Kebijakan zonasi sekolah membuka fakta belum berjalannya desentralisasi pendidikan secara baik. Pemerintah daerah masih abai dalam mengatur sekolah, sehingga terjadi ketidakmerataan dari segi jumlah maupun kualitas. Saatnya, pemerintah daerah menunjukkan komitmen untuk pendidikan.
JAKARTA, KOMPAS - Kekisruhan dalam penerapan zonasi sekolah dalam dua tahun ini dinilai sebagai bukti abainya pemerintah daerah menjalankan desentralisasi pendidikan. Saatnya, pemerintah daerah menunjukkan niat baik untuk memperbaiki kondisi pendidikan di daerah.
Selain itu, semangat zonasi sekolah untuk memeratakan mutu pendidikan tidak bisa berdiri sendiri. Tidak hanya dukungan aturan dan anggaran dari pemerintah daerah dan pusat, namun juga perubahan pola pikir atau mindset untuk mau bersama-sama berubah dalam mewujudkan sistem pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak Indonesia.
Hal tersebut mengemuka dalam acara Beranda Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) bertajuk Zonasi dan Pemerataan Kesempatan Pendidikan di Jakarta, Rabu (25/7/2018). Hadir sebagai narasumber yakni Staf Ahli Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Chatarina Muliana Girsang; dan Peneliti PSPK Nisa Felicia. Diskusi yang dihadiri pegiat dan praktisi pendidikan ini dimoderatori peneliti PSPK Elin Driana.
Catharina mengatakan, semangat kebijakan zonasi sekolah untuk pemerataan pendidikan belum sepenuhnya didukung dalam implementasi yang tepat di daerah. Penerimaan siswa baru belum ditetapkan dengan lebih mengutamakan zonasi, yakni jarak rumah ke sekolah sesuai ketentuan zonasi.
Semangat kebijakan zonasi sekolah untuk pemerataan pendidikan belum sepenuhnya didukung dalam implementasi yang tepat di daerah.
Penentuan zonasi, ujar Catharina, seharusnya mengacu dari hasil perhitungan jumlah lulusan siswa dan daya tampung sekolah. "Namun, banyak pemda yang mau gampang saja. Akibatnya, masih banyak yang lebih mengacu pada nilai. Ada banyak jalur masuk yang membuat jadi rancu," ujar Catharina.
Sesuai ketentuan di tingkat pusat, penerimaan siswa sesuai zonasi sebanyak 90 persen, sisanya lima persen untuk siswa berprestasi di luar zonasi, dan lima persen lagi untuk siswa yang mengalami perpindahan domisili karena berbagai sebab.
Banyak masalah
Catharina mengatakan, sejumlah fakta dan penyimpangan terungkap dalam implementasi zonasi. Ketentuan zonasi beragam, baik dari pemahaman zonasi, persentase, dan seleksi berbeda-beda. Selain itu, ketentuan rombongan belajar yang tidak sesuai dengan standar proses.
Di daerah ada yang menerapkan beragam jalur PPDB yang tidak sesuai peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan. Akan tetapi, hasil pengumuman seleksi untuk setiap jalur Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tidak jelas. Selain itu, masih kuatnya mindset sekolah favorit di kalangan pemda dan orangtua.
Terungkap pula fakta perilaku yang tidak mendukung seperti surat keterangan tidak mampu palsu, intervensi pejabat, dan pungutan liar. Ditemukan pula soal pengendalian pendirian sekolah yang tidak berjalan, termasuk sekolah swasta dan keagamaan.
"Di masa transisi ini memang masih terjadi masalah. Termasuk pula memakan korban akibat salah implementasi. Untuk tahun depan, diharapkan tidak lagi terjadi masalah. Untuk itu, pemda diminat sudah menyiapkan dengan lebih matang," kata Catharina.
Nisa mengatakan zonasi sekolah dapat dipakai untuk pemerataan input, proses, dan output. Dengan demikian, tidak ada lagi sekolah yang hanya mau menerima input siswa yang bernilai tinggi saja.
Sekolah harus terbuka
Nisa mengatakan, sekolah harus terbuka untuk semua anak dengan berbagai kondisi dan latar belakang. Selain itu, sekolah menjadi bagian dari ekosistem yang terhubung dengan masyarakat dan keluarga.
"Zonasi ini terbosan yang brani. Bukan saja mengubah sistem penerimaan siswa baru, tetapi juga mindset. Jadi, memang butuh waktu dan konsistensi," kata Nisa.
Menurut Nisa, pemda harus bertanggung jawab untuk menjalankan desentralisasi pendidikan dengan memberikan layanan pendidikan berkualitas. Untuk itu, pemda harus memanfaatkan data yang ada untuk menganalisa kondisi pendidikan di daerah dan menjadikan dasar dalam membenahi pendidikan.
Pemda harus bertanggung jawab untuk menjalankan desentralisasi pendidikan dengan memberikan layanan pendidikan berkualitas.
Septiana, perwakilan orangtua dari Daerah Istimewa Yogyakarta, mengatakan penerapan zonasi yang berbeda-beda membuat bingung orangtua. Jalur masuk dengan zonasi maupun prestasi tidak jelas tolok ukurnya.
Menurut Septiana, seharusnya ada informasi kependudukan yang bisa jadi pegangan orang tua soal zonasi. Informasi ini membuat orangtua dan siswa baru dapat membuat keputusan.