JAKARTA, KOMPAS — ”Lebih baik menjual suara ketimbang jadi maling”, demikian moto para pengamen jalanan di Jakarta. Mereka sadar akan keterbatasan keterampilan yang dimiliki. Mereka menyimpan mimpi dan berusaha mencapainya. Para pengamen itu berusaha mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Namun, mereka tetap berusaha di jalan yang benar dan memperoleh duit halal.
Rachmad Hidayat (40) misalnya. Dia memetik gitar sembari melantunkan lagu ”Kota” karya Iwan Fals sembari duduk di dekat lampu lalu lintas di trotoar Jalan Gatot Subroto, Slipi, Jakarta Barat. Ia bernyanyi sambil menatap kendaraan yang melaju di jalan tersebut.
Rachmad telah bekerja sebagai pengamen jalanan selama 15 tahun terakhir. Pada siang hari, dia mengamen di area Blok M, Pasar Tanah Abang, dan sejumlah lokasi lain. Pada malam hari hingga subuh, dia mengamen di Slipi.
”Ngamen di sini (Slipi) dari pukul 23.00 sampai pagi sekitar pukul 04.00. Hampir tiap malam saya ngamen di sini. Banyak kendaraan yang lewat sini sehingga kesempatan mendapatkan recehan lebih besar,” ucap Rachmad.
Ketika lampu lalu lintas berubah merah, dia mendekati kendaraan yang berhenti, mengucapkan ”permisi Bang”, lalu memetik gitar sembari melantukan 2-3 lirik lagu. Pengemudi mengulurkan tangan dan memberikannya uang recehan. Rachmad melakukan hal yang sama terhadap dua-tiga kendaraan. Recehan yang dia terima bervariasi, mulai dari Rp 100 sampai Rp 1.000. Namun, tidak semua pengemudi memberinya uang.
Rachmad menceritakan, dirinya merantau dari Surabaya ke Jakarta sejak tahun 1980-an. Dia merupakan lulusan sekolah teknik jurusan mesin. Namun, saat itu sekolah baginya hanya formalitas karena tidak ada ilmu yang didapatkan.
”Kebanyakan tawuran. Akibatnya, sekarang ini saya tak punya keterampilan lain. Nyesel, tapi udah telanjur,” ujar Rachmad.
Ramdhani (21) juga mengalami hal yang hampir sama. Ia hanya lulusan sekolah dasar di Cirebon sehingga tidak memiliki keterampilan lain. Sudah lima tahun Ramdhani menjalani pekerjaan sebagai pengamen jalanan.
”Sebelumnya pernah narik angkot M11 arah Tanah Abang, tapi tak kuat. Lihat teman-teman ngamen di sini (Slipi), saya tertarik ikutan,” ujar Ramdhani.
Mereka berdua secara bergantian turun ke jalan, ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Giliran Ramdhani untuk turun, dia memainkan ukulele sembari menyanyikan lagu ”Di Kolong-kolong” karya pengamen jalanan. Sebuah lagu yang menceritakan kehidupan anak-anak jalanan.
Tanpa mengenakan alas kaki, Ramdhani berjalan sambil tersenyum sembari melantunkan lagu tersebut dari satu truk ke truk lain. Hingga pukul 3 pagi, dia telah mengumpulkan sekitar Rp 30.000.
Selain sebagai pengamen, baik Rachmad maupun Ramdhani hanya mampu bekerja serabutan. Mulai dari kuli bangunan, kuli panggul, hingga menjajakan kantong plastik telah mereka lakoni untuk menyambung hidup. Hal ini dilakukan karena sebagai pengamen jalanan, dalam sehari mereka mengantongi sekitar Rp 50.000.
”Saya harus pintar-pintar ngatur dan ngitung uang buat kebutuhan sehari-hari,” kata Rachmad.
Hidup lebih baik
Pagi itu waktu menunjukkan pukul 03.32. Seutas tali gitar milik Rachmad putus ketika dia dengan semangat memainkan lagu ”Darah Juang” karya Wiji Thukul. Ia menepi untuk membetulkan tali gitarnya.
Sambil membetulkan tali gitar, dia berseloroh, tidak ada lapangan pekerjaan lain yang bisa dilakoni. Kalaupun seandainya ada, tidak akan ada orang yang mau menjadi pengamen. Rachmad berharap orang-orang sepertinya dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik.
”Tak ada lagi kemampuan. Lebih baik menjual suara saja ketimbang jadi maling,” ujar Rachmad.
Tak ada lagi kemampuan. Lebih baik menjual suara saja ketimbang jadi maling.
Usia yang masih muda juga membuat Ramdhani punya keinginan untuk hidup yang lebih baik. Ia mengatakan ingin mengejar pendidikan Paket B dan C. Kelak, ketika mendapatkan ijazah, dia mendapat melatih keterampilan untuk hidup yang lebih layak.
”Tak muluk-muluk. Yang penting, saya bisa pegang ijazah dan ikut kursus keterampilan,” ucap Ramdhani.
Demikianlah para pengamen jalanan tetap memiliki prinsip hidup sendiri. Mencari uang di belantara Jakarta yang keras, mereka tetap berusaha mendapatkannya secara halal. Sungguh berbeda dengan perilaku para koruptor yang maling dan menjarah duit rakyat. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY)