Empat tahun sejak UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 dibuat, desa-desa di Indonesia terus berbenah. UU Desa tidak lagi hanya dimaknai sebagai dana desa, tetapi juga menjadi momentum pemberdayaan masyarakat.
Salah satu cara memberdayakan dan membangun masyarakat desa adalah dengan menguatkan peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD). BPD adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis (Pasal 1 Permendagri 110 Tahun 2016 tentang BPD).
Untuk menguatkan peran dan mengembalikan kepercayaan diri BPD tersebut, pada Jumat (8/6/2018) Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) Kecamatan Wagir menggelar diskusi grup terfokus (FGD) tentang BPD. Pesertanya adalah pengurus BPD dari 12 desa, perangkat desa, dan masyarakat. Diskusi dipimpin oleh Camat Wagir Ichwanul Muslimin dan Sekretaris BKAD Wagir Iman Suwongso.
Selama ini mungkin tidak banyak orang tahu bahwa BPD adalah mitra dari kepala desa sehingga peran kepala desa biasanya terlalu superior dan mengecilkan arti BPD, atau anggota BPD sendiri yang merasa inferior di hadapan kepala desa.
Padahal, dalam Permendagri Nomor 110 Tahun 2016 tentang BPD bisa dikatakan, BPD adalah mitra kepala desa dalam membangun desa. BPD memiliki fungsi membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, dan mengawasi kinerja kepala desa (Pasal 31).
Keanggotaan BPD merupakan keterwakilan penduduk desa berdasarkan wilayah dan keterwakilan perempuan (Pasal 5 Permendagri No 110 Tahun 2016). Jumlahnya berkisar 5-9 orang, dengan masa tugas enam tahun.
”Tujuan FGD BPD ini adalah untuk menguatkan kemampuan anggota BPD memahami tugas dan fungsi mereka di desa masing-masing. Selama ini masih banyak BPD tidak paham tugas dan fungsinya sehingga justru tidak bisa membantu mengontrol atau mengawasi jalannya pemerintahan desa,” kata Ichwanul.
Ichwanul mengatakan, pemerintahan desa tanpa kontrol, menurut dia, akan mengarah pada pemerintahan yang tidak sehat. Sebab, kepala desa dan perangkatnya akan bekerja sekenanya tanpa merasa ada yang mengawasi.
Sejajar
Selama ini, menurut Ichwanul, tidak banyak orang tahu bahwa BPD merupakan mitra dari pemerintahan desa dalam membangun desa. Kedua lembaga tersebut memiliki kedudukan sejajar dan harus bekerja sama dalam membangun desa. Namun, kenyataannya, peran kepala desa biasanya terlalu superior sehingga mengecilkan peran BPD. Saat itu, biasanya kontrol BPD atas pemerintah desa jadi berkurang.
Sekretaris BKAD Wagir Iman Suwongso berharap agar diskusi tersebut bisa dilakukan secara rutin dan menjadi awal menguatkan kelembagaan BPD di desa-desa. ”Dalam forum bersama ini, harapannya, setiap BPD di masing-masing desa bisa menimba pengalaman dan belajar dari BPD desa lain. Kegiatan ini diharapkan akan menjadi momentum membentuk forum BPD se-Kecamatan Wagir,” katanya.
Dengan adanya forum bersama tersebut, Iman berharap masyarakat terus bisa mengasah kapasitas diri mereka sendiri secara bersama-sama. ”Dengan model forum diskusi seperti ini, masyarakat akan mulai menguatkan kapasitas dan kemampuan diri masing-masing secara bersama-sama untuk membangun kelembagaan di desanya, dalam hal ini BPD,” kata Iman.
Muhammad Farhan, Ketua BPD Sumbersuko, mengatakan bahwa manfaat forum diskusi bersama para pengurus BPD tersebut, menurut dia, adalah untuk meningkatkan kualitas BPD yang tidak semuanya bagus.
Kemandirian
Diskusi sebagaimana FGD BPD di atas sebenarnya bukan hal baru bagi masyarakat desa. Dalam UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, masyarakat dibiasakan untuk berdiskusi atau bermusyawarah. Ada mekanisme musyawarah desa, yaitu kesepakatan bersama masyarakat dalam hal strategis, seperti penataan dan perencanaan desa, pelepasan dan penambahan aset desa, pembentukan BUMDesa, atau kerja sama desa. Mekanisme musyawarah desa tersebut diatur dalam Pasal 54 UU Desa. Penyelenggaraan musyawarah desa dilaksanakan sekurang-kurangnya setahun sekali.
Adanya diskusi desa, musyawarah, dan aktivitas pemberdayaan serupa menunjukkan bagaimana semangat masyarakat desa bergerak menuju kemandirian. Mungkin geraknya masih pelan, tetapi tidak berhenti di tengah jalan.
Semangat tersebut seiring dengan konsep kebebasan (kemerdekaan) ala Ki Hajar Dewantara, yaitu merdeka diri, merdeka pikir, dan tidak tergantung orang lain (mandiri).
Harapannya, konsep kemandirian itu bisa dilakukan di desa-desa di seluruh Indonesia. Desa mampu mencukupi kebutuhan sendiri. Kalau tidak mampu, bisa bekerja sama dengan desa-desa yang mampu.
Tentu saja, semua itu dimulai dengan memberdayakan masyarakat desa. Hal itu bisa dilakukan dengan terus mengajak mereka belajar dan berdiskusi tentang desa, sebagaimana model-model diskusi yang dibangun di atas.
Bayangkan, jika konsep itu bisa terjadi, negara ini tidak akan terpengaruh impor atau tergantung negara lain. Itulah kemerdekaan sesungguhnya.