Kecanduan Gawai Mengancam Anak-Anak
Gawai yang terhubung sistem daring dengan berbagai fitur, ibarat pisau bermata dua yang bisa bermanfaat tetapi juga bisa membahayakan kehidupan anak-anak. Sejumlah anak mengalami "gangguan jiwa" akibat kecanduan gawai.
JAKARTA, KOMPAS – Selain menjadi alat komunikasi dan sumber informasi, gawai yang dilengkapi berbagai fitur juga menjadi pintu masuk bagi anak-anak untuk mengakses media sosial, gim, dan fitur lainnya secara daring yang belum sesuai untuk usianya. Bahkan, penggunaan gawai yang terus menerus tanpa mengenal waktu, berpotensi mengganggu tumbuh kembang anak serta membuat anak kecanduan atau adiksi gawai.
Fenomena anak-anak yang kecanduan gawai setidaknya semakin terlihat dalam lima tahun terakhir. Meskipun belum ada angka pasti berapa persentase dan jumlah anak yang mengalami gejala kecanduan atau kecanduan gawai, dari sejumlah kasus yang terungkap di publik, hasil kajian, survei, dan penelitian menunjukkan fenomena kecanduan gawai pada anak saat ini berada pada situasi mengkhawatirkan. Tak hanya menjadi korban, anak-anak terlibat dalam sejumlah kasus yang masuk kategori tindak pidana.
"Anak kecanduan gawai menjadi tantangan serius. Hanya saja, tidak semua orangtua mengetahuinya jika anaknya terindikasi kecanduan gawai," ujar Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto, Minggu (22/7/2018), di Jakarta.
Kepala Departemen Medik Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Kristiana Siste Kurniasanti mengatakan, tidak semua anak yang bermain gim langsung disebut mengalami adiksi atau kecanduan gim. Namun, penggunaan gawai pada anak dan remaja lebih dari 3 jam sehari menyebabkan mereka rentan kecanduan gawai.
Penggunaan gawai pada anak dan remaja lebih dari 3 jam sehari menyebabkan mereka rentan kecanduan gawai.
"Adiksi gim daring itu terjadi ketika gejala yang dialami sudah mengganggu fungsi diri dan berlangsung selama 12 bulan. Adapun fungsi diri itu seperti fungsi relasi, pendidikan, pekerjaan, dan kegiatan rutin lainnya,” ujarnya.
Kristiana mencontohkan, dirinya merawat seorang pemuda berusia 18 tahun yang terancam drop out karena tidak pernah berangkat kuliah. Sehari-hari, pemuda itu lebih sering bermain gim daring, bisa 18 jam sehari. Agar bisa tetap terjaga saat main gim, pemuda itu mengkonsumsi sabu dan metafetamin. Dari riwayatnya, pemuda itu memiliki gawai sejak usia 6 tahun, main gim daring sejak usia 13 tahun, dan mulai kecanduan di usia 17 tahun, dan sangat kecanduan di usia 18 tahun.
Dari sisi usia, anak yang rentan mengalami kecanduan gawai berada di rentang usia 13-18 tahun. Pada usia anak, bagian otak yaitu dorsolateral prefrontal cortex yang berfungsi untuk mencegah seseorang bersikap impulsif sehingga seseorang bisa merencanakan dan mengontrol perilaku dengan baik belum matang.
“Ketika bagian ini sudah terganggu, maka seseorang rentan bersikap impulsif, termasuk pada penggunaan gawai,” kata Kristiana.
Gangguan kesehatan jiwa
Penggunaan gawai pada anak dan remaja yang lebih dari 3 jam dalam sehari dapat menyebabkan mereka rentan pada kecanduan gawai. Kecanduan gim pada gawai saat ini mendapat perhatian dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum lama ini mengeluarkan International Classification of Disease (ICD) edisi ke-11 yang menyebutkan kecanduan main gim sebagai gangguan kesehatan jiwa, yang masuk sebagai gangguan permainan atau gaming disorder.
Januari lalu, Rumah Sakit Umum Daerah Koesnadi Bondowoso, Jawa Timur merawat dua remaja, pelajar SMP dan SMA, yang kecanduan gawai. Tingkat kecanduannya parah sehingga mereka mengalami guncangan jiwa, hingga ada keinginan membunuh orangtuanya karena dilarang menggunakan gawai.
Fenomena anak kecanduan gawai, menurut dr Tjhin Wiguna, psikiater anak dan remaja di Departemen Medik Kesehatan Jiwa FKUI-RSCM mulai meningkat dalam tiga tahun terakhir.
Jumlah orangtua yang datang meminta konsultasi ke lembaga-lembaga perlindungan anak atau membawa anaknya ke psikolog dan psikiatri juga meningkat. Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi menyatakan sejak 2013 lembaganya menangani 17 kasus anak kecanduan gawai. Begitu juga Komisi Nasional Perlindungan Anak sejak 2016 sudah menangani 42 kasus anak yang kecanduan gawai.
Kecenderungan meningkatnya kasus anak kecanduan gawai tersebut terkait dengan tingginya penetrasi internet di Indonesia. Berdasarkan Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017, sebanyak 143,26 juta orang atau 54,68 persen dari populasi Indonesia. Penetrasi pengguna internet terbesar berada pada usia 13-18 tahun (75,50 persen). Gawai adalah perangkat yang paling banyak dipakai untuk mengakses internet (44,16 persen).
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dalam acara Internet Aman untuk Anak di Jakarta 6 Februari 2018 juga mengungkapkan sebanyak 93,52 persen penggunaan media sosial oleh individu Indonesia berada di usia 9-19 tahun dan penggunaan internet oleh individu sebanyak 65,34 persen berusia 9-19 tahun. Umumnya anak-anak menggunakan internet untuk mengakses media sosial, termasuk Youtube, dan gim daring.
Berdasarkan Kajian Pengunana Media Sosial oleh Anak dan Remaja yang diterbitkan Pusat Kajian Komunikasi (Puskakom) Universitas Indonesia 2017, anak -anak dan remaja tertarik mengakses media sosial karena dapat mempertemukan kembali diri mereka dengan teman-teman dan keluarga yang terpisah jarak, untuk berbagi pesan. Media sosial juga memberikan wadah bagi mereka untuk bergabung dalam sebuah komunitas. Adapun mereka mengakses gim daring untuk memenuhi hasrat mereka dalam bermain di dunia maya.
Konten negatif
Bukan hanya menimbulkan adiksi atau kecanduan gawai, anak-anak juga rentan terpapar konten-konten negatif saat mengakses internet, antara lain konten pornografi. Dalam beberapa kasus, anak-anak yang terpapar konten pornografi menjadi rentan melakukan kekerasan seksual.
Penelitian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS) Kementerian Sosial dan End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia tahun 2017, terhadap anak-anak di lima kota besar (Jakarta, Magelang, Yogyakarta, Mataram, dan Makassar) menemukan, konten pornografi (43 persen) merupakan faktor determinan yang memengaruhi anak melakukan kekerasan seksual. Konten pornografi paling banyak diakses anak-anak melalui gawai (28 persen) disusul komputer, gambar, dan lainnya.
konten pornografi merupakan faktor determinan yang memengaruhi anak melakukan kekerasan seksual. Konten pornografi paling banyak diakses anak-anak melalui gawai disusul komputer, gambar, dan lainnya.
Selain perilaku berubah menjadi kasar dan temperamental, pendidikannya terganggu, sejumlah anak yang kecanduan gawai terutama karena gim daring, media sosial, dan konten negatif, anak-anak melakukan tindakan-tindakan yang mengancam jiwa orang lain.
Mengenai fenomena anak kecanduan gawai, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono menegaskan kondisi tersebut tidak terlepas dari pola pengasuhan orangtua. Bahkan pola pengasuhan orangtua menjadi hal yang sangat penting dan mendasar dalam tumbuh kembang anak.
"Jadi, kalau bicara kecanduan sebenarnya kita harus mengakui parenting tidak jalan secara ideal. Itulah kata kuncinya. Artinya orangtua seharusnya mengenali sikap dan perilaku anak-anak yang mengarah kecanduan sehingga bisa diantisipasi sejak awal," kata Anung.
orangtua seharusnya mengenali sikap dan perilaku anak-anak yang mengarah kecanduan sehingga bisa diantisipasi sejak awal
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise mengingatkan kepada orangtua untuk serius memperhatikan berbagai dampak dari kecanduan gawai. "Yang paling parah, jika anak-anak sampai kecanduan pornografi. Karena ini akan membutuhkan trauma healing seumur hidup agar anak tidak menjadi pelaku kejahatan seksual," papar Yohana.
Yohana mengingatkan kepada orangtua untuk mewaspadai bahaya kecanduan gawai, menyusul mencuatnya berbagai kasus anak-anak yang kecanduan gawai. Bahkan, sejumlah anak yang kecanduan gawai terpaksa harus dibawa ke psikolog, psikiater, tempat rehabilitasi khusus karena pikiran dan jiwa anak sudah terganggu.
(Sharon Patricia/Dionisia Gusda Primadita Putri/Regina Rukmorini/Deonisi Arlinta/Angger Putranto/Laraswati Ariadne Anwar/Cokorda Yudistira/Ismail Zakaria/Ester Lince Napitulu)