JAKARTA, KOMPAS - Laju pembiayaan PT Bank BNI Syariah terus melambat dalam lima tahun terakhir. Pada 2014, pertumbuhan pembiayaan BNI Syariah sempat mencapai 33,8 persen secara tahunan. Namun, pada semester I 2018, laju pembiayaan BNI Syariah merosot menjadi 11,4 persen.
Direktur Utama PT Bank BNI Syariah Abdullah Firman Wibowo, dalam paparan kinerja BNI Syariah Triwulan II Tahun 2018, di Jakarta, Kamis (26/7/2018), mengatakan, kendati mengalami banyak dinamika, pertumbuhan pembiayaan sebesar 11,4 persen tetap tergolong baik.
“Perlambatan terjadi karena bank sedang dalam masa transisi, yaitu dari fokus pembiayaan konsumen menuju fokus pembiayaan komersial,” kata Firman.
Menurut Firman, pembiayaan komersial memiliki risiko yang lebih tinggi sehingga BNI Syariah lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit.
Per semester I 2018, Pertumbuhan pembiayaan BNI Syariah lebih lambat dibandingkan pertumbuhan industri perbankan syariah yang mencapai 14 persen.
Hingga Juni 2018, BNI Syariah telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp 25,1 triliun. Pertumbuhan pembiayaan pada segmen komersial komersial mencapai 22 persen. Pertumbuhan lainnya terjadi pada Hasanah Card 14,6 persen, small medium enterprise (SME) 12,3 persen, konsumer 7,8 persen, dan mikro 2,9 persen.
Komposisi pembiayaan terbesar berada pada segmen konsumer yang mencapai Rp 12,9 triliun (51,5 persen). Sedangkan komposisi pembiayaan terkecil adalah Hasanah Card Rp sebesar 397,5 miliar (1,5 persen).
Pembiayaan bermasalah naik
Pembiayaan bermasalah (non performing financing/NPF) BNI Syariah per semester I 2018 sebesar 3,04 persen. Angka tersebut naik dibandingkan NPF pada akhir 2017 yang sebesar 2,89 persen.
Sementara itu, laju aset dan dana pihak ketiga (DPK) Bank BNI Syariah cenderung stagnan. Pertumbuhan aset dan DPK BNI Syariah dalam tiga tahun terakhir berada di kisaran 20 persen.
Pemimpin Divisi Strategi dan Perencanaan BNI Syariah, Misbahul Munir menambahkan, BNI Syariah akan meningkatkan modal agar bisa melakukan ekspansi bisnis.
Tidak terganggu
Senior Excecutive Vice President (SEVP) Finance & Operation BNI Syariah Wahyu Avianto menilai, gejolak perekonomian domestik dan global yang terjadi saat ini tidak signifikan memengaruhi kinerja BNI Syariah. “Kami telah melakukan stress test,” ujarnya.
Stress tes itu mengkalkulasi keadaan keuangan perusahaan dengan asumsi nilai tukar rupiah hingga sebesar Rp 20.000 per dollar AS. Perhitungan juga berdasarkan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI 7-Day Repo Rate sebesar 6,5 persen. Jika kondisi tersebut terjadi, berdasarkan hasil stress test, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) BNI Syariah hanya turun 0,1 persen.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada Kamis, rupiah berada di posisi 14,443 per dollar AS. Sedangkan BI 7-Day Repo Rate sebesar 5,25 persen.
Firman mengatakan, keyakinan tersebut juga diperkuat dengan kinerja perbankan syariah yang cenderung lebih baik dibandingkan perbankan konvensional. “Ke depannya, bank syariah bisa lebih besar lagi,” tuturnya.
BNI Syariah menargetkan memeroleh laba sekitar Rp 400 miliar pada tahun 2018. Hingga Triwulan II 2018, bank itu telah mendapat laba bersih Rp 202,9 miliar, naik 23 persen dibandingkan Juni 2017.
BNI Syariah adalah anak usaha PT Bank Negara Indonesia (BNI). Perusahaan ini mendapat suntikan dana dari BNI senilai Rp 1 triliun. Sebanyak Rp 700 miliar digunakan untuk pengembangan perusahaan dan sisanya untuk pengembangan sistem teknologi informasi (TI).