AMBON, KOMPAS — Sejumlah pihak menolak rencana pemerintah daerah merelokasi warga Komunitas Adat Terpencil Mause Ane di Desa Maneo Rendah, Kecamatan Seram Utara Timur Kobi, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, ke permukiman baru. Relokasi warga yang dilanda kelaparan itu akan membuat masyarakat tercerabut dari akar budayanya dan menimbulkan sejumlah persoalan di kemudian hari.
Menurut Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Provinsi Maluku Benediktus Sarkol di Ambon, Kamis (26/7/2018), perlu pendampingan intensif terhadap warga Komunitas Adat Terpencil (KAT) lewat program pemerintah ataupun lembaga kemanusiaan. Pendampingan semacam itu kini banyak dilakukan bagi masyarakat adat terpencil di Indonesia dan relatif berhasil.
Untuk memahami kondisi masyarakat, pendamping harus tinggal bersama mereka dalam kurun waktu tertentu. Pendampingan diikuti pelayanan pendidikan dan kesehatan.
Selama ini, banyak program bagi masyarakat KAT, tetapi tidak tepat sasaran dan tidak berlanjut. ”Tidak bisa hanya satu hari ke sana terus foto-foto untuk buat laporan pertanggungjawaban,” kata Benediktus.
Pemerintah kesulitan melayani kebutuhan warga di pedalaman yang tidak terkoordinasi dengan baik.
Para pendamping yang bertugas juga bertanggung jawab mengaderkan sukarelawan baru yang berasal dari KAT itu sendiri. Cara semacam itu ditemukan di pedalaman Kabupaten Asmat, Papua, Januari lalu. Pihak Keuskupan Agats melakukan pendampingan melekat dan mengaderkan sukarelawan baru di sejumlah kampung.
Menurut Benediktus, opsi relokasi hanya akan membuat warga KAT tercerabut dari akar budaya, keseharian, hak ulayat, hingga kesempatan mereka memuja Sang Pencipta. Ia berharap agar sisi ini dipahami pemda. Sebaiknya, rencana relokasi tidak dilakukan. ”Kalau dilakukan, mereka akan kembali ke hutan. Pemerintah hanya menghamburkan anggaran,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Jusnick Anamofa, tokoh pemuda Gereja Protestan Maluku. Ia menambahkan, ada dampak buruk yang ditimbulkan dari relokasi seperti yang dialami masyarakat tiga pulau di Maluku Tengah, yakni Teon, Nila, dan Serua, yang direlokasi tahun 1978.
Dengan alasan ancaman bencana letusan gunung api, mereka direlokasi ke dataran Waipia di Pulau Seram. Hingga 40 tahun kemudian, tidak ada letusan gunung api itu.
Memunculkan konflik
Jusnick menuturkan, saat ini sering terjadi konflik lahan di Waipia antara warga pindahan dan warga setempat sebagai pemilik lahan. Sebagian tempat tinggal mereka juga digugat oleh pemilik lahan yang mengaku belum mendapatkan ganti rugi dari pemerintah.
Akibatnya, warga kian tertekan dan sulit mendapat lahan baru. Bahkan, tempat pemakaman umum pun tiada. Warga terpaksa memakamkan anggota keluarga mereka di halaman rumah.
Di tempat terpisah, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Maluku Tengah Mori Latuconsina mengatakan, opsi relokasi itu atas pertimbangan pendekatan pelayanan. Menurut dia, pemerintah kesulitan melayani kebutuhan warga di pedalaman yang tidak terkoordinasi dengan baik. Untuk menemui mereka harus melalui perantara.
Rencana relokasi itu akan dibicarakan dalam rapat yang dipimpin Bupati Maluku Tengah Abua Tuasikal beberapa hari mendatang. Ia bersikukuh bahwa relokasi adalah solusi terbaik bagi masyarakat KAT agar tidak terjadi lagi kelaparan, seperti yang mengakibatkan tiga orang meninggal, yakni dua anak balita dan satu lansia pada awal Juli lalu.
Hari Selasa (24/7/2018), bantuan makanan dikirim tim, termasuk anggota TNI menuju lokasi warga yang berjarak satu hari perjalanan. Tim berjalan kaki naik turun bukit dan menyeberangi sungai untuk tiba ke Mause Ane. Mereka membawa makanan dan obat-obatan.