JAKARTA, KOMPAS - Adanya indikasi ratusan mantan terpidana korupsi yang terdaftar sebagai calon anggota DPRD membuat komitmen partai politik dalam pakta integritas dipertanyakan. Publik semakin kehilangan kepercayaan terhadap parpol. Hingga saat ini, belum ada parpol yang mengganti mantan terpidana korupsi tersebut dan membiarkan para calon legislatif bermasalah tersebut untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung.
Berdasarkan data sementara yang dihimpun Badan Pengawas Pemilu hingga Rabu (25/07/2018) malam, ada 192 bakal calon anggota DPRD di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota yang merupakan bekas napi kasus korupsi. Dari jumlah tersebut, 26 orang dicalonkan untuk memperebutkan kursi DPRD provinsi, 146 orang dicalonkan di DPRD kabupaten, dan 20 orang dicalonkan di DPRD kota. Calon tersebut tersebar di sembilan provinsi, 92 kabupaten, dan 11 kota di Indonesia
Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menjelaskan, parpol belum memiliki komitmen untuk menjalankan pakta integritas yang menjadi syarat dalam PKPU No 20/2018 tentang pencalonan legislatif. “Ini bukan hanya kesalahan para mantan napi korupsi, melainkan juga menjadi kesalahan parpol yang masih menyetujui mereka untuk mendaftar,” ujarnya dalam diskusi ‘Benarkah Indonesia Surga Bagi Koruptor?’ di Jakarta, Kamis (26/07/2018).
Dari data sementara Bawaslu tersebut, Gerindra menjadi parpol yang paling banyak mendaftarkan mantan napi korupsi sebagai anggota DPRD sebanyak 27 orang. Kemudian, Golkar menempati posisi kedua sebanyak 23 orang dan pada posisi ketiga ditempati oleh Partai Berkarya sebanyak 16 orang. Selain itu, sebelumnya KPU juga merilis data bahwa ada lima mantan napi korupsi yang mendaftar sebagai caleg DPR RI.
Hingga saat ini, belum ada parpol yang mengganti mantan napi tersebut, dan pihak-pihak yang keberatan melakukan gugatan ke MA. Emerson menjelaskan, saat ini bola panasnya berada di MA. “MA harus tegas untuk menjaga komitmen pencegahan anti korupsi, sehingga saat ini kita hanya bisa berharap pada keputusan MA ,” ujarnya.
Berdasarkan jadwal, KPU masih menunggu proses pergantian caleg ini hingga tanggal 31 Juli, sedangkan sejumlah gugatan masih bergulir di MA. Emerson mengatakan, nantinya jika keputusan MA belum keluar hingga tanggal 31 Juli, maka KPU perlu dengan tegas mencoret nama mantan napi korupsi tersebut.
Peneliti politik dari lembaga survei Kedai Kopi, Kunto Adi Wibowo mengatakan, saat ini publik sudah jenuh dengan pencitraan yang dilakukan parpol. “Pakta integritas ini seakan ditandatangani hanya sekadar hitam di atas putih dan sebagai sarana pencitraan parpol saja,” ucapnya.
Kunto mengatakan, untuk mengembalikan kepercayaan publik, parpol perlu mengganti caleg yang bermasalah tersebut. “Parpol tetap mencalonkan mantan napi korupsi sebagai caleg karena napi tersebut masih memiliki basis massa hingga kekuatan keuangan yang memadai. Inilah yang harus dibenahi dalam sistem pemberantasan korupsi, karena hingga saat ini belum ada sanksi yang memiskinkan mantan napi korupsi,” ujarnya.
Anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra Andre Rosiade mengatakan, Gerindra memang masih mendaftarkan sejumlah mantan terpidana korupsi karena ketika itu masih menunggu salinan putusan dari pengadilan. Menurut dia, ketika itu partainya belum mendapat salinan putusan pengadilan yang menunjukan bahwa calon-calon ini merupakan mantan napi korupsi.
“Selain itu, kami juga memberikan hak bagi pihak yang tidak terima terhadap PKPU ini untuk mengajukan gugatan ke MA. Jika MA menolaknya, baru kami ganti,” ucapnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Masinton Pasaribu, menjelaskan bahwa pakta integritas tersebut memang menjadi pegangan bagi parpol untuk berkomitmen. “Namun, para mantan napi korupsi ini juga masih memiliki hak untuk berpolitik yang diatur dalam undang-undang,” ucapnya.
Masinton mengatakan, PDI-P juga masih menunggu keputusan dari MA terkait mantan napi korupsi ini. “Selain itu, kami juga masih menunggu pengumuman resmi dari KPU, siapa aja nama mantan napi korupsi terdaftar dan biarkan masyarakat yang menilai apakah mereka layak dipilih atau tidak,” ucapnya.