Gawai dan Konten Internet untuk Anak Akan Dibatasi
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Fenomena kecanduan gawai pada anak saat ini menjadi perhatian pemerintah. Pembatasan penggunaan gawai pada anak, termasuk membatasi konten dan informasi yang tidak layak bagi anak, merupakan salah satu langkah yang akan ditempuh pemerintah untuk melindungi anak dari adiksi atau kecanduan pada gawai.
Pemerintah tengah menyusun kebijakan pembatasan penggunaan gawai di sekolah. Bentuknya nanti berupa kesepakatan bersama antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Kementerian Agama, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
“Poin penting dari kesepakatan bersama tersebut adalah adanya imbauan untuk satuan pendidikan (sekolah dan madrasah) untuk melarang peserta didik membawa gawai ke sekolah,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise, Selasa (24/7/2018), ketika dihubungi Kompas di Jakarta.
Menurut Yohana, pembatasan gawai pada anak sangat penting karena ada banyak kasus dampak negatif penggunaan gawai pada anak-anak, seperti kecanduan pornografi, berpengaruh pada kesehatan, kesulitan berkonsentrasi, hingga menurunkan prestasi belajar.
Selain larangan membawa gawai ke sekolah, kesepakatan tersebut juga menyangkut langkah Kemkominfo untuk melakukan integrasi penggunaan internet sehat di satuan pendidikan dengan membuat materi tentang cara penggunaan gawai yang benar seri anak dan orangtua.
Kategorisasi usia
Menteri Kominfo Rudiantara sepakat jika ada kebijakan pembatasan penggunaan gawai di kalangan anak-anak untuk melindungi anak-anak dari kecanduan gawai. "Bagus untuk diterapkan, demi kepentingan yang lebih besar. Kebijakan ini harus terintegrasi bersama Menteri PPPA dan Mendikbud. Setidaknya dari Kominfo sudah melakukan kategorisasi usia bagi pengguna gim daring," ujarnya.
Kategori usia pengguna gim daring diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik. Pada permen ini pengguna gim daring dibagi dalam kelompok usia 3 tahun, 7 tahun, 13 tahun, 18 tahun, dan semua kelompok umur.
Misalnya, konten untuk usia 3 tahun antara lain tidak boleh memperlihatkan tulisan atau gambar yang berhubungan dengan rokok, minuman keras, dan narkoba, kekerasan, tidak menggunakan bahasa kasar atau humor dewasa, dan tidak menampilkan adegan dengan tujuan menimbulkan hasrat seksual. Pada usia ini, gim tidak boleh memiliki fasilitas interaksi dalam jaringan berupa percakapan, multipemain, dan pertukaran data, serta harus didampingi orangtua.
Untuk akses media sosial, Kemkominfo juga membatasi usia penggunanya, antara lain usia 13 tahun (Facebook, Twitter, dan Instagram), 16 tahun (WhatsApp), dan 18 tahun (YouTube). Penggunaan YouTube di bawah usia 18 tahun harus didampingi orangtua.
Peta jalan perlindungan
Pemerintah juga menyusun peta jalan perlindungan anak di internet. Tujuannya, kata Sekretaris Direktorat Jenderal Aplikasi dan Informatika Kemkominfo Mariam Fatima Barata, antara lain untuk mengidentifikasi risiko dan titik-titik rentan bagi anak dan remaja di dunia maya, membangun kesadaran literasi digital melalui berbagai media, mengembangkan perangkat praktis untuk mengurangi risiko internet, serta membagikan pengetahuan dan pengalaman agar perlindungan bisa diimplementasikan secara konkret.
Peta jalan perlindungan ini juga bertujuan untuk meningkatkan pengawasan dan memudahkan pelaporan ketika terjadi indikasi atau peristiwa kejahatan siber pada anak dan remaja. “Peta jalan perlindungan ini masih perlu pembahasan dan pengembangan lebih lanjut,” katanya.
Mariam juga mengakui langkah pemblokiran konten-konten negatif yang selama ini dilakukan Kemkominfo tak menyelesaikan masalah bahaya yang terkait penggunaan internet dalam gawai.
Di Kemendikbud, informasi dan panduan tentang penggunaan gawai pada anak disampaikan pada laman sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id. Kemdikbud juga mendorong penguatan pendidikan keluarga melalui sekolah. Caranya, dengan memberikan bimbingan teknis kepada sekolah agar bisa mendorong orangtua berperan aktif melindungi anak-anak dalam penggunaan gawai. Orangtua diundang dalam pertemuan dengan materi-materi terkait penggunaan gawai pada anak.
"Para orangtua harus punya bekal untuk memahami soal internet agar memahami dampak positif dan negatif," ujar Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga, Kemdikbud, Sukiman.
Buku panduan
Terkait hal tersebut, berdasarkan Kajian Dampak Penggunaan Media Sosial Bagi Anak Dan Remaja yang dilakukan Pusat Kajian Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia tahun 2017, pemerintah dalam hal ini KPPA perlu menyusun buku panduan bermedia sosial bagi anak untuk anak-anak, orangtua, dan sekolah. Agar mendapatkan model yang implementatif, buku panduan ini harus mengacu pada mengenai praktik dan dampak bermedia sosial pada anak.
Kajian tersebut juga menunjukkan bahwa orangtua, pemerintah, industri, organisasi pendidikan, perangkat hukum dan keamanan, anak dan remaja, tidak dapat menyebutkan secara sistematis mekanisme perlindungan yang ideal bagi anak dan remaja ketika mengakses media sosial. Bahkan, pihak tersebut kurang menganggap perlu usaha preventif media sosial untuk melindungi anak dan remaja.
Kebanyakan menyebutkan Kemenkominfo merupakan pihak yang paling kompeten untuk menciptakan mekanisme perlindungan, karena diangggap sebagai lembaga yang memiliki otoritas pengawasan konten dan mekanisme akses pada media sosial.
Data studi tersebut juga menunjukkan bahwa fokus pada mekanisme formal perlindungan dan pendampingan korban tidak menjadi perhatian. Orang tua dan guru masih disebut sebagai pihak yang bertanggung jawab pada perlidungan dan pendampingan anak dan remaja. Padahal, jika terjadi korban karena aktivitasnya di media sosial, masyarakat membutuhkan sistem formal yang lebih komprehensif, yang melibatkan aparat keamanan, aparat hukum, institusi kesehatan, dan institusi sosial.