Ilmuwan Ungkap Cara Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia
Oleh
Subur Tjahjono
·3 menit baca
Penyakit zoonosis atau penyakit yang menular dari hewan ke manusia baik karena virus atau bakteri semakin memprihatinkan. Ilmuwan mempelajari bagaimana penularan itu bisa terjadi. Ilmuwan di Eropa menemukan, salah satu bakteri yang dapat menular dari hewan ke manusia, yaitu Staphylococcus aureus, dapat menular karena pertukaran gen.
Penelitian berjudul “Pertukaran Gen Mendorong Keberhasilan Ekologi dari Bakteri Patogen Multi-Inang” itu dimuat dalam jurnal Nature edisi 23 Juli 2018 yang juga dipublikasikan sciencedaily.com.
Tim peneliti yang terlibat dalam penelitian ini di antaranya Emily J Richardson dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Edinburgh, Inggris, dan Willem van Wamel dari Departemen Mikrobiologi Medis dan Penyakit Menular, Erasmus MC, Rotterdam, Belanda.
Bakteri Staphylococcus aureus pada manusia menyebabkan penyakit infeksi yang ditandai dengan nanah dari yang ringan hingga yang berat. Wujud penyakit yang disebabkan bakteri tersebut mulai dari jerawat, bisul, radang sendi, radang paru-paru, radang selaput otak, bahkan keracunan darah atau sepsis yang dapat menyebabkan kematian.
Pada hewan, bakter ini dapat menjangkiti berbagai jenis hewan mulai dari ayam, kelinci, babi, kucing, anjing, kambing, domba, onta, kuda, sapi, hingga monyet dan kera. Infeksi Staphylococcus aureus menyebabkan kerugian ekonomi besar pada hewan ternak, seperti peternakan sapi perah karena menyebabkan radang ambing susu yaitu mastitis.
Untuk mengungkap bagaimana bakteri yang oportunistik ini dapat menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya, sebuah tim yang dipimpin oleh Institut Roslin Universitas Edinburgh menganalisis keseluruhan susunan genetik lebih dari 800 galur Staphylococcus aureus yang diisolasi dari manusia dan hewan. Para peneliti berusaha menyelidiki sejarah evolusi bakteri dan peristiwa penting yang memungkinkannya melompat di antara spesies.
“Kami mengidentifikasi manusia sebagai pusat utama untuk peristiwa peralihan Staphylococcus aureus pada masa lalu dan baru-baru ini terkait dengan munculnya galur ternak endemik, dan sapi sebagai hewan reservoir utama untuk munculnya epidemi pada manusia,” kata Emily J Richardson dan kawan-kawan dalam abstrak penelitiannya.
“Transisi spesies inang seperti itu terkait dengan akuisisi unsur-unsur genetik secara horizontal dari kelompok gen-gen inang tertentu yang memberikan sifat-sifat yang diperlukan untuk bertahan hidup dalam inang yang baru,” lanjut mereka dalam abstraknya.
Dengan kata lain, tim peneliti menemukan bahwa manusia adalah tuan rumah asli yang mungkin untuk bakteri Staphylococcus aureus . Galur pertama bakteri yang mampu menginfeksi ternak muncul sekitar waktu hewan pertama kali dijinakkan untuk peternakan.
Kajian tentang penjinakan hewan yang menjadi awal penularan dari manusia ke hewan misalnya dilakukan Serge Morand dari Universitas Montpilier, Perancis, dan kawan-kawan. Penelitian berjudul “Asal Usul Zoonosis pada Manusia dan Hewan Peliharaan: Masalah Waktu Domestikasi” itu dimuat dalam jurnal Elsevier tahun 2014.
“Kami menunjukkan hubungan positif antara waktu sejak domestikasi mamalia utama dan jumlah parasit penyakit menular yang ditularkan pada manusia. Kami menemukan bahwa hewan inang yang dijinakkan iut menjadi pusat jaringan penularan parasit atau penyebab penyakit ke manusia atau hewan lainnya,” demikian Serge Morand dan kawan-kawan dalam kesimpulannya.
Dalam kasus bakteri Staphylococcus aureus, sapi kemudian menjadi sumber galur bakteri yang sekarang menyebabkan infeksi pada populasi manusia di seluruh dunia. Analisis dari Emily J Richardson dan kawan-kawan mengungkapkan bahwa setiap kali bakteri melompat ke spesies lain, ia memperoleh gen baru yang memungkinkannya untuk bertahan hidup di inang baru. Dalam beberapa kasus, gen ini juga dapat memberikan resistensi terhadap antibiotik yang biasa digunakan.
Hasil investigasi bagaimana bakteri dipengaruhi oleh perubahan genetik yang terjadi setelah melompat spesies dapat mengungkapkan peluang untuk mengembangkan terapi anti-bakteri baru. Temuan ini juga dapat membantu untuk menginformasikan strategi yang lebih baik untuk mengelola infeksi untuk mengurangi risiko penularan ke orang, dan memperlambat munculnya resistensi antibiotik.