JAKARTA, KOMPAS – Revitalisasi atau penataan ulang pabrik gula yang kini tengah berlangsung dapat mendongkrak kapasitas produksi. Namun, tanpa kebijakan yang menjamin kesejahteraan petani tebu, program tersebut sulit mencapai taraf optimal.
Saat ini, sebanyak tujuh pabrik gula tengah direvitalisasi untuk meningkatkan produksi dan ditargetkan selesai pada 2019. Direktur Utama Perusahaan induk PT Perkebunan Nusantara atau PTPN III Dolly P Pulungan memaparkan, tahun depan kapasitas produksi Pabrik Gula (PG) Asambagus akan ditingkatkan menjadi 6.000 ton tebu per hari (TCD), PG Jatiroto (10.000 TCD), PG Gempol Krep (8.000 TCD), PG Rendeng (4.000 TCD), PG Mojo (4.000 TCD), PG Sragi (4.000 TCD), dan PG Tasikmadu (3.000 TCD).
Oleh sebab itu, Dolly optimistis produksi gula meningkat pada 2019. “Kami targetkan produksi gula mencapai 900.000 ton tahun depan. Sesuai peta jalan PTPN, kami akan mengandalkan jumlah pabrik yang tidak banyak tetapi produksinya tinggi otomatisasi mesin,” katanya saat ditemui di Jakarta, Senin (23/7/2019).
Proyeksi produksi gula pada 2018 sebanyak 800.000 ton. Dolly mengatakan, saat ini realisasinya masih 300.000 ton karena menunggu masa penggilingan pada Mei hingga September mendatang.
Sementara itu, Dolly mengatakan, saat ini ada 34 pabrik gula. Direktur Tanaman Tahunan PTPN III M Cholidi menambahkan, tingkat rendemen di pabrik-pabrik gula itu di atas 7 persen.
Akan tetapi, menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa, target produksi tersebut perlu disertai kebijakan suprastruktur yang menjamin kesejahteraan petani tebu. “Selain memperhatikan kenaikan kapasitas produksi pabrik, target yang meningkat membutuhkan kepastian lahan. Saya rasa, sulit menambah lahan dalam setahun ke depan. Oleh sebab itu, PTPN harus menambah kemitraan dengan petani,” tuturnya saat dihubungi.
Peningkatan kualitas dan kuantitas kemitraan dengan petani tergantung pada struktur harga. Dwi mengatakan, harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 9.700 per kilogram (kg) itu tidak realistis bagi petani tebu karena saat ini ongkos produksinya telah mencapai Rp 10.500 per kg. Oleh sebab itu, restrukturisasi HPP hingga harga eceran tertinggi perlu segera dikaji.
Berhenti beroperasi
Dalam kerangka revitalisasi, Cholidi menyebutkan, ada 9 pabrik yang telah berhenti beroperasi. Pabrik-pabrik itu ditutup lantaran kapasitas produksinya dinilai kecil atau di bawah 1.500 TCD sehingga dinilai tidak efisien.
Meskipun pabrik-pabrik itu berhenti beroperasi dalam produksi gula Kristal putih, fungsinya dialihkan menjadi tempat pelatihan atau workshop, tempat wisata budaya, atau produksi gula dalam bentuk lain. “Pabrik-pabrik (yang berhenti beroperasi) itu berdekatan dengan pabrik gula yang tengah dimodernisasi. Lahan tebu kedua jenis pabrik ini berada di area yang sama. Oleh sebab itu, produksi dialihkan ke pabrik yang lebih besar agar efisiensi dan efektivitas produksi meningkat,” tutur Cholidi.
Terkait diversifikasi produk gula, Cholidi mengatakan, pihaknya tengah mengkaji target volume produksi yang akan direalisasikan tahun depan. Pihaknya telah melihat peluang dalam memproduksi gula cair dan karamel.