Mata Kuliah Dasar Umum Mendesak Dibenahi
Mata kuliah dasar umum menjadi dasar dan benteng untuk menjaga nilai Pancasila. Namun, sejumlah perguruan tinggi tidak serius mengelolanya.
BOGOR, KOMPAS – Tujuan mata kuliah dasar umum untuk membantu perkembangan kepribadian mahasiswa agar mampu berperan di tengah masyarakat, bangsa, dan agama dinilai gagal. Pembenahan metode dan pendekatan pengajaran mendesak untuk dilakukan, terutama terkait ilmu sosial dan pemikiran kritis-filosofis.
Sejumlah perguruan tinggi di Indonesia dinilai tidak serius mengelola mata kuliah dasar umum (MKDU) bagi mahasiswa. Padahal, MKDU ini menjadi dasar dan benteng untuk menjaga nilai dasar bangsa Indonesia yaitu Pancasila.
Umumnya, MKDU yang diajarkan di perguruan tinggi terdiri dari mata kuliah Pancasila, agama, kewirausahaan, pendidikan sejarah kebangsaan, ilmu alamiah dasar, ilmu sosial dasar, dan ilmu budaya dasar.
“MKDU kita ini bisa disebut gagal. Tujuannya tidak tercapai. Padahal, penguatan karakter lewat MKDU bertujuan untuk menanamkan arti kebangsaan, keberagamaan, keagamaan, dan pandangan hidup bangsa. Semua aspek penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ada di dalamnya,” kata Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta Amin Abdullah di sela-sela kegiatan Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif di Bogor, Minggu (22/7/2018).
Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif yang diselenggarakan oleh Maarif Institute ini diikuti oleh 15 peserta. Mereka merupakan mahasiswa tingkat pasca sarjana dan doktoral di seluruh Indonesia yang diseleksi melalui penulisan esai ilmiah.
Acara ini berlangsung mulai Minggu hingga Rabu (1/8/2018). Sejumlah pembicara yang hadir antara lain Mahfud MD, Sudhamek AWS, Siti Musdah Mulia, Haedar Nashir, Komaruddin Hidayat, Ruhaini Dzuhayatin, Ahmad Najib Burhani, Yudi Latif, dan Zainal Arifin Mochtar.
Amin mengatakan, pendidikan di Indonesia masih bersifat dogmatik atau mengharuskan diterima sebagai kebenaran, termasuk pendidikan terkait keagamaan. Sebaiknya, pendidikan itu harus bersifat komparatif dan mengedepankan pemikiran kritis-filosofis. Selain itu, metodologi dan pendekatan yang diterapkan juga masih kurang. “Itu sebabnya, masyarakat masih banyak yang terlalu egois dan subyektif, terutama pada agamanya,” tuturnya.
Pendidikan di Indonesia masih bersifat dogmatik atau mengharuskan diterima sebagai kebenaran, termasuk pendidikan terkait keagamaan. Sebaiknya, pendidikan itu harus bersifat komparatif dan mengedepankan pemikiran kritis-filosofis.
Literasi keagamaan
Menurut Amin, ada tiga hal yang perlu dicermati, yaitu pentingnya literasi keagamaan, kesamaan di depan hukum, dan keterbatasan “bahasa” agama. Literasi keagamaan yang dimaksud adalah mengajarkan agama di ruang publik dalam masyarakat majemuk, baik di sekolah, lingkungan tempat tinggal, perguruan tinggi, dan pengajian.
Semua individu harus berteguh pada iman masing-masing, namun berani menguji implikasi dan konsekuensi keyakinannya secara sosial dan budaya secara bertanggung jawab. Pengajaran agama juga jangan menghakimi, tetapi mengajarkan secara akademik, seperti asal usul agama, perkembangan agama, dan kelemahan-kelemahan manusia itu sendiri.
“Pada intinya, Pancasila sebagai dasar negara itulah yang ditekankan. Pancasila bukan hanya warisan nasional tetapi warisan dunia yang harus dirawat dan ditumbuhkembangkan,” katanya.
Literasi keagamaan
Menurut Amin, ada tiga hal yang perlu dicermati, yaitu pentingnya literasi keagamaan, kesamaan di depan hukum, dan keterbatasan “bahasa” agama. Literasi keagamaan yang dimaksud adalah mengajarkan agama di ruang publik dalam masyarakat majemuk, baik di sekolah, lingkungan tempat tinggal, perguruan tinggi, dan pengajian.
Semua individu harus berteguh pada iman masing-masing, namun berani menguji implikasi dan konsekuensi keyakinannya secara sosial dan budaya secara bertanggung jawab. Pengajaran agama juga jangan menghakimi, tetapi mengajarkan secara akademik, seperti asal usul agama, perkembangan agama, dan kelemahan-kelemahan manusia itu sendiri.
“Pada intinya, Pancasila sebagai dasar negara itulah yang ditekankan. Pancasila bukan hanya warisan nasional tetapi warisan dunia yang harus dirawat dan ditumbuhkembangkan,” katanya.
Anggota Dewan Pengawas Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Sudhamek AWS, mengatakan, pembentukan BPIP diharapkan bisa memperkuat prinsip dasar negara di masyarakat. Metodologi menjadi hal utama yang akan dibenahi.
“Pancasila seyogyanya tidak diajarkan dalam satu objek semata, tetapi harus diintegrasikan dengan mata pelajaran lain. Tujuannya, nilai Pancasila bisa jadi manifestasi bagi perilaku masyarakat. Kalau tidak jadi perilaku, dasar ini hanya “berterbangan”,” katanya.