JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta tidak tergesa-gesa mengambil keputusan pasca penandatanganan pokok-pokok perjanjian antara PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum dengan PT Freeport Indonesia. Makin dekatnya masa berakhirnya kontrak Freeport, serta temuaan dugaan pelanggaran lingkungan berdasar hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan sebaiknya dijadikan alat tawar pemerintah dalam proses divestasi.
Fuad Bawazier, mantan Menteri Keuangan Kabinet Pembangunan VII, menyarankan pemerintah agar tidak terlalu agresif dalam hal divestasi saham PT Freeport Indonesia. Pemerintah sebaiknya menunggu sampai operasi Freeport berakhir pada 2021 seperti yang tercantum dalam kontrak. Ia percaya posisi pemerintah akan unggul menjelang berakhirnya kontrak.
“Pemerintah pasif saja. Posisi pemerintah akan kuat menjelang berakhirnya kontrak. Sebab, itu akan memengaruhi saham Freeport bila mereka belum mendapat kepastian perpanjangan kontrak,” kata Fuad dalam seminar bertajuk “Menggugat Kesepakatan Pengelolaan Tambang Freeport”, Kamis (26/7/2018), di Jakarta.
Fuad menambahkan, temuan Badan Pemeriksa Keuangan soal dugaan pelanggaran berupa pencemaran lingkungan juga bisa menjadi alat tawar pemerintah seandainya persoalan perpanjangan kontrak berakhir di mahkamah arbitrase internasional.
Sementara itu, mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Simon Sembiring, dalam keterangan tertulisnya, mengatakan, mengenai perpanjangan kontrak, Freeport memang diberi hak mengajukan perpanjangan dua kali masing-masing selama 10 tahun. Namun, pemerintah bisa saja tidak memperpanjang kontrak selama punya alasan yang kuat seperti yang disebutkan di dalam kontrak tersebut.
“Bila pemerintah punya alasan yang kuat dan relevan, pemerintah dapat membicarakannya dengan Freeport. Kondisi Indonesia pada 1991 (saat kontrak karya diteken) sudah jauh berbeda dengan sekarang. Peraturan dan perundangan sudah berubah. Freeport harus diberlakukan sama agar tunduk dan patuh terharap seluruh aturan yang berlaku,” ujar Simon.
Seandainya masalah kontrak diseret ke mahkamah arbitrase, lanjut Simon, pemerintah tak perlu gentar. Pasalnya, peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia turut dijadikan acuan dalam arbitrase. Kalaupun pemerintah Indonesia didenda dalam sidang arbitrase, ia optimistis nilai dendanya hanya ratusan juta dollar AS saja, tidak mencapai miliaran dollar AS.
Mengenai nilai pembelian saham oleh pemerintah untuk mencapai 51 persen, menurut Marwan, seharusnya memakai acuan berdasar durasi kontrak Freeport sampai 2021, bukan memasukkan masa perpanjangan hingga 2041. Angka 3,85 miliar dollar AS atau setara Rp 55,4 triliun seperti kesepakatan dalam dokumen pokok-pokok perjanjian yang telah ditandatangani terlampau mahal.
“Patut diwaspadai jangan sampai ada penumpang gelap dalam transaksi ini, yaitu para pemburu rente,” ucap Marwan.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, pada Kamis (12/7/2018), di Jakarta, Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin meneken pokok-pokok perjanjian (head of agreement/HoA) dengan Presiden Direktur Freeport McMoran Inc—induk usaha PT Freeport Indonesia—Richard Adkerson. HoA berisikan kesepakatan nilai divestasi sebesar 3,85 miliar dollar AS dan struktur transaksi. Budi optimistis seluruh proses divestasi akan rampung dalam 2 bulan sejak penandatanganan dokumen HoA.
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan merilis hasil audit terhadap operasi Freeport di Papua. Hasil audit tersebut menemukan sejumlah pelanggaran, seperti penggunaan hutan lindung yang melanggar hukum dan pembuangan limbah di luar batas kewajaran. Potensi kerugian negara akibat kerusakan dan pencemaran itu ditaksir mencapai Rp 183 triliun. (E04)