Pertimbangan politik untuk tidak mengubah APBN 2018 mestinya tidak mengesampingkan faktor fundamen yang memengaruhi penentuan harga jual bahan bakar minyak, yakni nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan harga minyak dunia. Demikian kutipan salah satu akademisi seperti yang dimuat harian ini pada edisi Rabu (18/7/2018). Pernyataan tersebut mengomentari rencana penambahan subsidi energi yang diusulkan pemerintah.
Besaran subsidi energi tahun ini dipastikan membengkak dari ketetapan semula sebesar Rp 94,6 triliun ditambah menjadi Rp 163,5 triliun. Penyebabnya adalah asumsi makro harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS jauh berbeda dari kenyataan. Subsidi energi ini meliputi listrik, bahan bakar minyak (BBM), dan elpiji.
Dalam APBN 2018, harga minyak mentah dipatok 48 dollar AS per barrel. Pada Minggu (22/7/2018), harga minyak mentah jenis WTI sekitar 68 dollar AS per barrel dan jenis Brent sebesar 73 dollar AS per barrel. Masih dalam APBN 2018, rupiah dipatok Rp 13.400 per dollar AS, sedangkan menurut kurs referensi Bank Indonesia pada Jumat (20/7/2018), posisi rupiah sudah menyentuh Rp 14.520 per dollar AS.
Polemik subsidi energi, khususnya BBM, sudah berlangsung sedari dulu. Pertanyaannya seputar apakah subsidi membebani APBN? Sudahkan subsidi tepat sasaran dalam penyalurannya? Apakah subsidi BBM harus terus diadakan? Sekadar mengingatkan, sejak 2004 Indonesia sudah menjadi negara nett importir minyak alias kebutuhan minyaknya jauh lebih besar dari kemampuan produksi di dalam negeri. Selisih itu diperoleh dengan cara impor.
Minyak sebagai komoditas strategis, harganya bisa naik dan bisa turun. Pembeliannya memakai dollar AS yang, serupa dengan harga minyak, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga bisa menguat atau melemah. Dalam rentang dua tahun, harga minyak sempat melampaui 100 dollar AS per barrel dan merosot sampai 27 dollar AS per barrel seperti pada pertengahan 2014 sampai awal 2016.
Pemerintah sudah memutuskan bahwa harga premium dan solar bersubsidi (dua jenis BBM yang paling banyak digunakan di Indonesia) tidak berubah sejak 1 April 2016, yakni masing-masing Rp 6.450 per liter dan Rp 5.150 per liter. Saat April 2016, harga minyak mentah di kisaran 40 dollar AS per barrel, sedangkan kini harga minyak di kisaran 70 dollar AS per barrel. Sebuah perbedaan yang signifikan. Apalagi, rupiah sekarang lebih lemah terhadap dollar AS dibanding posisi per April 2016.
Semua paham bahwa penetapan harga premium dan solar bersubsidi di bawah harga keekonomian (baca: harga tidak dinaikkan) adalah sebuah keputusan politik menjelang pemilu. Kenaikan harga BBM di Indonesia masih menjadi isu yang sangat sensitif dan sangat tak menguntungkan bagi pemerintahan yang sedang berkuasa. Bagaimana mungkin harga pembeliannya mengikuti harga pasar, tetapi tidak demikian dengan harga jualnya? Demikian logika yang pernah dilontarkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said ketika itu.
Lagi-lagi, tulisan ini tidak mendorong agar penjualan harga premium dan solar bersubsidi mengikuti harga pasar. Sebab, sudah menjadi amanat konstitusi bahwa perlu campur tangan negara untuk urusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Amanat itu sebenarnya sudah diwakili lewat aturan yang memungkinkan pemerintah mengkaji harga kedua jenis BBM tersebut setiap tiga bulan bergantung pada perkembangan harga minyak dunia, seperti yang pernah dilakukan di awal-awal pemerintahan sekarang.
Pemerintah hanya perlu mengedukasi rakyat bahwa BBM yang diperoleh dari sumber yang tak bisa diperbarui sejatinya bukanlah barang yang murah. Pun harganya bisa naik dan bisa turun sesuai perkembangan pasar. Selain itu, pemerintah seyogyanya mengampanyekan hemat energi. Harga BBM yang murah cenderung membentuk perilaku konsumsi yang boros.
Belum lagi persoalan subsidi yang kerap tak tepat sasaran. Elpiji 3 kilogram, misalnya. Sampai sekarang pemerintah belum punya cara yang tepat untuk menyalurkan elpiji bersubsidi itu agar tak disalahgunakan. Dengan pola distribusi yang sekarang, siapapun, entah kaya atau miskin, bisa mendapatkan elpiji 3 kilogram dengan tabung warna hijau tersebut.
Hal penting lainnya adalah bagaimana mendorong bauran energi dalam rangka meningkatkan penggunaan energi terbarukan terus dijalankan. Konsistensi pemanfaatan gas dan listrik sebagai sumber energi pilihan selain BBM untuk transportasi harus ditegakkan. Disamping itu, pengguna kendaraan pribadi, terutama yang menikmati BBM bersubsidi, perlu didorong beralih ke transportasi publik. Keputusan politik populis, tetapi menumpulkan akal sehat, sebenarnya tidak bijaksana.