Tak Peduli Siapa Menang, Negara Tetap Ruwet
Husain Haqqani, Duta Besar Pakistan untuk Amerika Serikat (2008-2011) yang kini menjabat Direktur Asia Selatan dan Asia Tengah pada Institut Hudson di Washington DC, AS, mengkritisi pelibatan militer dalam pemilu yang digelar di negaranya, Rabu (25/7/2018) ini.
“Militer berpikir pemilu menjadi panggung baginya untuk bisa memerintah dari atas. Namun, rencana itu bisa menjadi bumerang,” tulis Husain di Foreign Policy.
Kemungkinan kembalinya kekuasaan militer di negara itu menjadi kekhawatiran yang luas. Mengikuti berita tentang Pemilu Pakistan yang dimuat Kompas sejak pekan lalu, jelas terlihat ada kekhawatiran itu di dalam negeri dan di kalangan warga diasporanya di luar negeri.
Rasa khawatir semakin kuat setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pakistan memberikan kewenangan lebih besar kepada militernya untuk menindak pelanggaran di tempat pemungutan suara (TPS). Banyak pihak yang trauma atas intervensi militer terhadap politik juga mengecamnya.
Beberapa pengamat menilai, peran militer yang sangat dominan di dalam pemilu kali ini ikut mencemari atmosfer demokrasi hingga ke tempat-tempat pemungutan suara.
Seorang koresponden The Economist di Pakistan, melaporkan, tampaknya militer sedang mencoba untuk menyingkirkan para seterunya. Militer Pakistan benar-benar sedang berusaha membuat institusinya berkuasa.
Campur tangan militer itu, yang secara lokal dimengerti sebagai penegakan (kekuasaan militer), memastikan bahwa apapun hasil pemilu tidak akan dapat membawa Pakistan keluar dari ‘ketidakstabilan yang kronis’ dan ‘hubungan buruk sipil-militer’.
Penegakan kekuasaan militer dapat mengancam atau berpotensi menyingkirkan dua partai yang dalam tiga dekade terakhir mendominasi panggung politik Pakistan, yakni Liga Muslim Pakistan-Nawaz (PML-N) dan Partai Rakyat Pakistan (PPP).
PML-N yang dipimpin mantan Perdana Menteri Nawaz Sharif itu sangat populer di kalangan etnis Punjabi atau suku Punjab, yang membentuk setengah lebih populasi Pakistan.
PPP yang didirikan mendiang Perdana Menteri Benazir Bhutto dan sekarang dipimpin oleh suaminya, mantan Presiden Asif Ali Zardari, mendapat dukungan tradisionalnya di Provinsi Sindh Selatan.
Dari sisi penegakan kekuasaan, PML-N dan PPP melambangkan dinasti yang berurat berakar, yang tak pernah sepakat dengan militer mengenai kebijakan luar negeri dan keamanan nasional.
Dominasi militer
Para petinggi militer pun menganggap Sharif dan Zardari sebagai tokoh yang korup. Militer lantas memberi panggung kepada mantan bintang kriket Imran Khan dan Partai Tehreek-e-Insaf (PTI) yang dipimpin Khan.
Sekalipun Khan telah lama bermain di panggung politik, yakni sejak 1997, namun nasibnya buruk. Selama tiga kali kontestasi untuk pemilihan parlemen, Khan dan partainya, PTI, selalu tersingkir.
Khan juga tidak pernah memegang posisi penting pemerintahan. Ia dinilai sebagian besar publik Pakistan sebagai sosok yang tidak siap memimpin negara bersenjata nuklir dan berpenduduk 200 juta lebih jiwa itu.
Selain itu, sebagian besar kandidat PTI saat ini adalah mantan anggota PML-N dan anggota parlemen PPP yang dibujuk — atau dipaksa — untuk membelot dan bergabung ke partai Khan itu.
Maka, andaikan Khan nanti menjadi perdana menteri pertama kalinya, pemerintahannya akan terdiri dari beberapa orang korup yang pernah ia caci-maki di sepanjang karier politiknya.
Militer dilaporkan telah mengatur serangkaian langkah hukum dan politik yang rumit untuk melapangkan jalan bagi kemenangan Khan. Yang paling penting dari langkah-langkah ini adalah penyingkiran Sharif sebagai perdana menteri tahun lalu.
Setelah penyelidikan korupsi yang dipicu oleh skandal Panama Papers, Ketua Mahkamah Agung Pakistan Mian Saqib Nisar pada akhir Juli 2017 mendiskualifikasi Sharif karena dinilai gagal memenuhi kriteria konstitusional yakni “kejujuran dan kebijaksanaan”.
Sharif diadili secara in absentia pada 6 Juli 2018 karena berada di London, Inggris. Bersama putrinya Maryam, ia dihukum karena korupsi. Sharif dihukum penjara 10 tahun dan Maryam tujuh tahun.
Pria kelahiran Lahore pada 1949 itu menegaskan, hukuman atas dirinya bermotif politik untuk menjegalnya ia berkuasa kembali. Ia pun bersumpah untuk kembali ke Pakistan dan siap masuk penjara.
“Saya akan pulang. Saya akan melanjutkan perjuangan saya sekalipun berada di penjara,” katanya sebagaimana dilaporkan BBC News.
Dan benar saja, ketika Sharif dan putrinya tiba di Lahore pada 13 Juli 2018, aparat keamanan Pakistan menjebloskan mantan perdana menteri tiga kali itu dan Miryam putrinya ke dalam penjara.
Dalam konteks pemilu kali ini, militer Pakistan sebenarnya dengan jelas menginginkan sipil menguasai pemerintahan, tetapi sipil yang mengikuti perintah militer mengenai kebijakan terhadap India, Afghanistan, terorisme, serta hubungan dengan China dan Amerika Serikat (AS).
Husain mengatakan, militer tidak ingin seorang politisi sipil benar-benar yang berkuasa, sekalipun misalnya ia telah terpilih secara demokratis. Terkait dengan itu, strategi militer adalah melapangkan partainya Khan untuk berkuasa dengan mempersulit PML-N, dan bahkan PPP, untuk berkampanye.
Selain Sharif, pengadilan telah mendiskualifikasi sejumlah besar kandidat PML-N. Petugas intelijen militer telah mengintimidasi beberapa pemimpin lokal yang berpengaruh untuk bergabung dengan PTI, partai-partai pro-kemapanan lainnya, atau maju sebagai kandidat independen.
Kebebasan media juga telah dibatasi dengan banyak wartawan menerima ancaman langsung dari perwira militer. Kepala humas militer mengumumkan daftar wartawan dan blogger "anti-negara" pada konferensi pers dalam upaya untuk mengintimidasi mereka.
Beberapa ekstremis agama, termasuk beberapa yang telah ditetapkan sebagai teroris, diizinkan untuk maju dan berkampanye dengan bebas. Kandidat antikemapanan dan anti-Taliban menghadapi serangan teroris, sementara partai Khan dan tokoh yang didukung militer dibebaskan.
Meskipun kekerasan tahun ini berkurang dibandingkan pada Pemilu 2008 dan 2013, militer Pakistan berencana mengerahkan 371.388 tentara dan pasukan cadangan di setiap TPS pada Rabu ini. Alasannya, ancaman Taliban dan kelompok garis keras lainnya, bahaya laten negara itu, sangat besar.
Dengan kewenangan itu, militer juga berhak menangkap orang yang diduga melanggar aturan pemilu di TPS. Mereka yang terbukti bersalah dapat dipenjara hingga enam bulan.
Masalah itu telah menimbulkan kekhawatiran bahwa tentara mungkin digunakan untuk mempengaruhi hasil pemungutan suara di TPS atau kotak-kotak suara.
Pelibatan militer dalam Pemilu Pakistan sangat melanggar semangat konstitusi.
Seorang pengacara Pakistan, Haider Imtiaz, menyatakan pelibatan militer dalam pemilu sangat mengganggu karena diberi kekuasaan kehakiman. ”Hal itu melanggar semangat konstitusi,” ujarnya.
KPU Pakistan telah melarang para pemilih dan kandidat membawa ponsel ke TPS – langkah untuk mencegah rekaman suara atau gambar yang bisa mengungkap gangguan atau kecurangan dalam pemungutan suara.
Bumerang
Ironisnya adalah bahwa rekayasa politik seperti itu telah menjadi bumerang di masa lalu. Dalam pemilu pertama Pakistan pada 1970, tentara juga mencegah pemimpin Bengali Sheikh Mujib, tetapi Liga Awami-nya menyapu jajak pendapat.
Rangkaian peristiwa berikutnya menyebabkan Pakistan timur melepaskan diri dan menjadi negara merdeka bernama Bangladesh.
Kemudian, mulai tahun 1988 dan seterusnya, rekayasa politik militer difokuskan untuk mengurangi pengaruh PPP. Pada masa itu, Sharif adalah pilihan alternatif militer menghadang Benazir Bhutto.
Langkah itu, tentu saja, juga menjadi bumerang. Faktanya terlihat tiga dekade kemudian, kesuksesan militer mencabut "duri" (PPP) politiknya disertai dengan kebutuhan untuk melakukan operasi baru melawan Sharif dan PML-N.
Seharusnya fakta-fakta itu berfungsi sebagai peringatan bahwa politik tidak selalu bermain seperti yang dibayangkan oleh para perencana di markas militer Pakistan.
Jajak pendapat kali ini menunjukkan bahwa PML-N sanggup mempertahankan basis pemilihnya. Para pendukung Sharif di Punjab terbukti sulit dibendung. Namun, ratusan aktivis PML-N ditangkap demi mencegah dukungan besar suara untuk Sharif ketika ia mengumumkan akan kembali dari London untuk masuk penjara di Pakistan.
Jika PML-N meraih semua peluang dan berhasil menang, kasus-kasus korupsi dan pertarungan hukum berikutnya akan terus mengganggu kemampuan Sharif untuk menjalankan pemerintahan.
Tentu saja hubungan sipil-militer juga akan tetap tegang dengan potensi konfrontasi lainnya yang lebih besar.
Di sisi lain, jika Khan yang menang setelah pemilu, berkat dukungan militer dan dengan potensi manipulasi suara, ia akan mengalami kekurangan dukungan kepercayaan (kredibilitas) yang dibutuhkan untuk pemerintahan yang efektif.
Fakta itu mungkin tampak seperti sebuah paradoks: mengapa Khan butuh kredibilitas jika militer benar-benar berkuasa membantunya? Tetapi kredibilitas itu sangat penting bagi militer untuk mempertahankan dalih bahwa Pakistan adalah negara demokrasi konstitusional, bukan negara diktator.
Husain mengatakan, militer Pakistan telah menjadi tawanan sistemnya sendiri. Para petingginya menginginkan panggung demokrasi, tetapi mereka tidak membiarkan seorang politisi menonjol dalam pekerjaannya.
Begitulah misalnya, ketika masalah muncul, militer yakin bahwa kekurangan itu secara eksklusif disebabkan oleh ketidakmampuan dan korupsi para politisi. Mereka ingin berkuasa, tetapi tak mau bertanggung jawab. Masalah ini bak lingkaran tak berujung.
Tetapi ada keengganan untuk mengakui bahwa konflik militer Pakistan dengan India di perbatasan kedua negara, dukungannya terhadap terorisme selama beberapa dekade terakhir, dan isolasi internasional akibat kebijakan yang diperjuangkan militer, mungkin juga ada hubungannya dengan reputasi negara itu sebagai sebuah negara yang selalu dilanda krisis.
Tidak peduli siapa yang menang pada pemilu pada Rabu (25/7/2018) ini, situasi politik Pakistan akan tetap ruwet. Penegakan kekuasaan yang dikendalikan militer akan semakin efektif.
Masalah lain yang juga bakal membuat ruwet akibat ketidakstabilan politik adalah kelompok ekstremis dan teroris yang dipastikan masih terus eksis merongrong negara itu. Selain kemiskinan, masalah isolasi ekonomi internasional juga mungkin tetap bercokol.
Hanya militer yang dapat mengubah semua ini, jika Pakistan benar-benar ingin memutuskan lingkaran ketidakstabilan yang ditanggung oleh politik negara itu.
Sementara itu militer Pakistan telah menepis semua keraguan publik dan tuduhan tentang supremasi militer di negara yang memiliki senjata nuklir itu.
Terkait dengan pemilu kali ini, juru bicara militer Pakistan, Mayor Jenderal Asif Ghafoor, mengatakan, militer akan tetap netral. ”Peran militer mendukung KPU sesuai tugas yang mereka minta kepada kami,” katanya.
Di tengah pesimisme yang luas akan peran militer dalam pemilu, publik juga masih menaruh harapan agar militer benar-benar netral. Pemerintah, masyarakat, dan politik jangan sampai termiliterisasi pada taraf yang membahayakan negara itu sendiri.(AFP/REUTERS/BBC NEWS/AP)