Kamboja Setelah Juli Berakhir
Di bawah keraguan sejumlah negara atas praktik demokrasinya, Kamboja akan menggelar pemilu. Politisi dari 20 partai akan membujuk 8,4 juta pemilih agar memberi suara yang mereka butuh demi mendapat salah satu dari 125 kursi di parlemen.
Di Kamboja, partai harus memperoleh minimal 50 persen+1 untuk bisa membentuk pemerintahan. Sistem itu berlaku di banyak negara yang menerapkan parlementarian. Dengan demikian, untuk bisa membentuk pemerintahan dan mendapat kursi perdana menteri, partai apa pun harus bisa mendapatkan minimal 63 kursi pada parlemen hasil pemilu 2018. Pimpinan peraih kursi mayoritas akan menjadi PM.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kamboja menyiapkan 22.967 tempat pemungutan suara dalam pemilu yang akan diselenggarakan pada Minggu (29/7/2018) itu. "Pemilu kali ini lebih baik dibandingkan pemilu 2013. Tidak ada ketakutan yang memicu orang menimbun makanan, tidak ada peledakan bom, atau bentuk sabotase lain," kata juru bicara Partai Rakyat Kamboja (CPP) Suos Yara.
Politisi dari partai berkuasa Kamboja itu mengklaim demokrasi di kerajaan itu membaik. Peserta pemilu meningkat dari 8 partai pada 2013 menjadi 20 pada 2018. Para pemilih dinyatakan lebih bebas dan tidak ketakutan seperti di pemilu sebelumnya.
"Ada yang berpendapat ini pemilu palsu, demokrasi tidak berjalan. Semua disuarakan satu sumber. Kami terbuka, mengundang orang-orang terhormat untuk memantau pemilu. Mantan presiden, mantan menteri, mantan kepala pemerintahan, semua orang terhormat yang tidak akan menggadaikan integritasnya," tuturnya.
Para pemantau itu berdatangan ke Kamboja sejak Kamis. KPU Kamboja menyebut 155 pemantau dari negara lain akan melihat pelaksanaan pemilu 2018. Pada Jumat (27/7/2018), mereka mendatangi kampanye CPP di Phnom Penh.
Menurut mereka, kampanye itu berjalan baik dan tidak masalah. Mereka tidak mempersoalkan polisi dan tentara yang mengenakan seragam CPP dan membawa atribut partai itu saat bertugas mengamankan kampanye. Para aparat itu tidak berpakaian dinas.
Selain kampanye CPP, sebagian pemantau juga mendatangi kampanye Partai Liga Demokrasi (LDP). Massa kedua partai sempat bertemu kala berkonvoi menuju tempat kampanye masing-masing. Mereka berpapasan tanpa insiden. Bahkan, mereka saling menyapa. "Ini hanya kampanye, buat apa ribut-ribut. Ini kampanye paling tenang dalam sejarah Kamboja," kata Aya, seorang perempuan yang tinggal di Kandal, provinsi di sebelah Phnom Penh.
Tidak Bebas
Meski kampanye dan pemilu dinyatakan paling tenang dan aman, ada warga Kamboja tetap mau berbicara terbuka soal proses demokrasi di kerajaan itu."Itu pertanyaan berbahaya," kata Lala, seorang pemuda di Phnom Penh .
Alih-alih menjawab soal demokrasi di negaranya, ia malah menyatakan hanya ingin hidup tenang. Bagi dia dan keluarganya, hal terpenting adalah keadaan tetap aman sehingga iklim usaha tidak terganggu.
Orang Kamboja memang punya trauma soal transisi kekuasaan. Kudeta Jenderal Lon Nol terhadap Raja Norodom Shinanouk, penggulingan Lon Nol oleh Pol Pot dan Khmer Merah, lalu kejatuhan Pol Pot oleh pembelot Khmer Merah membuat kerajaan itu terperangkap perang saudara selama puluhan tahun.
Penandatanganan kesepakatan damai oleh faksi-faksi bertikai di kerajaan itu tidak serta merta membawa perdamaian. Dalam lima pemilu sebelum ini, selalu ada kecemasan soal keamanan Kamboja sebelum dan selepas pemilu. Ketakutan itu memicu orang Kamboja menimbun makanan menjelang pemilu 2013. "Waktu itu harga-harga melonjak karena barang langka," kata Bun Ly, seorang importir aneka produk Indonesia.
Seperti Lala, ia juga menyebut pertanyaan soal demokrasi Kamboja adalah hal berbahaya. "Silahkan dinilai sendiri faktanya, semua bisa dilihat dengan jelas," kata dia.
Sejumlah orang di Kamboja menyebut pemilu sudah selesai sejak tahun lalu. Pemenangnya sudah dipastikan CPP dan Hun Sen akan tetap jadi Perdana Menteri Kamboja seperti puluhan tahun terakhir. Sebab, tidak ada lagi penantang serius CPP di pemilu 2018.
Minim Oposisi
Pemilu 2018 memang diikuti lebih banyak partai dibandingkan pemilu 2013. Akan tetapi, sejumlah pihak meragukan pemilu 2018 benar-benar akan berlangsung adil. Keraguan itu menyusul pembubaran Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP) pada 2017. CNRP adalah salah satu dari dua partai peraih kursi parlemen hasil pemilu 2013.
Foto yang diambil menjelang Pemilu Kamboja tahun 2013 menunjukkan, presiden partai oposisi Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP) Sam Rainsy (kanan) pesimis pada Pemilu Kamboja yang berlangsung Minggu (28/7/2013) ini akan bebas, jujur dan adil. Ia mensinyalir adanya kecurangan seperti lebih dari 1 juta pemilih namanya hilang dari daftar pemilih. Hal itu diungkapkan dihadapan pemantau Pemilu Internasional di kantor CNRP di Phnom Penh, Kamboja, Sabtu (27/7/2013).
Keputusan pengadilan untuk membubarkan CNRP membuat 55 kursinya dibagikan ke enam partai lain yang pada pemilu 2013 gagal mendapat suara melebihi ambang batas minimal yang ditetapkan 6,5 persen. Dari enam partai, LDP dan Partai Anti Kemiskinan Khmer (KAPP) menolak bagi-bago kursi itu. Karena itu, jatah mereka diserahkan ke CPP.Tambahan kursi dari CNRP membuat total kursi CPP mencapai 79. Hukuman untuk CNRP bukan itu saja. Ketua CNRP, Kem Sokhlak dipenjara karena tuduhan pengkhianatan dan bekerja sama dengan negara asing. Pimpinan CNRP lain, Sam Rainsy, mengasingkan diri ke Perancis. Ia juga terancam ditangkap bila pulang ke Kamboja. Ada pun pengurus CNRP lainnya dilarang terlibat dalam aktivitas hingga 2022.
Suos secara terbuka menyebut Sam Rainsy sebagai pelanggar hukum dan pengganggu. Ia menuding CNRP menjual populisme. "Inti dari populisme adalah membuat banyak janji kosong yang tidak bisa ditepati.Semua demi membujuk pemilih. Banyak pemimpin negara lain menang karena populisme. Di Kamboja, tidak bisa seperti itu. Kamboja punya demokrasi sendiri," ujarnya.
Demokrasi Kamboja dinyatakan bukan demokrasi liberal seperti diyakini dan diterapkan negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Demokrasi Kamboja menurut CPP mirip dengan doktrin demokrasi Asia yang dikenalkan mantan PM Singapura Lee Kuan Yew. Lee menyebut Asia menerapkan demokrasi yang disandingkan dengan nilai lokal.
Tanpa CNRP, tidak ada lagi partai yang kuat untuk menantang CPP pimpinan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen. Pria yang sudah menjadi wakil PM lalu PM sejak 1985 disebut akan kembali berkuasa selepas pemilu 2018.
Funcinpec pimpinan Pangeran Norodom Ranaridh sempat disebut akan menjadi penantang cukup kuat bagi CPP dan Hun Sen. Ranaridh sudah bermusuhan dengan Hun Sen selama puluhan tahun sejak dicopot dari kursi wakil PM. Pencopotan Ranaridh membuat Hun Sen tidak punya pesaing dalam berkuasa.
Dalam sejumlah pemilu, Funcinpec selalu gagal menembus batas minimal perolehan suara. Selepas pembubaran CNRP, Funcinpec disebut punya peluang meraih suara para pendukung CNRP. Akan tetapi, semuanya berantakan kala konvoi kampanye Funcinpec ditabrak taksi di Kamboja selatan. Kecelakaan itu menewaskan istri sang pangeran dan membuat kakak raja Kamboja itu patah tulang di beberapa bagian tubuh. Persiapan Funcinpec pun kacau balau setelah pemimpinya diterbangkan ke Thailand untuk dirawat di sana.
Partisipasi
Oposisi memang tidak jadi masalah bagi CPP dan Hun Sen untuk meneruskan kekuasaannya. Pekerjaan rumah Hun Sen adalah memastikan partisipasi tinggi di pemilu 2018. "Pemilu adalah soal mendapat legitimasi rakyat. Karena itu, penting memastikan partisipasi tinggi," kata Suos.
Partisipasi memang menjadi sorotan sejumlah negara. CPP berusaha keras menaikkan partisipasi, Sam Rainsy dan pendukungnya justru menganjurkan golput. Mereka menggunakan media sosial untuk menyebar ajakan itu.
CPP melawannya dengan berbagai cara. Kepolisian Kamboja secara terbuka menyatakan ajakan golput sebagai pelanggaran hukum. Penganjurnya bisa ditangkap.
Partai berkuasa itu juga memanfaatkan jaringan pejabat di daerah untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Bahkan, sejumlah pejabat sekaligus pengurus CPP di daerah mengakui diperintahkan untuk menekan pemilih agar mau memberi suara pada pemilu. Pemilih diancam dikucilkan dan sulit mendapat layanan publik jika tidak memberi suara.
Suos membantah ada intimidasi. Menurut dia, CPP hanya menawarkan Kamboja lebih baik jika CPP kembali berkuasa. "Kami akan memperbaiki sistem jaminan sosial, pendidikan yang lebih baik, dan kesempatan kerja yang terbuka bagi siapa saja. Kami menjanjikan siapa saja bisa mendapat pekerjaan sesuai kualitasnya, bukan karena dia anggota partai apa," ujarnya.
Sementara warga melihat, Kamboja setelah pemilu pada akhir Juli 2018 sebagai Kamboja yang sama. Kamboja yang tetap dikuasai CPP dan Hun Sen yang terus memerintah, meski sudah jadi PM terlama di bumi.