Oase di Terminal Kampung Rambutan
Rean (5) berlari di ruang kelasnya sambil tertawa mengacau konsentrasi Riska (5) dan Naya (6) yang tengah menggambar. Kedua bocah perempuan itu pun beberapa kali meminta Rean diam. Yang diminta tak mengindahkan.
Pemandangan semacam ini lumrah ditemukan di sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD) di mana anak-anak belajar dan bermain bersama-sama. Namun, sekolah PAUD tempat belajar Rean, Riska, dan Naya ini sedikit berbeda. Selain lebih cocok disebut gubuk, bangunan Rumah Singgah Al Barkah yang terbuat dari kayu ini berada di dalam kawasan Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, menjadi oasis ilmu pengetahuan di antara deru dan asap hitam knalpot.
Rumah Singgah Al Barkah didirikan pada 2010 oleh Raden Supardi (58), akrab dipanggil dengan sebutan Bang Nur, pedagang kelontong yang tinggal di kampung belakang terminal tersebut. Ayah lima anak asal Lebak, Banten, itu tidak ingin anak-anak Terminal Kampung Rambutan tumbuh besar tanpa pendidikan seperti dirinya.
Ia juga tidak ingin masa kecil mereka terbuang begitu saja bermain di antara bus dan angkutan kota yang lalu lalang. Dengan menyisihkan penghasilannya sebagai pedagang kelontong, ia pun mendirikan gubuk kecil yang berisi berbagai buku bacaan.
Awalnya, Rumah Singgah Al Barkah berlokasi di balik dinding Terminal Kampung Rambutan, persis di tepi Sungai Ciliwung. Karena lokasi ini sering terkena banjir luapan sungai ketika musim hujan, sejak 2016 Rumah Singgah Al-Barkah berpindah tempat di dalam kawasan Terminal Kampung Rambutan, persisnya berlokasi di akses keluar bus antarkota antarprovinsi (AKAP) di belakang sebuah gardu listrik.
Rumah Singgah Al Barkah diisi oleh Nur dengan buku-buku bacaan dengan maksud agar anak-anak para pengamen dan pedagang asongan di Terminal Kampung Rambutan dapat beristirahat dan mengisi waktu di sana.
Bang Nur paham betul tentang nasib orang yang tidak selesai mengenyam pendidikan dasar. Kampung halamannya di Desa Gunung Kendeng, Lebak, Banten, mempersulit aksesnya terhadap pendidikan.
”Saat itu saya hanya mempunyai satu buku dan satu pensil yang saya gantung di sebuah pohon di dekat sekolah agar tidak hilang,” kata Nur. Ketika remaja, tahun 1970-an, ia merantau ke Jakarta, bertahan hidup dengan menjadi asisten rumah tangga, pedagang asongan, dan akhirnya membuka toko kelontong.
Saat itu Bang Nur hanya mempuyai satu buku dan satu pensil yang digantung di sebuah pohon di dekat sekolah agar tidak hilang.
Meski Rumah Singgah Al Barkah yang ia dirikan telah berfungsi seperti yang diharapkan sebagai taman bacaan sederhana, cita-cita Nur belum sepenuhnya tercapai. Ia ingin Rumah Singgah itu dapat menjadi tempat anak-anak marjinal mendapat pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan. ”Namun, saya tahu diri, saya tidak bisa mengajar anak-anak. SD saja saya tidak tamat,” kata Nur.
Baca juga: Pendidikan Anak Usia Dini Sudah Menjadi Kebutuhan
Lima tahun Rumah Singgah Al Barkah berjalan. Pada 2015, Bang Nur bertemu dengan Iis Sugiarti (49), guru PAUD yang ingin mengaryakan dirinya mengajar anak-anak terpinggirkan di kawasan Terminal Kampung Rambutan. Sebelumnya, Iis berkeliling mengajari anak para pedagang asongan secara satu per satu.
”Suatu hari, ketika berkeliling, saya beristirahat di rumah singgah ini. Di situlah saya bertemu dengan Bang Nur yang menawarkan Rumah Singgah Al Barkah sebagai tempat belajar mengajar saya,” tutur wanita berkacamata itu. Kesempatan ini pun disambut baik oleh Iis.
Baca juga: Menata Tunas Bangsa sejak Usia Dini
Iis telah berprofesi sebagai guru PAUD sejak 2000. Ia bahkan sempat mendirikan dan mengelola sebuah PAUD sederhana di rumahnya sendiri di kawasan Tanah Merdeka, Jakarta Timur, agar anak-anak di sekitar lingkungannya mendapatkan pendidikan.
Namun, ia pernah kehilangan semangat ketika suaminya meninggal pada 2013 dan kewalahan mempersiapkan bahan ajar untuk anak-anak didiknya. Semangatnya muncul kembali ketika ia melihat anak-anak yang seharusnya bersekolah tetapi malah berkeliaran di Terminal Kampung Rambutan.
Semangat Iis muncul kembali ketika ia melihat anak-anak yang seharusnya bersekolah tetapi malah berkeliaran di Terminal Kampung Rambutan.
Sejak 2015, Rumah Singgah Al Barkah pun menjadi alamat untuk PAUD Layanan Khusus (LK) Al Hikmah. Kini sekitar 20 anak belajar setiap hari di sini tanpa dipungut biaya. Proses belajar-mengajar dimulai dari pukul 10.00 hingga pukul 13.00 untuk anak usia PAUD dan pukul 13.00-15.00 untuk anak usia sekolah dasar.
Riska, bocah perempuan yang sedang mewarnai itu, mengungkapkan, ia senang belajar di sana karena mendapatkan banyak teman dan dapat belajar bersama-sama. ”Kalau sudah besar saya ingin menjadi dokter,” kata Riska.
Duduk di sebelahnya adalah Naya. Sebagai murid usia SD, ia datang jauh lebih awal untuk belajar, terlihat menemani Riska yang belum pulang dan memilih mengerjakan tugas mewarnai di sekolah. Naya mengatakan bahwa ia memiliki cita-cita untuk menjadi seorang selebritas.
Iis sedih mengetahui bahwa prasarana di Rumah Singgah Al Barkah mungkin tidak memadai untuk membekali anak-anak didiknya itu untuk mencapai cita-cita mereka. Bangunan berukuran sekitar 3 meter x 5 meter ini dibangun dari kayu-kayu sisa bongkaran proyek dan beratapkan seng.
Siang hari akan sangat terasa panas dan gerah. Namun, tanpa jendela yang cukup, pencahayaan menjadi minim saat berlangsungnya proses belajar-mengajar. Terlihat pula di sudut bangunan ada lantai yang rapuh dan berlubang, serta tata letak buku dan mainan pun tak tersusun rapi di atas lemari plastik.
Nur bercerita, ia tidak pernah membuat dan mengirimkan proposal sumbangan bantuan kepada siapa pun. ”Saya enggak bisa bikin proposal. Jadi yang mau menyumbang silakan datang dan menyaksikan langsung bagaimana proses belajar-mengajar di sini,” kata Nur.
Sumbangan berupa peralatan belajar dan properti bangunan semuanya didapatkan dari kontribusi teman-teman yang datang menyumbang ke Rumah Singgah Al Barkah. Nur mengatakan, pemindahan lokasi bangunan rumah singgah ini dibantu oleh Komunitas Seribu Guru dan mendapat bantuan buku bacaan dari Suku Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jakarta Timur.
Meski demikian, kondisi yang menyedihkan ini tetap diterima oleh para orangtua murid. ”Daripada anak saya main-main di luar mending saya sekolahin di sini. Awal masuk sekolah PAUD kelas A umur anak saya 3,5 tahun, sekarang sudah kelas B,” ujar Rina (33), ibu dari Rean, yang sehari-harinya berjualan minuman di terminal itu.
Belum prioritas
Pendidikan, kata Iis, belum menjadi prioritas para orangtua muridnya yang sebagian besar berprofesi sebagai pedagang asongan. Ia merasa sedih karena sebetulnya banyak orangtua yang belum peduli dengan pendidikan anaknya. Menurut Iis, para orangtua seperti takluk pada kondisi bahwa anak-anak mereka tidak bisa diterima sekolah akibat masalah administrasi.
Pendidikan belum menjadi prioritas para orangtua murid yang sebagian besar berprofesi sebagai pedagang asongan.
Iis mengatakan, banyak muridnya yang tidak bisa diterima oleh sekolah formal sebab mereka tidak memiliki akta kelahiran ataupun kartu keluarga. ”Saya selalu mendorong-dorong para orangtua agar cepat mengurus akta dan kartu keluarga mereka,” katanya.
Baca juga: Paud untuk Buruh Pasar
Meskipun begitu, kepemilikan akta dan kartu keluarga belum menjadi jaminan untuk melanjutkan pendidikan. ”Dulu ada murid saya yang sudah daftar ujian paket A tetapi tiba-tiba hilang, tidak bisa dihubungi. Kemungkinan besar dibawa pergi orangtuanya, kabur dikejar utang,” kata Iis. ”Remuk hati saya kalau ingat tentang itu,” katanya.
Namun, Iis mengatakan, ia tidak larut dalam kekecewaannya itu. Ia tetap ingin mengajar anak-anak didiknya itu walaupun ia tidak memasang target muluk-muluk. ”Paling tidak, mereka bisa baca, tulis, dan hitung. Jadi, mereka tidak akan mudah ditipu,” katanya.
Paling tidak, mereka bisa baca, tulis, dan hitung. Jadi, mereka tidak akan mudah ditipu.
Keinginan Iis yang sederhana ini bukan berarti perjuangan yang ia hadapi bakal segera tuntas. Kesadaran yang rendah akan pentingnya pendidikan bukan hal yang mudah untuk dilawan. Masih banyak sekali anak-anak terpinggirkan yang belum bisa merasakan keceriaan yang dimiliki Rean, Riska, dan Naya. (*)