JAKARTA, KOMPAS — Gelombang tinggi yang merusak sebagian pesisir selatan Jawa Barat harus menjadi momentum perbaikan penataan pantai. Jarak aman bagi bangunan yang berada di pinggir pantai harus dipatuhi guna meminimalkan dampak bencana. Bencana ini juga masih mengancam hingga beberapa waktu ke depan.
”Kawasan pantai perlu ditata ulang. Perbaikan zonasi sangat dibutuhkan demi keselamatan manusia di sekitarnya,” kata Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Pantai Litbang Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Leo Sembiring di Jakarta, Kamis (26/7/2018).
Rabu pagi, gelombang tinggi berkisar 3,5 meter hingga 6,5 meter melanda pesisir Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, dan Pangandaran. Ratusan rumah dan kios rusak dihantam air laut yang mencapai jarak hingga 70 meter dari garis pantai dengan ketinggian 25-30 sentimeter. Sejumlah warga dan wisatawan panik dan berlarian menjauhi pantai menuju kawasan perbukitan.
Salah satu mitigasi terkait penataan pantai, menurut Leo, adalah membatasi jarak pembuatan bangunan dari titik pasang tertinggi. Dengan demikian, saat terjadi gelombang tinggi, potensi kerusakan dapat ditekan.
Hal itu pun sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Di sana disebutkan, kawasan sempadan harus berjarak minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi. Namun, di selatan Jabar, masih banyak bangunan didirikan di dalam batas itu. ”Sebaiknya tidak ada bangunan yang berada pada batas minimal itu. Bahkan, di beberapa kejadian, gelombang tinggi menyebabkan air laut mencapai lebih dari 100 meter dari titik pasang tertinggi,” ujarnya.
Selain itu, sistem peringatan dini perlu diperkuat, terutama penyampaian informasi kepada masyarakat. Ini diperlukan agar warga dapat mengevakuasi diri sesegera mungkin saat gelombang tinggi datang. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengeluarkan peringatan dini saat gelombang tinggi melanda. ”Persoalannya, apakah semua warga masyarakat dapat mengakses informasi itu,” ujarnya.
Kecepatan angin
Kepala BMKG Stasiun Geofisika Kelas 1 Bandung Tony Agus Wijaya mengatakan, gelombang tinggi dipicu peningkatan kecepatan angin yang mencapai 37 kilometer per jam. Hal ini disebabkan menguatnya angin timuran dari Australia yang melewati Pulau Jawa.
Saat ini sedang terjadi badai Jongdari di Filipina. Secara tidak langsung, hal ini memicu peningkatan kecepatan angin di laut selatan Jabar karena ada perbedaan tekanan udara antara belahan bumi utara dan selatan. ”Gelombang tinggi berpotensi terjadi setiap tahun saat puncak musim kemarau, Juli hingga Agustus,” katanya.
Hingga Kamis sore, sekitar 100 warga Desa Cikawungading, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, belum berani pulang ke rumah. Mereka masih bertahan di pengungsian berupa tanah lapang berjarak 200 meter dari bibir pantai. ”Warga masih trauma dengan gelombang tinggi hingga 6 meter yang menerjang kios saat mereka berjualan,” kata koordinator Penanggulangan Bencana Kecamatan Cipatujah, Rachmat Saputra.
Stasiun Meteorologi Maritim Lampung juga mengeluarkan peringatan dini adanya gelombang tinggi di perairan barat hingga 29 Juli. Warga di pesisir pantai diingatkan untuk lebih waspada. Gelombang setinggi 1,25-2,5 meter berpotensi terjadi di Selat Sunda bagian utara. Adapun di perairan barat Lampung dan Selat Sunda bagian selatan, gelombang mencapai 2-4 meter.
Diminta mengungsi
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Pesisir Barat Syaifullah mengatakan, warga diminta mengungsi ke rumah keluarganya yang jauh dari pantai hingga kondisi cuaca membaik. ”Imbauan ini sebagai langkah antisipasi agar terhindar dari bencana,” ujarnya, Kamis.
Kabupaten Pesisir Barat menjadi wilayah yang paling parah terdampak gelombang tinggi di Lampung. Pada Rabu, gelombang tinggi yang melanda perairan barat Lampung merusak 10 rumah warga di Desa Kerbang Dalam, Kecamatan Pesisir Utara, Pesisir Barat, Lampung. Ombak setinggi 3 meter itu juga menghanyutkan satu rumah warga dan merobohkan tanggul buatan di sisi jalan lintas barat Sumatera yang menghubungkan Lampung dan Bengkulu, tepatnya di Kilometer 20, Desa Mandiri Sejati, Krui Selatan, Pesisir Barat.
Potensi gelombang tinggi diperkirakan masih akan terjadi di beberapa perairan selatan Indonesia pada 27-29 Juli 2018. Selain dipengaruhi pusat tekanan tinggi di wilayah Samudra Hindia, gelombang tinggi juga terjadi karena angin monsun Australia atau angin timuran.
Bahkan, BMKG dalam siaran persnya menyatakan, sejumlah wilayah masih akan dilanda gelombang tinggi 4-6 meter. Wilayah itu antara lain perairan utara Sabang, barat Pulau Simeulue, barat Nias-Mentawai, barat Lampung, selatan Enggano, selatan Banten, selatan Jawa, dan selatan Bali hingga Sumbawa. Gelombang tinggi juga akan terjadi di Selat Bali-Lombok-Alas bagian selatan, Samudra Hindia barat Sumatera, dan Samudra Hindia selatan Jawa hingga NTT.
Kepala Bidang Informasi Meteorologi Maritim BMKG Eko Prasetyo, Kamis, mengatakan, pada 27-29 Juli 2018, mascarene high atau pusat tekanan tinggi di Samudra Hindia masih akan memengaruhi ketinggian gelombang. ”Selain ketinggian, frekuensi terjadinya gelombang tinggi juga cenderung meningkat,” kata Eko. (SEM/NIK/TAM/ZAK/VIO/BAY/E21)