JAKARTA, KOMPAS – Keragaman di sekolah dapat menjadi kekayaan sumber belajar bagi anak-anak dan guru. Sebab, Indonesia harus mampu menyiapkan anak-anak bangsa yang memiliki kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama yang baik dan nyaman dalam keragaman atas dasar nilai-nilai kemanusiaan.
Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo dalam kegiatan sesi akhir Sekolah Guru Kebinekaan Lanjutan (SGKL) di Jakarta, Sabtu (20/7/2018), mengatakan, keragaman harus bisa diterima dengan baik sebagai bagian dari keseharian bangsa.
"Anak-anak yang berbeda-beda akan belajar lebih banyak. Sekolah dengan keragaman justru jadi kesempatan belajar yang baik bagi anak-anak," ujar Henny.
Sayangnya, ujar Henny, suasana kehidupan bangsa saat ini justru menggambarkan harapan yang sebaliknya. Keragaman tidak lagi menimbulkan sikap saling menghargai, tetapi kecurigaan atau prasangka dan sikap intoleransi lainnya.
"Kami meyakini para guru mampu menjadi penyemai keragaman. Kami menemukan guru-guru yang punya impian yang sama untuk menyemai keragaman. Kegiatan SGKL ini untuk semakin mengokohkan guru sebagai rujukan keragaman, kebangsaan, dan kemanusiaan, agar mereka terus menjadi inspirasi bagi sekolahnya," kata Henny.
Yayasan Cahaya Guru menggelar Sekolah Guru Kebinekaan sejak 2016 dan 2017. Sebanyak 25 guru SGK yang disaring dari dua angkatan yang berkomitmen untuk menjadi rujukan keragaman, kebangsaan, dan kemanusian, diperlengkapi dalam SGKL Dengan demikian, mereka mampu menjadi fasilitator untuk lebih mengokohkan implementasi keragaman dalam pembelajaran di sekolah, serta berbagi semangat yang sama, minimal bagi guru-guru di sekolah masing-masing.
Indah Manurung, guru bahasa Indonesia di SMP 8 BPK Penabur Jakarta, mengatakan, dirinya prihatin menemukan anak-anak didiknya yang punya sikap saling mencurigai orang yang berbeda dengan dirinya. Situasi bangsa saat ini yang terpecah karena pilihan politik yang berbeda, utamanya dipicu isu suku, agama, ras, dan antargolongongan (SARA) juga berdampak pada pemahaman anak-anak pada keragaman.
"Saya punya idealisme, cinta pada Indonesia tanpa membeda-bedakan SARA harus ada dalam diri semua orang. Lewat SGK saya dikuatkan dan semakin percaya diri, bahwa saya tidak sendiri punya niatan ini. Sekarang di SGK Lanjutan saya merasa punya komunitas guru yang mendukung," ujar Indah.
Indah merasakan dengan terus mengajarkan keberagaman mulai berdampak pada pemahaman siswa. "Tadinya anak-anak menganggap lebih hebat yang dari Barat, yang lebih suka bahasa Inggris, sekarang sudah mulai pede berbahasa Indonesia. Kami sudah mulai bisa diskusi soal situasi hidup masyarakat Indonesia saat ini," ujar Indah.
Sementara itu, Endah Priyati, guru SMA Negeri 12 Kota Bekasi, mengatakan, dirinya ingin terus membawa isu keragaman, kebangsaan, dan kemanusiaan dalam kegiatan pembelajaran di sekolah.
"Saya lihat kegiatan literasi di sekolah hanya terfokus ke literasi agama. Tiap pagi selama setengah jam, anak-anak baca kitab suci masing-masing. Padahal, dimensi literasi itu luas. Semangat tentang keragaman bisa diperkuat lagi dalan kegiatan literasi sekolah dengan berbagai kegiatan literasi yang menarik," ujar Endah.
Endah mengatakan, dengan mengikuti SGK lanjutan dirinya semakin bisa terinspirasi untuk menjadikan Gerakan Literasi Sekolah yang memperkuat kebangsaan, kebinekaan, dan kemanusiaan menjadi upaya efektif bagi guru sebagai intelektual transformatif dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya meningkatkan minat baca yang memperkuat basis pengetahuan yang berintegrasi dengan semangat kebangsaan, kebinekaan, dan kemanusiaan menjadi fokus utama dunia pendidikan saat ini untuk mencegah terjadinya penyebaran berita hoaks, intoleransi, radikalisme.
Menurut Endah, literasi budaya yang digali dari kearifan lokal Nusantara selain bisa memperkaya khazanah, juga bisa dijadikan sebagai cara merawat sumber mata air agar siswa tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri.
Kepala SMP Bina Pangudi Luhur Jakarta, Yulinda, mengatakan, dirinya prihatin dengan anak-anak muda bangsa yang teracuni masifnya ujaran kebencian dan hoaks melalui media sosial.
"Saya merasa tertarik mengikuti SGK karena punya semangat yang sama untuk terus menguatkan hidup damai dalam keragaman. Kami, para guru mendapat inspirasi untuk melaksanakannya di pendidikan," ujar Yulinda.
Menurut Yulinda, sekolah yang dipimpinnya selama ini mayoritas berisi siswa Muslim. Dengan terus menyuarakan keberagaman, siswa non-Muslim mulai tertarik mendaftar. Semua siswa punya peluang untuk bisa jadi pemimpin kelas atau pemimpin OSIS, tidak harus dari kelompok mayoritas.
Henny mengatakan, keragaman di sekolah sebenarnya bisa semakin terwujud dengan sistem zonasi sekolah. Ada ketentuan untuk menerima siswa dari zonasi, ada kuota afirmasi bagi anak berkebutuhan khusus, anak dari keluarga tidak mampu, serta anak dari luar zonasi. Di sekolah akan ada beragam anak dengan berbagai latar belakang SARA dan sosial ekonomi.
"Sekolah dengan keragaman jadi kekuatan. Praktik baik toleransi di sekolah perlu ditemukan. Abak-anak akan belajar berkomunikasi dan bekerja sama dengan nyaman, bukan lagi dengan rasa saling curiga," ujar Henny.