Polisi terus berupaya menekan kasus kejahatan jalanan di Jakarta. Salah satunya lewat Operasi Cipta Kondisi. Angka kejahatan turun, tetapi langkah ini tidak bebas kritik.
Oleh
Wisnu Aji Dewabrata
·3 menit baca
Jumpa pers mengenai hasil operasi begal dan jambret di markas Polda Metro Jaya, Jumat (20/7/2018) siang mendadak dibatalkan. Sebelumnya, Polda Metro Jaya rutin menggelar jumpa pers hasil Operasi Cipta Kondisi setiap Jumat selama dua minggu berturut-turut. Rencananya, operasi berlangsung sebulan yakni 3 Juli-3 Agustus 2018.
Selama dua minggu pelaksanaan operasi, 11 tersangka tewas ditembak dan ratusan lainnya ditetapkan sebagai tersangka. Media luar negeri seperti Al Jazeera dan BBC tak luput memberitakan operasi yang kontroversial untuk menumpas begal di Jakarta dan sekitarnya.
Televisi Al Jazeera menyebut operasi tersebut sebagai persiapan penyelenggaraan Asian Games dan mengaitkannya dengan perintah Presiden Joko Widodo untuk menembak bandar narkoba. Sementara, LBH Jakarta mengkritik tindakan keras kepolisian karena berpotensi salah sasaran.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono, Senin (23/7) di Jakarta mengatakan, saat ini angka kejahatan di wilayah Polda Metro Jaya menurun drastis.
Dalam berbagai kesempatan, Argo mengklaim bahwa angka kejahatan di wilayah Polda Metro Jaya selama bulan Januari-Juni 2018 turun dibandingkan periode yang sama tahun 2017. Artinya, sebelum polisi memerangi begal dan jambret melalui Operasi Cipta Kondisi, sebenarnya situasi keamanan di wilayah Polda Metro Jaya terbilang kondusif.
Kriminalitas menurun
Berdasarkan data Polda Metro Jaya, jumlah kasus (crime total /CT) pencurian dengan pemberatan (curat) yang ditangani Ditreskrimum Polda Metro Jaya bulan Mei dan Juni 2017 dibandingkan periode yang sama tahun 2018, mengalami penurunan. CT curat pada Mei 2018 turun 5 persen dibandingkan Mei 2017 (lihat grafis). CT kasus curat pada Juni 2018 turun 28 persen dibandingkan Juni 2017.
Kasus pencurian dengan kekerasan (curas) alias perampokan, juga turun pada periode itu.
Di sisi lain, keberhasilan polisi menyelesaikan kasus kriminalitas tergambar dengan naiknya crime clearance (CC).
Jumlah CC curat pada Mei 2018 naik 11 persen dari Mei 2017. Di bulan Juni 2018, penyelesaian kasus hanya naik 1 persen dibandingkan Juni 2017.
Adapun CC curas bulan Mei 2018 naik 20 persen dibandingkan Mei 2017. Bulan Juni 2018, penyelesaian kasus naik 87 persen dibandingkan Juni 2017.
Gunung es
Kriminolog UI Kisnu Widagso menuturkan, data CT dan CC polisi itu bisa dikritisi, apakah polisi sudah melaksanakan tugasnya secara lengkap yaitu melindungi dan mengayomi.
“Kalau penegakan hukum itu pelayanan. Bagaimana dengan melindungi dan mengayomi? Apakah polisi sudah mau berinvestasi di upaya pencegahan kejahatan?” tanya Kisnu.
Menurut dia, data di atas memiliki “dark number” karena ada kejahatan tidak dilaporkan atau tidak diketahui polisi. Beberapa sebab mengapa tidak semua korban melapor, antara lain nilai kerugian kecil, kredibilitas korban, atau ingin menyelesaikan secara musyawarah.
“Maka ada istilah ‘gunung es’. Yang terlihat hanya puncak dari gunung es, tapi di bawahnya masih banyak. Polisi hanya bisa menyelesaikan kasus yang dilaporkan atau yang tercatat. Bagaimana polisi bisa tahu ada peristiwa kejahatan kalau korban tidak lapor,” paparnya.
Menurut Kisnu, peningkatan jumlah CC perlu diapresiasi. Namun, karena sumber daya polisi masih terbatas, ia memperkirakan baru 30-40 persen kasus terselesaikan. Sedangkan sisanya 60 persen kasus adalah tunggakan. Meski demikian, tunggakan kasus pada akhir tahun 2018 seharusnya tidak sebanyak 2017.
Menjawab kritik dari media maupun dari LBH Jakarta dan sorotan dari Ombudsman, Argo menegaskan polisi siap memberikan klarifikasi.
Operasi Cipta Kondisi melawan begal dan jambret terus dilanjutkan sesuai rencana, termasuk menyelidiki kasus lama.
Anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala mengutarakan, operasi tersebut untuk menciptakan kondisi aman menjelang Asian Games sekaligus menenangkan perasaan masyarakat. Adrianus menilai wajar jika polisi melakukan operasi.
“Tindakan tegas dimungkinkan sepanjang alasan dan kondisinya proporsional. Jadi kalau ada yang tewas, mestinya polisi mempunyai justifikasi kuat. Kalau tidak, bisa disangka melanggar HAM sehingga bisa diadukan ke Ombudsman,” ujarnya.