SEMARANG, KOMPAS — Petani cengkeh dan tembakau di sejumlah daerah di Jawa Tengah didorong untuk tidak hanya bergantung pada satu komoditas pertanian. Kejelian memanfaatkan peluang, menanami lahan dengan berbagai komoditas, termasuk kopi, diharapkan meningkatkan kesejahteraan.
”Kami coba kenalkan dan galakkan lagi kopi rakyat, dari budidaya hingga pascapanen. Kami harap mereka tahu bahwa dengan kopi rakyat, mereka bisa semakin berkembang,” kata penyuluh Dinas Pertanian dan Perkebunan Jateng, Slamet Wahyuwana, pada pelatihan budidaya dan produksi kopi bagi 20 petani cengkeh dan tembakau, Minggu (22/7/2018).
Kegiatan dilakukan di Dusun Sirap, Desa Kelurahan, Jambu, Kabupaten Semarang, yang terkenal akan produksi kopi lereng Gunung Kelir. Peserta datang dari sejumlah daerah penghasil tembakau di Jateng.
Slamet mengatakan, kelemahan tembakau ialah fluktuasi dan ketidakpastian harga jual pada musim atau tahun tertentu. Selain faktor cuaca, pada masa-masa tertentu gudang atau pabrik membatasi pembelian. Petani pun terpuruk.
Oleh karena itu, petani tembakau diminta membuka wawasan, termasuk melihat potensi kopi.
Heru Santosa (49), petani tembakau asal Klaten, menuturkan, selalu ada fase naik-turun terkait produksi ataupun penjualan. ”Pada 2011-2015 merupakan masa-masa sulit. Pada 2012, dengan modal hampir Rp 100 juta, saya rugi karena cuaca dan minimnya penyerapan. Saya berharap ada komoditas alternatif,” ucapnya.
Minggu, ke-20 petani itu mengikuti setiap tahapan pelatihan, mulai dari pembibitan, budidaya, pascapanen, pengolahan, hingga menikmati kopi itu sendiri. Mereka tinggal di rumah warga dan setiap saat dapat bertukar pikiran tentang kopi. Pelatihan dilaksanakan pada 19-23 Juli 2018.
Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kopi Gunung Kelir Ngadiyanto menyebutkan, pihaknya berbagi pengalaman tak hanya mengenai kopi, tetapi juga pentingnya menanam berbagai varian tanaman.
”Meski andalan kami kopi, ada juga durian, alpukat, nangka, dan pisang. Jika hanya mengandalkan kopi, kebutuhan tak akan tercukupi,” ujarnya.
Kepala Seksi Penyuluhan Dinas Pertanian dan Perkebunan Jateng Dani Harun mengatakan, pelatihan itu upaya pengembangan sumber daya manusia pertanian di Jateng, khususnya petani tembakau.
”Kami mencoba mengubah perilaku petani untuk tak bergantung pada tembakau saja. Selama ini, saat mereka jatuh, tidak ada opsi lain. Tidak bisa apa-apa,” ucap Dani.
Kopi rakyat
Di kawasan lereng Gunung Kelir terdapat 16 kelompok tani dari empat desa, yakni Brongkol, Kelurahan, Bedono, dan Gemawang. Di Dusun Sirap saja terdapat 35 hektar kebun kopi rakyat dengan produksi rata-rata 1,4 ton biji kopi per hektar. Setahun terakhir, produksi dan penjualan terus berkembang.
”Sejak awal 2017, kami di Kelompok Tani Rahayu IV mengoptimalkan potensi anak muda untuk bergerak di hilir atau yang memasarkan produksi Kopi Sirap dari lereng Gunung Kelir. Sebelumnya, anak-anak muda tidak terlalu terlibat dan memilih merantau ke kota. Bersama anak muda, kami terus berkembang,” tutur Ngadiyanto.
Wahid Budi Utomo (20), pemuda Dusun Sirap yang ikut memasarkan kopi lereng Gunung Kelir, mengatakan, saat anak muda belum ambil bagian, pemasaran terbatas. Seiring dengan pemasaran yang meluas, dalam sebulan terjual hampir 2 kuintal biji kopi yang sudah disangrai. Sebelumnya, biasanya sebulan hanya dihasilkan 50 kilogram biji kopi sangrai.
Dusun Sirap kini juga menjadi tempat edukasi wisata kopi lereng Gunung Kelir. Selain proses pembibitan, budidaya, hingga pengolahan, di sana juga terdapat satu kedai yang menyediakan kopi dengan berbagai teknik penyajian yang bisa dilihat langsung. Para pemuda juga memiliki keahlian sebagai barista, bahkan satu di antaranya sudah bersertifikat nasional.