Tapak Awal Perumahan di Kota Bogor
Kota Bogor harus berbenah cepat menyiasati pesatnya pertumbuhan penduduk. Penyiapan pemukiman warga untuk segala kalangan adalah salah satunya.
Backhuis atau A Bughus pertama kali secara legal diperintahkan mengurus kota ini pada 1905. Kala itu, Bogor dipisah pengelolaannya secara administratif dari Batavia. Wilayah yang dikelola Bachuis secara otonom ini dinamakan Stadsgemeente Buitenzorg.
Waktu itu, luasnya hanya 22 km persegi dengan dua distrik dan 7 desa yang dihuni 30.000 jiwa. Tidak ada catatan nama-nama desanya. Namun dari peta Kota Bogor tahun 1870, tertera nama Desa Bantardjati.
Sempat dikuasai Jepang tahun 1942-1945, Stadsgemeente Buitenzorg menjadi Bogor Syuu. Ini pertama kali kata Bogor muncul. Saat itu, Kota Bogor masih termasuk Kabupaten Bogor
Berjalannya waktu, sebagaimana dipublikasikan Humas Pemko Bogor berdasarkan Buku Selayang Pandang Kota Bogor, status dan luas kota ini terus berubah. Hingga tahun 1974, resmi status kota ini Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.
Luas wilayahnya resmi menjadi 11.850 hektar (118,5 km persegi), dari 2.156 hektar (21,5 km persegi) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1995 tentang perubahan batas wilayah Kota Bogor.
"Ada yang dulu disebut Kampung Bogor atau Kampung Baru, lokasinya sekarang kira-kira di Taman Mexico di Kebun Raya Bogor. Di situ seperti titik awal untuk masuk ke atas (Gunung Salak) masa Padjajaran," kata Taufik Hassunna, budayawan dan pengamat sejarah Bogor, awal Juli 2018 ini.
Kolonial Belanda pun mulai membangun kota ini.
Tak berkelanjutan
Sayangnya, perkembangan kota ini kemudian seperti tanpa aturan karena hanya mengandalkan infrastruktur yang dibuat kolonial. Batas kota lama Bogor serta perubahan di jalurnya, kata Taufik, terlihat dari keberadaan pohon-pohon dan bangunan tua yang tersisa.
Sebetulnya, lanjut Taufik, ketika Soekarno menjadi presiden dan memutuskan tinggal di Kota Bogor, ia sudah merencanakan mengembangkan kota ini.
Pengembangannya antara lain untuk pemukiman para diplomat, kelas atas, kelas menengah, kelas bawah, serta pegawai pemerintahan. Total, pengembangan kota direncanakan seluas 5.000 hektar.
"Peta (rencana pengembangan wilayah) itu dulu terpasang di kantor wali kota, lalu sempat juga saya lihat lagi di bagian arsip sebelum pindah ke kantor baru sekarang. Mudah-mudah nanti bisa ditemukan lagi. Peta rencana pengembangan wilayah itu di zaman Wali Kota Achmad Sham (1965-1979). Kalau tidak salah, yang angkat dia jadi wali kota juga Bung Karno. Tumbangnya Bung Karno membuat rencana pembangunan Kota Bogor jadi kota pemerintah, tidak ada kabarnya lagi," tuturnya.
Menurut Taufik, pemukiman modern baru dibangun zaman Orde Baru setelah ada Tol Jagorawi, awal 80-an. Salah satunya perumahan Villa Duta di Baranangsiang. Lokasi ini oleh Bung Karno direncanakan sebagai perumahan bagi diplomat asing.
Belakangan, hak guna atas lahan itu diserahkan ke seorang pejabat tinggi, lalu diserahkan ke pengusaha. Karena itu, pemukiman yang terbangun sangat beragam dan terpencar, misalnya Perumnas Bantar Kemang dan Villa Duta Baranangsiang.
"Itulah perumahan baru yang awal-awal dibangun di Kota Bogor, setelah sebelumnya hanya ada perumahan di kawasan Taman Kencana, Kota Paris, dan rumah karyawan perkebunan atau peneliti, yang dibangun kolonial serta kampus IPB yang dibangun Bung Karno. Kemudian juga dibangun Tugu Kujang yang materialnya sumbangan dari pengembangan perumahan Villa Duta," tuturnya.
Menurut Taufik, karena "hak guna lahan" diserahkan ke banyak pengembang dan saat itu Kota Bogor belum punya Perda Rencana Umum Tata Ruang, maka pembangunan kawasan kurang tertata. Ditambah penambahan infrastruktur dan pembenahan transportasi juga terlambat, kesemrawutan kota tidak bisa dihindarkan lagi.
Rumah mewah
Enny Anggraeni, seorang tenaga pemasaran Villa Duta, mengaku sudah mengenal perumahan Villa Duta sejak SMA karena kakaknya, Utje Utari, saat itu bertanggung jawab memasarkan perumahan mewah pada tahap pertama ini.
"Ini memang perumahan mewah atau untuk kelas atas yang pertama di Kota Bogor. Yang beli kebanyakan orang kaya dari Jakarta. Lingkungan di sini saat itu sangat sejuk seperti di Puncak sekarang. Saya suka bantu kakak jualan rumah, sampai akhirnya selepas SMA saya benar-benar ikut memasarkan Villa Duta tahap kedua, yang ukurannya lebih kecil dari tahap pertama," tuturnya.
Ia juga tahu, bagaimana Villa Duta menyiapkan Tugu Kujang, yang kini jadi salah satu penanda Kota Bogor.
Beberapa rumah asli yang dibangun saat itu, masih bisa dilihat di Jalan Tunjung Biru. Bangunan dicat nuansa coklat dan marun. Rumah juga dilengkapi garasi mobil dengan rolling door almunium. Pohon flamboyan, salah satu pohon penghijauan populer saat itu, juga masih tegak rindang di jalan itu.
"Dulu ini perumahan paling mewah. Perumahan yang pertama kabel-kabel telepon dan listrik ditanam di dalam tanah dan dibangun sebagai klaster yang pintu masuk keluar ke kawasan hanya satu gerbang," kata Enny.
Rumah murah
Menurut Rizal (47), warga Perumnas Bantar Kemang, kawasan perumas ini awalnya panas karena saat baru dibangun ada banyak lahan yang dibuka. Sementara, di belakang perumahan masih berupa sawah dan kebun. "Jadi, kami waktu kecil, asyik bemain-main di sawah. Ke sekolah juga gampang karena ada angkutan ke kota."
Atin (75), warga Perumnas Bantar Kemang, juga merasakan ringannya cicilan rumah yakni Rp 17.500 per bulan selama 25 tahun. "Tapi saya lupa berapa uang mukanya, karena almarhum suami yang bayar. Suami saya pegawai negeri," katanya.
Rizal memuji kualitas bangunan rumah yang hingga kini kusen-kusennya tidak lapuk dimakan rayap. Tembok batako dan harbotnya pun relatif kuat. "Kecuali daun pintu yang kami ganti, lainnya masih asli. Termasuk jendela kaca nakonya masih asli. Lokasi perumnas ini juga bagus sekali, kemana-mana gampang. Ke balai kota, terminal, stasiun, pasar, hanya satu kali menggunakan angkot," tuturnya.
Kepala Bappeda Kota Bogor Erna Hernawati memastikan, pembangunan Kota Bogor ke depan akan semakin terencana dan sesuai daya dukung wilayah dan pertumbuhan penduduknya.
Kini, lebih 1 juta jiwa tinggal di Kota Bogor. Tahun 2031, diprediksi 1,6 juta orang tinggal di kota hujan ini. Tentu saja, perencanaan pemukimannya juga harus lebih matang.