SLEMAN, KOMPAS—Keberadaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diharapkan mampu menguatkan pemerintahan desa. Undang-undang itu hendaknya dipahami sebagai upaya masyarakat desa untuk mengelola dan mengoptimalkan aset yang mereka miliki demi kemajuan desa.
Peneliti Institute for Research and Empowerment (IRE) Arie Sujito mengatakan, adanya UU Desa itu memberi ruang bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu. Desa mendapat kewenangan untuk mengoptimalkan potensinya demi kemajuan mereka. Hal itu dapat dilakukan dengan satu syarat, yaitu, pemerintah dan masyarakat desa harus mengetahui dan mengerti aset desanya.
“UU Desa ini harus dibaca tentang bagaimana memanfaatkan aset desa. Dengan mampu, memanfaatkan serta mengelola aset, desa akan menjadi mandiri. Permasalahan yang ada dalam masyarakat desa diselesaikan oleh desa sendiri dengan potensi yang mereka miliki,” kata Arie di Sleman, DI Yogyakarta, pekan lalu.
Hal serupa dinyatakan oleh Ari Dwipayana, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi. Ia beranggapan, melalui UU Desa, itu tidak hanya berhenti pada institusionalisasi kerangka lembaga saja. Tetapi, hendaknya juga dipikirkan tentang bagaimana adanya pengelolaan aset yang terdapat dalam masyarakat.
“Mereka harus sadar betul terhadap asetnya dan bagaimana dengan dana yang diberikan itu bisa mengelolanya. Redistribusi ekonomi politik, termasuk bagaimana mengelola sumber daya manusia desa menjadi agenda penting yang perlu untuk dipikirkan,” kata Ari.
Namun, Ari mengakui, memang pemberian dana ke desa itu belum cukup optimal. Buktinya, masih terjadi angka ketimpangan di pedesaan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, angka ketimpangan pedesaan tercatat sebesar 0,324, atau naik 0,004 poin daripada Maret 2017 dan September 2017, yaitu 0,320 poin.
Hal ini berbanding terbalik dengan angka ketimpangan nasional yang justru menurun hingga mencapai 0,389 pada Maret 2018, atau menurun sebesar 0,004 poin dibandingkan Maret 2017.
“Ini perlu diperhatikan lagi. Aset-aset desa dimiliki oleh siapa? Tujuannya agar dana desa yang diberikan itu bisa membuat pemerataan ekonomi semakin nyata,” ujar Ari.
Terkait hal tersebut, Sutoro Eko, dosen dari Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa APMD Yogyakarta, mengungkapkan, dalam upaya pembangunan itu harus dilakukan dengan cara bergotong royong. Gotong royong bukan dalam artian bekerja secara gratis, tetapi bersama-sama mencari dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki.
“Paradigma tentang gotong royong diubah. Dari kerja paksa menjadi konsolidasi untuk merebut. Melihat aset-aset apa saja yang dimiliki lalu memanfaatkannya sebaik mungkin,” ujar Sutoro.
Budiman Sudjatmiko, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, menyatakan, desa sebetulnya tidak hanya sekadar diberdayakan dengan adanya UU Desa. Desa sekaligus pemberian kekuasaan terhadap desa sehingga menjadi lebih kuat. “UU Desa bukan hanya soal pemberdayaan, tetapi pemberkuasaan rakyat,” kata Budiman.
Namun, tidak dapat dimungkiri, dalam pelaksaanannya, UU Desa masih mengalami sejumlah kendala. Salah satunya adalah UU Desa dinilai terkesan terlalu birokratis dan teknokratis dengan banyaknya catatan adminsitratif yang harus dibuat.
Bayu Setio Nugroho, Kepala Desa Dermaji, Kabupaten Banyumas, mengatakan, kendala teknis dalam pelaksanaan UU Desa itu masih dialaminya. Pihaknya mengaku sering berdebat tentang persoalan-persoalan adminstratif sehingga justru upaya pemberdayaan terkesan dilupakan.
“Pelaksanaan UU Desa banyak yang sifatnya teknis birokratis. Itu sering memunculkan perdebatan soal adminsitratif yang justru menguras tenaga kami,” kata Bayu, yang turut hadir dalam sarasehan Sabtu siang itu.
Sekretaris Jendral Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Anwar Sanusi menyampaikan, pelaksanaan UU memang belum sepenuhnya maksimal. Ia menyatakan, masih banyak hal yang harus diperbaiki. Ia mengharapkan agar dalam perjalanan ke depan, demokratisasi di desa bisa menguat.
Sementara itu, Yando Zakaria, antropolog dari Universitas Indonesia, menyatakan, membicarakan soal desa itu bukan persoalan yang remeh temeh. Desa ini mengait dengan persoalan kebangsaan mengingat cakupannya yang cukup luas.
Yando mengungkapkan, Indonesia memiliki sekitar 75.00 unit desa. Desa-desa tersebut tersebar di sekitar 17.000 pulau yang ada di Indonesia dan mereka hidup dalam 700-900 kebudayaan.