JAKARTA, KOMPAS — Kepala lembaga pemasyarakatan harus memiliki integritas untuk menghentikan praktik transaksional dengan narapidana, terutama narapidana korupsi. Karena itu, proses pemilihan kepala lapas harus mencakup pertimbangan intelektual, psikologis, dan rekan jejak.
Visiting professor di Sekolah Hukum Universitas Melbourne, Australia, Denny Indrayana, mengatakan, pemilihan kepala lapas harus mempertimbangkan rekam jejak pribadi. Sebab, kepala lapas yang berintegritas kuat akan mampu menolak godaan suap ataupun ancaman dari narapidana korupsi.
”Kementerian Hukum dan HAM di bawah Menteri Amir Syamsuddin melakukan pemilihan kepala lapas tidak hanya melalui psikotes dan tes kemampuan intelektual, tetapi juga pertimbangan rekam jejak di segala lini. Kepala lapas terpilih memang harus yang terbaik,” kata Denny saat dihubungi di Melbourne, Minggu (22/7/2018).
Narapidana korupsi menggunakan uang sebagai kekuatan utama untuk mendapatkan hak-hak khusus. Akibatnya, kepala lapas harus menghadapi godaan suap sebagai imbalan fasilitas dan perlakuan khusus bagi narapidana korupsi. Karena itu, pemilihan kepala lapas perlu melalui proses yang ketat.
Pemilihan kepala lapas perlu melalui proses yang ketat.
Semasa menjabat Wakil Menteri Hukum dan HAM tahun 2011-2014, pemilihan kepala lapas dilakukan dengan mempertimbangkan laporan kekayaan dengan pengecekan laporan harta kekayaan penyelenggara negara, transaksi keuangan melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), ketaatan pajaknya, dan lain-lain.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husen yang baru menjabat empat bulan. Ia diduga menerima suap Rp 47,7 juta, 410 dollar Amerika Serikat, dan dua mobil dari narapidana tindak pidana korupsi Fahmi Darmawansyah. Suap ini diberikan Fahmi untuk mendapatkan sel mewah serta kemudahan masuk dan keluar tahanan.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Sri Puguh Budi Utami mengatakan, sistem pemilihan serupa masih dilanjutkan. ”Ini mencakup kompetensi manajerial dan teknis, penguasaan administratif, serta kemampuan membangun jaringan,” ujar Utami. Calon kepala Lapas Sukamiskin yang dikhususkan untuk narapidana korupsi dites wawancara.
Utami menyebutkan, sebelumnya telah direncanakan evaluasi dan revitalisasi bagi pegawai lapas seluruh Indonesia. Akan tetapi, upaya ini terdahului oleh operasi tangkap tangan KPK di Lapas Sukamiskin. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemendagri, lanjutnya, tidak mengetahui adanya praktik jual beli fasilitas seperti yang melibatkan Wahid.
Lapas khusus korupsi
Praktik serupa dikhawatirkan rentan berlanjut di Lapas Sukamiskin yang ditetapkan menjadi lapas khusus narapidana korupsi sejak Desember 2012. Menurut Denny, yang saat itu menjabat Wakil Menkumham, konsep lapas khusus tidak baru. Pengkhususan itu berlandaskan alasan manajerial.
”Konsep lapas khusus tidak baru. Kan, ada juga lapas khusus napi terorisme atau narkoba. Kami menjadikan Lapas Sukamiskin khusus untuk napi korupsi agar pengawasan lebih mudah dibandingkan menyebar mereka di sekitar 500 lapas di Indonesia. Pada beberapa kasus, napi korupsi yang digabung napi kejahatan lain malah bisa membayar napi-napi lain untuk jadi bodyguard-nya,” tutur Denny.
Sebaliknya, Ninik Rahayu dari Ombudsman RI mengatakan, pengkhususan Lapas Sukamiskin untuk napi korupsi berujung pada keleluasaan yang menyalahi tata tertib lapas. Dalam beberapa inspeksi mendadak (sidak), Ombudsman RI menemukan beberapa napi yang bebas keluar masuk dan tidur di luar sel. Napi yang menjadi tahanan pendamping bahkan boleh menggunakan telepon genggam.
Tidak perlu ada lapas khusus korupsi. Yang seharusnya dikhususkan adalah intervensi dalam bentuk pendidikan antikorupsi, bukan lokasi penahanannya.
Ninik menilai, tidak perlu ada lapas khusus untuk napi tindak pidana korupsi seperti Lapas Sukamiskin. ”Tidak perlu ada lapas khusus korupsi. Yang seharusnya dikhususkan adalah intervensi dalam bentuk pendidikan antikorupsi, bukan lokasi penahanannya,” katanya. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)