Pemerintah diharapkan segera mengatasi kesenjangan ekonomi dan sosial serta ketidakadilan hukum. Pasalnya, permasalahan itu kerap dimanfaatkan oleh kelompok penganut ideologi radikal untuk memperluas dukungan.
YOGYAKARTA, KOMPAS - Jumlah kelompok penganut ideologi ekstrem yang kerap mengganggu persatuan dan kebersamaan masyarakat sebenarnya tak banyak. Namun, pihak-pihak tersebut bisa menyebarkan pengaruh yang cukup luas dengan memanfaatkan isu kesenjangan ekonomi dan sosial, serta ketidakadilan di bidang hukum untuk meraih dukungan.
”Paham kebersamaan kita dikacaukan oleh orang-orang seperti ini,” kata Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, dalam seminar bertajuk ”Harmoni dalam Keberagaman” di Yogyakarta, Kamis (26/7/2018).
Turut hadir sebagai pembicara, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, pengamat politik J Kristiadi, dan Koordinator Jaringan Gusdurian Indonesia Alissa Wahid. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menjadi pembicara pembuka di acara tersebut.
Menurut Mahfud, Indonesia beruntung memiliki Pancasila sebagai ideologi bangsa yang bisa mempersatukan kelompok yang berbeda-beda. Pengalaman menunjukkan, ada negara yang akhirnya terpecah karena tidak mampu mempersatukan berbagai perbedaan yang ada.
”Indonesia tidak seperti itu karena negara ini dibangun oleh sejarah kebersamaan yang panjang. Kebersatuan kita dibangun melalui kesadaran bersama yang diwarisi dari nenek moyang kita,” papar Mahfud.
Syafii berharap, pemerintah terus mendorong pemerataan ekonomi. Sebab, masalah ketimpangan ekonomi kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menimbulkan gejolak dalam masyarakat.
”Pertumbuhan ekonomi harus makin merata sehingga sila kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, jadi kenyataan. Tanpa ini, gejolak akan selalu saja terjadi,” ujarnya.
Sementara itu, Alissa menyoroti praktik kekerasan dan intoleransi yang cenderung meningkat 10 tahun terakhir. Kondisi ini terjadi seiring menguatnya kelompok-kelompok pendukung kekerasan. Ia juga menyoroti mengenai kemunculan produk legislasi yang mengandung paham intoleran.
Penyebaran paham dan sikap intoleran ini, tambahnya, akan menumbuhkan sekat-sekat dalam masyarakat.
”Secara struktural dan secara politis, intoleransi merupakan ancaman besar demokrasi. Karena demokrasi itu dasarnya adalah egalitarianisme atau hak yang sama bagi setiap warga negara,” ujarnya.
Indonesia beruntung memiliki Pancasila sebagai ideologi bangsa yang bisa mempersatukan kelompok yang berbeda-beda. Pengalaman menunjukkan, ada negara yang akhirnya terpecah karena tidak mampu mempersatukan berbagai perbedaan yang ada.
Jalan tengah
Secara terpisah, pengarusutamaan ”jalan tengah” terus didorong untuk mengatasi permasalahan terkait ekstremisme. Tak hanya dalam agama, jalan tengah juga bisa diterapkan untuk mengatasi persoalan politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Wacana ”jalan tengah” itu menjadi spirit dalam acara World Peace Forum (WPF) ke-7 yang akan diselenggarakan pada 14-16 Agustus. Acara yang akan dihadiri oleh 250 tokoh dunia tersebut mengangkat tema ”The Middle Path for The New Civilization”.
Ketua WPF 2018 Muhammad Najib menuturkan, acara ini bertujuan untuk memfasilitasi tokoh-tokoh dunia yang menaruh perhatian pada upaya mengatasi ekstremisme dan radikalisme di berbagai bidang. Diharapkan, forum ini dapat menghimpun pemikiran para tokoh untuk membangun narasi moderasi.
”Kegiatan ini adalah sebagai reaksi untuk mengimbangi narasi yang sudah dilakukan oleh kelompok radikal. Harapannya, narasi jalan tengah digaungkan lebih kuat lagi sehingga (jalan tengah) mampu mengalahkan paham radikalisme,” ujarnya.
Sementara itu, Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban ( UKP-DKAAP) Din Syamsudin berharap ada kesepakatan untuk mengatasi kerusakan dunia saat ini melalui wawasan jalan tengah. Kesepakatan ini nanti diproyeksikan mampu diusulkan ke PBB untuk dijadikan semacam rencana strategis, seperti halnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s).