
”Anaknya penurut dan rajin berlatih karate. Ia punya tekad membahagiakan kami orangtuanya. Kami pun berharap Fauzan bisa jadi pegawai negeri agar masa depannya lebih baik dari kami dan kakak-kakaknya,” ujar Jamariyah.
Menurut Mustafa, yang juga peraih emas karate tradisional kata (jurus) beregu di Praha tahun 2013, pemerintah perlu memberi perhatian dan penghargaan yang sama kepada para atlet berprestasi di kancah internasional. Tak perlu menunggu viral di media sosial.
”Tanpa bermaksud membandingkan Fauzan dengan Zohri, kamipun bertanya, apa bedanya Fauzan dengan Zohri, bukankah mereka sama-sama berprestasi di kancah dunia. Kisah itu diunggah ke media sosial. Tak lama kemudian, langsung viral,” kata Mustafa. Ia raih juara dunia karate tradisional kata bersama Erwin Syauridhani dan Erwan Januardi.
Banyak atlet yang mengharumkan nama Indonesia, tetapi kerap minim apresiasi. Tidak sedikit di antaranya yang hidup memprihatinkan setelah tak lagi menjadi atlet. Jauh dari ingar bingar sambutan dan puja puji.