Rouhani-Trump Saling Gertak Melalui Perang Retorika, Pompeo Mengompori
Oleh
RETNO BINTARTI
·3 menit baca
WASHINGTON, SENIN — Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Iran Hassan Rouhani terlibat perang kata-kata keras bernada saling mengancam. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo ikut memanasi dan menyerang Rouhani secara pribadi dengan menyebut pemimpin Iran ini sebagai ”orang suci hipokrit”.
Serangan Trump melalui Twitter, Senin (23/7/2018), merupakan respons atas pernyataan Presiden Rouhani sebelumnya. ”Jangan pernah mengancam Amerika lagi atau Anda akan menerima konsekuensi menderita seperti beberapa (negara) dalam sejarah yang pernah mengalami penderitaan sebelumnya,” begitu tulis Trump menggunakan huruf kapital dalam akun Twitter-nya.
”Kami bukan lagi negara yang membela kata-kata gila Anda tentang kekerasan dan kematian, hati-hati,” kata Trump.
IRNA, kantor berita Pemerintah Iran, menihilkan kicauan itu dan menyebutnya sebagai sebuah ”reaksi pasif” atas pernyataan Rouhani. Pemimpin Iran ini sebelumnya dalam sebuah pertemuan diplomatik Iran mengatakan, ”Trump jangan bermain dengan ekor singa, ini hanya akan membawa penyesalan.”
Sebagaimana dikutip kantor berita IRNA, Rouhani mengatakan, Amerika harus mengetahui bahwa perdamaian dengan Iran merupakan biang dari semua perdamaian. Sebaliknya, perang dengan Iran merupakan biang semua perang, kata Rouhani dalam pertemuan itu.
Perang kata-kata ini dipandang sebagai hal yang tidak mengejutkan oleh sejumlah pengamat mengingat Trump sudah biasa melontarkan kata-kata keras. Namun, pengamat juga melihat bahasa yang digunakan Presiden AS itu keras di luar standar Trump selama ini.
Bahkan, hal itu mengejutkan banyak pengamat di Timur Tengah, kata analis militer CNN, Rick Francona. ”Tampaknya ini sedikit ke luar dari karakter dan sedikit mengkhawatirkan banyak orang,” kata Francona, mantan pejabat intelijen angkatan udara AS yang kini bekerja di Timteng.
”Ini sangat membahayakan,” katanya.
Namun, pengamat politik terkemuka Iran, Seed Leilaz, melihat apa yang disampaikan Trump sebagai ”serangan badai sebelum nantinya reda”. Dia mengutarakan hal itu sambil membandingkan dengan apa yang pernah dilakukan Trump dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Sebelum Trump dan Kim bertemu, keduanya sering kali terlibat dalam perseteruan retorika keras.
”Baik Iran, juga negara lain, tidak tertarik dengan peningkatan ketegangan di kawasan,” kata Leilaz.
Perang kata-kata antara Trump dan Rouhani sudah terjadi sejak Trump melakukan kampanye dan menuduh perjanjian perlucutan nuklir dengan Iran sebagai sesuatu yang keliru. Trump benar-benar menunaikan janjinya untuk menarik kesepakatan yang sudah ditandatangani pada Mei lalu. Padahal, kesepakatan yang dihasilkan dari proses panjang itu juga melibatkan negara-negara besar, seperti Jerman, Inggris, Perancis, Rusia, China, dan Uni Eropa.
Pompeo mengompori
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo juga melontarkan kritik keras terhadap Iran dan juga para pemimpinnya. Dalam pidato di museum dan perpustakaan Ronald Reagan di California, Minggu (22/7/2018), Pompeo menuduh pemimpin rohani Iran merupakan orang-orang hipokrit. Sementara rakyat menderita, kata Pompeo, mereka hidup kaya raya.
Dia juga menuduh Pemerintah Iran menindas hak asasi manusia, kehormatan, dan kebebasan fundamental rakyat. Kendati demikian, kata Pompeo, ”Rakyat Iran yang mempunyai kebanggaan tidak tinggal diam atas banyak penindasan oleh pemerintah.”
Pompeo menjanjikan akan mendukung rakyat Iran. ”Dan AS di bawah Presiden Trump tidak akan tinggal diam,” katanya.
Teheran menganggap pidato Pompeo sebagai sebuah intervensi terhadap urusan dalam negeri. ”Kebijakan-kebijakan itu akan mempersatukan rakyat Iran yang akan mengatasi persekongkolan terhadap negara,” kata juru bicara Kementerian Dalam Negeri Bahram Qasemi, sebagaimana dikutip kantor berita Tasnim.
Pompeo, yang menggantikan mantan Menlu Rex Tillerson, saat ini sedang menjalani ”ujian” melanjutkan pertemuan Trump dan Kim Jong Un. Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda konkret tentang perlucutan senjata Korea Utara setelah pertemuan puncak bulan Juni lalu di Singapura. Bahkan, dalam sebuah kunjungan Pompeo ke Pyongyang, Korea Utara, pejabat Korut kecewa dengan menyebut pejabat AS dalam pertemuan ”seperti gangster”. (AFP/AP)