Sepuluh tahun lalu, Hasstriasnyah memendam kesal tak terkira. Pengusaha jasa perjalanan wisata ini harus menghadapi birokrasi Jakarta yang berbelit. Layanan perizinan bagai "ruang" tanpa standar yang jelas.
“Untuk mengurus izin usaha susah dan mahal. Banyak institusi pemerintah yang harus saya datangi, jika ingin cepat terpaksa pakai calo perizinan,” kata Yansah, panggilan akrab lelaki asal Sumatera Selatan ini, Jumat (20/07/2018) di Jakarta.
Suatu hari, dia tergoda menjadikan persoalan itu sebagai bahan penelitian saat menempuh pendidikan S2 jurusan Magister Kebijakan Publik. Yansah mulai memahami persoalan yang terjadi. Banyak layanan yang terlalu panjang mata rantai birokrasi. Sehingga perlu ada pemotongan jalur itu dengan menggunakan sistem teknologi informasi (TI).
Pria ini tidak hanya meneliti, namun mulai menyumbangkan idenya untuk perbaikan layanan di Ibu Kota. Lulusan School of Government Public Policy di International Practical Shooting Confederation IPSC, Bogor, Jawa Barat ini menjadi bagian perubahan positif ini. Kini, mantan pengusaha itu menjadi Staf Ahli Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) DKI Jakarta.
Yansah menyebut telah terjadi "revolusi" dalam pelayanan publik di Jakarta. Tidak banyak provinsi di Indonesia yang mampu mendekatkan 269 jenis layanan di 319 titik pelayanan. Dari jumlah itu, 267 titik layanan berada di tingkat kelurahan. Artinya, warga Jakarta sebenarnya tidak perlu jauh-jauh mencari layanan dokumen perizinan dan non perizinan yang dibutuhkan.
Tidak hanya itu, Pemrov DKI juga menyediakan layanan anter jemput ke warga. Prinsipnya, warga yang menginginkan layanan ini dapat meminta petugas menjemputnya ke rumah. Namun apakah semua ini telah menjawab beragam masalah perizinan di Jakarta ?
Revolusi belum selesai
Dari penelusuran Kompas, revolusi yang disebut Yansah ternyata belum selesai. Masih ada warga yang belum puas dengan layanan di tingkat kelurahan, kecamatan, maupun kota. Masalah yang mereka hadapi pun beragamm. Tidak hanya terkait layanan petugas, tetapi juga mengenai kesiapan sistem TI sebagai tulang punggung layanan.
Farida (47), perempuan asal Cakung, Jakarta Timur ini menilai PTSP di tingkat kecamatan belum cepat melayani warga. Farida datang ke PTSP tingkat kecamatan untuk mengurus kartu keluarga (KK). Namun selama empat bulan, dokumen KK tersebut belum jadi juga.
“Saya tidak mendapat penjelasan yang bagus soal ini. Sampai sekarang, KK saya belum beres” ujar Farida.
Hal serupa dialami Wulan (23), warga Jakarta Timur. Saat datang ke kantor PTSP tingkat kota, dia tidak mendapatkan penjelasan lengkap dari petugas. Dia masih bingung mengenai syarat apa saja yang harus dilengkapi untuk membuat surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB). “Saya kesulitan memahami apa yang dijelaskan petugas,” ucap Wulan.
Di tengah persoalan ini, godaan jasa calo masih terlihat, seperti yang terjadi di Kantor PTSP Jakarta Timur. Kompas melihat seorang petugas pemberi layanan melakukan transaksi dengan warga di sebuah kantin di area kantor itu. Keduanya duduk di dekat pintu kantin sambil membicarakan surat IMB.
Menurut penuturan Aspas (73), seorang pedagang di kantin tersebut. Petugas itu memang sering membantu warga dengan jalur ilegal. Mereka yang akan mendirikan bangunan di Jakarta Timur, dapat "dibantu" petugas itu. Atas usahanya itu, kata Aspas, ada tarif tertentu untuk petugas yang dimaksud.
Kantin, merupakan tempat favorit melakukan transaksi seperti itu. Tidak hanya soal tarif pengurusan dokumen, pertemuan di sana juga dipakai untuk menyepakati waktu pengurusan dokumen.“Mereka punya tim. Mau butuh mendirikan bangunan apa saja, bisa,” kata Aspas.
Kenyataan ini tentu berlawanan dengan semangat transparansi layanan yang dibangun di Jakarta selama enam tahn terakhir. Melihat ini, sepertinya pekerjan rumah yang harus diseleaikan. (IRE/INK/DEA/E11/E20/E09/NDY)