Ritual Adat Betabur Tolak Pembukaan Kebun Sawit di Lamandau
Oleh
Dionisius Reynaldo
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Komunitas adat Laman Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, menggelar ritual adat betabur atau sumpah serapah sebagai penolakan terhadap perusahaan sawit desa mereka, Minggu (15/7/2018). Hutan yang sudah mereka petakan sebelumnya ternyata masuk wilayah konsesi perkebunan sawit dan mulai dibuka.
Pemetaan wilayah kelola masyarakat adat Laman Kinipan itu mereka nilai sia-sia. Usai pemetaan lahan seluas 16.164 hektar, seluas 1.242 hektar di antaranya digarap perusahaan sawit.
”Ritual itu bentuk penolakan kami dan protes terhadap pemerintah yang memberi izin,” kata Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing di Palangkaraya, Senin (23/7/2018). Lokasi desa mereka sekitar 600 kilometer dari Kota Palangkaraya atau butuh sekitar 15 jam perjalanan darat.
Sejak tahun 2016, pihaknya bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Lamandau melakukan pemetaan partisipatif bersama warga. Lebih kurang 16.164 hektar dipetakan di sekitar Desa Kinipan, Kecamatang Batang Kawa, Lamandau.
Pemetaan wilayah adat dilakukan atas dampingan AMAN Lamandau dan juga terdaftar dalam Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Masyarakat bersama pemerintah desa pun masih memegang sertifikat wilayah adat dari BRWA, lembaga yang dibentuk sejumlah LSM, termasuk AMAN dan Forest Watch Indonesia (FWI) dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif.
Luas hutan dan lahan yang dipetakan itu dibagi menjadi perkebunan masyarakat, wilayah berburu, dan wilayah yang dikeramatkan. Dalam kepercayaan Kaharingan, kepercayaan asli suku Dayak, setiap membuka ladang harus ada wilayah yang dibiarkan alami untuk dikeramatkan. Tujuannya sebagai tempat ritual ataupun tempat hidup satwa-satwa liar.
Namun, sejak awal Januari 2018, hutan dan kebun masyarakat dikonversi menjadi perkebunan sawit dengan luas 1.242 hektar. Hingga kini, masyarakat masih mengklaim wilayah itu merupakan wilayah kelola adat.
”Penolakan karena hutan adalah kehidupan. Kami meramu, mengambil bahan makanan, berburu, dan mencari rezeki di hutan dan kebun kami,” kata Effendi.
Effendi dan masyarakat adat Laman Kinipan pun melayangkan tuntutan hingga pusat. Meski belum direspons, pihaknya masih terus menolak melalui upacara adat dan ritual-ritual.
Hukum negara
Wakil Ketua I AMAN Lamandau Hermansyah Tuba mengungkapkan, pemberian izin di wilayah kelola masyarakat merupakan dampak dari lambatnya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia.
”Kalau undang-undangnya sudah ada, izin tidak lagi bisa diberikan di wilayah kelola adat. Ini juga bentuk ketidakpedulian pada kehidupan masyarakat adat,” kata Herman.
Selain itu, Juni 2013, Mahkamah Konstitusi RI telah mengeluarkan putusan Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. Namun, implementasi putusan tersebut masih minim dilaksanakan.
”Adanya putusan MK juga tak bisa mengubah cara pandang pemerintah dalam memberi izin. Logika salah dilakukan, yakni memberikan izin konsesi di atas hutan adat,” kata Herman.
Di Kabupaten Lamandau terdapat dua kecamatan yang masih memiliki hutan asli, yakni Batang Kawa dan Kecamatan Delang. Dua kecamatan ini diproyeksi pemerintah kabupaten menjadi lokasi wisata, tetapi saat ini mulai masuk investasi untuk mengonversi hutan menjadi wilayah perkebunan.
Menanggapi itu, Kepala Bidang Penyuluhan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Hutan Adat Dinas Kehutanan Kalteng Ikhtisan mengungkapkan, pihaknya sudah berupaya mengesahkan wilayah hutan adat melalui skema perhutanan sosial, tetapi terkendala sosialisasi, anggaran, dan lemahnya koordinasi.
”Untuk membentuk hutan adat itu berbeda. Masyarakat harus diberikan hak ulayat, tetapi masalahnya pemerintah di kabupaten belum membentuk masyarakat hukum adat. Tanpa itu tidak bisa disahkan hutan adatnya,” ujar Ikhtisan.
Di Kalteng, masyarakat adat belum diakui jika dilihat dari belum adanya hutan adat yang diakui pemerintah. Padahal, pemerintah sudah memasukkan kategori huan adat dalam skema perhutanan sosial.
Dari data Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng, dari target 1,5 juta hektar perhutanan sosial, baru terbentuk 121.112 hektar dengan total 68 pemegang izin. Rinciannya, hutan desa 23 izin, hutan kemasyarakatan 16 izin, hutan tanaman rakyat 29 izin. Adapun hutan adat dan kemitraan kehutanan belum ada sama sekali. Padahal, target pemerintah pada 2019 sudah bisa memenuhi 1,5 juta hektar.
Ikhtisan menyampaikan, sampai saat ini, pihaknya sudah menerima 12 peta wilayah kelola adat dari AMAN Kalteng. Namun, pihaknya masih harus melakukan proses identifikasi lokasi yang dilakukan tenaga ahli.
”Sudah ada kemajuan di hutan adat, kami masih melakukan identifikasi. Kendalanya hanya soal koordinasi dan sosialisasi yang belum optimal, masih banyak yang belum memahami skema perhutanan sosial ini,” kata Ikhtisan.