Masyarakat Irak Bersihkan Pemikiran-pemikiran Ekstrem Peninggalan NIIS
Oleh
MH SAMSUL HADI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat Irak dari kalangan Sunni ataupun Syiah saat ini bekerja sama membersihkan pemikiran-pemikiran ekstrem sisa-sisa peninggalan milisi Negara Islam di Irak dan Suriah yang pernah menguasai sebagian wilayah negeri itu sekitar tiga tahun. Mereka juga bahu-membahu membangun kembali negeri Irak, membantu pemulihan pasca-NIIS.
Dua ulama asal Irak, Syaikh Hasan al-Manshuri dan Syaikh Bilal al-\'Abdali al-Hasani, didampingi dosen Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Abdullah Beik, memaparkan kondisi masyarakat Irak saat ini dalam kunjungan ke kantor Redaksi Harian Kompas di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (27/7/2018). Kunjungan itu dilakukan di sela-sela kehadiran keduanya pada konferensi tentang fatwa yang digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Manshuri dan Hasani menepis anggapan banyak kalangan bahwa selama ini masyarakat Irak terbelah antara kelompok Sunni dan Syiah yang tidak bisa dipersatukan. ”Di Irak, kami hidup berdampingan dengan rukun dan damai, bekerja sama membangun Irak,” kata Manshuri, yang juga Ketua Darul Quran di kompleks Makam Imam Husein di Karbala, Irak.
”Kami bersatu padu untuk melawan gerakan takfiri (kelompok yang biasa mengafirkan kelompok lain), menjaga keamanan dan perdamaian, dan hidup berdampingan secara damai,” ujar Manshuri.
Ia mengakui, selama ini gambaran dunia tentang masyarakat Irak dipengaruhi oleh pemberitaan-pemberitaan media Barat yang kerap melukiskan perpecahan masyarakat Irak ke dalam dua kelompok Sunni dan Syiah. ”Kami pernah mengundang majelis-majelis ulama ke sebuah perkumpulan di Irak, dan setelah melihat warga Sunni dan Syiah berkumpul bersama, mereka mengatakan, kenyataannya berbeda dengan apa yang diberitakan,” ujar Manshuri.
Kesan serupa, lanjut Manshuri, juga disampaikan pejabat Kedutaan Besar Indonesia untuk Irak saat diundang berkunjung ke kantor Liga Persaudaraan Islam di Basra. Di tempat tersebut, pengikut Sunni dan Syiah berkumpul. Bahkan, di kota Basra, bukan hanya pengikut Sunni dan Syiah, melainkan penganut Kristen dan pemeluk agama lain juga hidup berdampingan dengan rukun.
”Seperti Anda lihat, saya dari Karbala datang bersama teman saya yang Sunni dari Fallujah, bisa bekerja sama, berkomunikasi satu sama lain,” kata Manshuri, yang berasal dari kalangan ulama Syiah. Ia menunjuk kepada rekannya, Syaikh Bilal al-\'Abdali al-Hasani, ulama Sunni dari Fallujah, sebelah barat Baghdad.
Kerukunan Sunni-Syiah
Kerukunan antara warga Sunni dan Syiah di Irak dilukiskan Manshuri dengan menceritakan situasi saat Fallujah dilanda kekacauan akibat teror NIIS. ”Saat terjadi kekacauan di Fallujah, warga Fallujah datang ke Karbala. Ketika mereka datang ke Karbala, warga (di Fallujah) menerima mereka dan menempatkan mereka di aula, menjamin keselamatan, menyuguhi makanan, dan menjaga mereka,” ujar Manshuri.
”Masyarakat Irak memang terdiri atas berbagai kelompok dan suku, tetapi mereka hidup rukun sejak zaman lampau. Dalam sejarah, masyarakat Irak dikenal menghadapi krisis yang silih berganti dan selalu mampu mengatasinya.”
Krisis terakhir yang dihadapi Irak adalah gelombang terorisme yang dibawa milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) saat merebut sebagian wilayah negeri itu pada 2014. Setelah tiga tahun digempur, kelompok ekstrem itu dinyatakan sudah takluk di Irak. Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi mendeklarasikan kemenangan atas NIIS pada 10 Juli 2017.
Ketika ditanya mengapa masih kerap terdengar berita tentang aksi-aksi serangan bom bunuh diri dan peledakan bom di Irak setelah NIIS disingkirkan, Manshuri mengatakan, peristiwa itu terkait dengan masalah politik dan hanya gambaran sebagian kecil, bukan gambaran umum tentang masyarakat Irak.
Rekonstruksi pasca-NIIS
Bilal al-\'Abdali al-Hasani mengungkapkan, NIIS datang untuk memecah-belah rakyat Irak. Seperti yang dia saksikan secara langsung, kata Hasani, kelompok ekstrem itu tidak mencerminkan dan tidak mewakili Islam yang membawa misi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil \'alamin).
Kini, setelah NIIS dinyatakan telah dikalahkan, Irak memulai langkah rekonstruksi pasca-NIIS. Dalam situasi sekarang, Hasani menjelaskan, pihaknya berupaya membersihkan pemikiran-pemikiran ekstrem atau takfiri, yang pernah disemaikan kelompok NIIS di Irak.
Terkait hal itu, ia mengajak seluruh negara di dunia untuk menepis pemikiran-pemikiran ekstrem tersebut. ”Agama Allah itu agama toleransi, mengajarkan hidup rukun. Islam agama rahmat dan agama cinta damai,” kata Hasani, yang juga anggota Majelis Ulama al-Ribath al-Muhammadi di Fallujah.