Sekelompok anak terdiri dari empat orang berseliweran di area lampu lalu lintas. Seorang di antara mereka, kelihatannya paling besar usianya, menenteng kantong plastik berwarna merah. Tiga anak lainnya, masing-masing memegang tiga sampai empat bungkus tisu ditangan.
Ketika lampu lalu lintas berubah menjadi merah, dengan cepat mereka melangkah, turun ke jalan. Mereka mendekati kendaraan yang berhenti, merapatkan badan ke arah pintu sembari menawarkan tisu. “Tisunya, Pak, Rp 5000 satu bungkus” ujar salah satu anak.
Inilah anak-anak yang menjajakan tisu, saban hari di area perempatan Jalan Tentara Pelajar dekat palang pintu Stasiun Palmerah, Jakarta Barat. Sore itu, Rabu, (25/7/2018) pukul 16.38, mereka tengah duduk lesehan di dekat pos palang pintu perlintasan kereta stasiun Palmerah. Duduk membentuk lingkaran, mereka saling melempar guyon sembari menanti lampu lalu lintas berwarna merah.
“Kami di sini (menjajakan tisu) dari pukul satu siang sampai nanti pukul sepuluh malam,” ujar Putri (15), anak yang paling besar di antara mereka.
Bersama Kesya (8), Sela (11), dan Tia (5), Putri sudah sejak lama menjajakan tisu. Mereka menjajakan tisu untuk menambah uang saku. Selain itu, uang hasil menjajakan tisu juga diberikan kepada orang tua masing-masing. Dalam sehari, rata-rata mereka mendapatkan Rp 50.000 sampai Rp 150.000.
Setiap hari, sepulang dari sekolah, mereka akan berkumpul untuk berangkat dari tempat tinggal di daerah Kalideres menuju Slipi. Mereka menggunakan mikrolet, lalu melanjutkan perjalanan menggunakan angkot dari Slipi menuju Pasar Palmerah. Kemudian mereka berjalan kaki menuju tempat menjajakan tisu.
“Kami sepupu, dari kelas satu sekolah dasar udah mulai (menjajakan tisu) di sini. Kadang-kadang (menjajakan) bunga. Setangkai Rp 15.000 sampai Rp 20.000,” ucap Putri.
Mereka bercerita, tidak malu menjajakan tisu. Namun, ada perasaan senang dan sedih ketika berada di sekolah. Mereka merasa bangga dapat menghasilkan uang jajan sendiri, juga dapat membantu orang tua. Di sisi lain, mereka merasa sedih karena teman-teman meledek apa yang mereka kerjakan.
Mereka merasa bangga dapat menghasilkan uang jajan sendiri, juga dapat membantu orang tua.
Kesya dan Sela misalnya, teman-teman di sekolah meledek mereka dengan kata “gembel” dan “pengemis”. Ada juga yang mengatakan, “dasar penjual tisu”. Menanggapi hal tersebut, mereka mengaku hanya membalas dengan senyuman. Bagi mereka, apa yang dilakukan (menjajakan tisu) tidak merugikan orang lain.
“Cuma punya sedikit teman di sekolah, tapi tak apa-apa. Sabar aja,” ucap Sela.
Waktu menunjukkan pukul 02.35 dinihari di Jalan Penjernihan 1, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Rabu (25/7/2018). Dua orang anak duduk dan saling bersandar di atas trotoar, perempatan lampu lalu lintas di jalan tersebut. Di dekat mereka, tergeletak kantong plastik berwarna hitam berisi tisu.
Wajah keduanya menunjukan rasa letih. Namun, ketika lampu lalu lintas berwarna merah, mereka bergegas turun ke jalan untuk menawarkan tisu kepada pengendara yang berhenti. Sekitar pukul 03.00, keduanya menepi, bersandar pada tiang lampu lalu lintas. Sepertinya energi mereka telah mencapai batasnya.
Cita-cita
Putri, Kesya, Sela, dan Tia mengaku tidak ada kendala dengan waktu sekolah mereka. Mereka dapat mengatur waktu untuk belajar, bermain, dan menjajakan tisu. Bagi mereka, sekolah tetap nomor satu karena mereka punya cita-cita yang ingin dicapai.
Mereka dapat mengatur waktu untuk belajar, bermain, dan menjajakan tisu. Bagi mereka, sekolah tetap nomor satu karena mereka punya cita-cita yang ingin dicapai.
“Mau jadi artis, biar bisa masuk televisi. Kalau gitu (jadi artis) kan harus usaha, rasa malu dan minder harus dilawan,” ucap Putri.
Kesya dan Tia sama-sama ingin menjadi dokter. Mereka ingin merawat orang yang sakit. Untuk mencapai keinginan itu, mereka bertekad untuk giat ke sekolah dan rajin belajar. Sedangkan, Sela ingin menjadi jaksa. Sembari tersenyum, Sela mengatakan, menjadi jaksa itu hebat.
Pada usia yang masih belia, anak-anak ini harus merasakan kerasnya kehidupan. Ketika anak-anak sebayanya bermain dengan riang-gembira, mereka harus menghabiskan waktu di jalanan untuk menjajakan tisu. Mereka tetap berusaha untuk mengejar cita-cita, meski itu dimulai dari melawan rasa malu dengan menjadi seorang penjaja tisu. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY)