Kerugian tak terhingga diderita penumpang kereta rel listrik (KRL) se-Jabodetabek sepanjang akhir pekan hingga Senin (23/7/2018). Telat ke kantor atau terlambat datang pada pertemuan penting, bisa berbuntut panjang. Namun, sepertinya semua itu tidak terlalu diperhitungkan pengelola PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) pengelola KRL.
Para pengguna setia KRL seperti dibiarkan sendiri, padahal mereka konsumen yang patuh membayar serta selalu dibayangi sanksi, seperti suplisi, jika tak memenuhi aturan KCI. Permintaan maaf dari PT KCI pun datang terlambat, saat semua sudah kalang kabut, kacau balau. Selama tiga hari dari Sabtu (21/7/2018) hingga Senin (23/7/2018) kemarin, ratusan ribu penumpang setia KRL dibiarkan kebingungan sendiri.
Nantika (22), warga Kecamatan Mustika Jaya, Kota Bekasi, misalnya, turut larut dalam kekacauan sistem tiket KRL. Kekacauan yang menurut jajaran pengelola KCI pada jumpa pers, Senin, dipicu penyelesaian program pembaruan sistem tiket elektronik yang meleset dari target.
Nantika mengatakan, informasi pembaruan sistem tiket elektronik yang ia terima tidak menyeluruh. Karyawan swasta di Pademangan, Jakarta Utara, itu mengatakan, dalam pemberitahuan yang disiarkan di dalam kereta, hanya diberitahukan pembaruan berdampak pada kartu multi trip (KMT) tidak bisa digunakan untuk membeli tiket KRL. Ia kebingungan ketika tidak bisa membeli tiket menggunakan kartu uang elektronik yang dikeluarkan bank pada Sabtu siang di Stasiun Bekasi.
Kejadian serupa berulang keesokan harinya. Pada Minggu siang, bukan hanya Nantika yang gagal memindai uang elektronik, tetapi juga calon penumpang kereta yang lain. “Tidak ada petugas memberi tahu kami jika sedang ada perbaikan sistem tiket elektronik, makanya kami mencoba memindai uang elektronik berulang kali,” ujar Nantika.
Saat itu, tambahnya, hanya tiket harian berjaminan (THB) yang bisa dideteksi mesin pemindai di pintu masuk stasiun.
Kebingungan penumpang kembali terjadi pada hari ketiga. Lidzikri Audie Sayna (23), warga Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi, mengatakan, sebelumnya telah mengetahui informasi pembaruan sistem tiket elektronik dari media sosial.
Namun, informasinya pembaruan hanya berdampak pada pengguna KMT. Ia kaget ketika sampai di stasiun, baik KMT, THB, maupun uang elektronik tidak bisa digunakan. Ia harus mengantre membeli tiket kertas Rp 3.000 untuk semua tujuan.
Sampai Senin sore sistem tiket KRL tak kunjung membaik sempurna. Di Stasiun Palmerah, Jakarta Pusat, kartu elektronik dari salah satu bank tak diterima. Para penggunanya harus kembali antre panjang untuk membeli THB.
"Jadi ribet dan sesak di dalam stasiun," kata Raihan (27) di Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin sekitar pukul 17.00 dengan keringat mengucur di kening. Ia menambahkan, saat di Stasiun Rangkasbitung, Lebak, Banten, pagi harinya, ia harus antre sekitar dua jam untuk membeli tiket kertas.
Dalam jumpa pers manajemen KCI, Senin, diperoleh informasi bahwa sistem tiket elektronik KCI yang dimulai 2013 dikelola Telkomsigma, anak perusahaan PT Telkom. Tahun 2013, jumlah penumpang baru sekitar 400.000 orang per hari. Saat ini, sudah 1 juta orang per hari sehingga pembaruan dan pemeliharaan sistem adalah keniscayaan.
Namun, antisipasi dampak upaya pembaruan sistem seperti tak disiapkan dengan baik. Yakin atas teknologi dan kecakapan teknisi yang bertugas, tidak masalah. Asal jangan lantas mempertaruhkan nasib konsumen setia KRL. Tiga hari kekacauan untuk suatu layanan publik seperti ini adalah kesalahan fatal.