Mahkamah Konstitusi memeriksa tiga perkara kotak kosong terkait pilkada Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dan Kabupaten Puncak, Papua.
JAKARTA, KOMPAS - Pada hari kedua pemeriksaan perkara sengketa selisih hasil pilkada, Mahkamah Konstitusi mengadili tiga perkara yang terkait dengan kotak kosong. Dua perkara diajukan dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dan satu perkara lainnya dari Kabupaten Puncak, Papua. Substansi permohonan ketiga perkara tersebut pun sama sekali berlainan.
Majelis panel pertama yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman menyidangkan dua perkara dari Kota Makassar, Jumat (27/7/2018). Pemohon pertama ialah M Ramdhan Pomanto alias Danny Pomanto (walikota petahana) yang berpasangan dengan Indira Mulyasari. Pemohon diwakili oleh tim kuasa hukumnya yang dipimpin oleh M Rullyandi dan Yusril Ihza Mahendra. Pemohon lainnya dari Makassar ialah pasangan Munafri Arifuddin dan Rachmatika Dewi Yustitia Iqbal (Appi-Cicu), yang diwakili kuasanya, M Nursal dan Refly Harun
Adapun satu perkara lainnya yang terkait kotak kosong diajukan oleh Lembaga Masyarakat Adat Kerukunan Masyarakat Pegunungan Tengah Lapago. Lembaga tersebut mengajukan diri sebagai pemohon dalam Pilkada Kabupaten Puncak. Pemohon mendalilkan lembaga adat itu memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon karena Pilkada Puncak dilangsungkan dengan calon tunggal. Hukum acara di MK membolehkan kelompok pemantau pilkada mengajukan diri sebagai pemohon dalam sengketa pilkada dengan calon tunggal yang melawan kotak kosong.
Dalam sidang kemarin, pasangan Appi-Cicu dari Makassar meminta MK agar menyatakan pasangan tersebut sebagai pemenang. Alasannya, kemenangan kotak kosong di Makassar sarat dengan pelanggaran dan kecurangan penyelenggaraan pilkada. Appi-Cicu mempersoalkan keterlibatan pasangan Danny-Indira yang dianggap turut mengampanyekan kemenangan kotak kosong. Kuasa hukum Appi-Cicu juga meminta MK meneruskan perkara itu ke tahap pembuktian karena ada problem hukum yang mesti diberikan solusi oleh MK.
KPU Makassar menetapkan kotak kosong sebagai pemenang pilkada. Pasangan Appi-Cicu hanya meraih 264.245 suara, sedangkan kotak kosong sebesar 300.795 suara
”Pembuat UU menganggap kotak kosong ini pasif. Namun, tidak terpikirkan oleh pembuat UU bagaimana kalau ada calon peserta pilkada yang didiskualifikasi, tetapi bisa berbuat aktif dalam menyokong kotak kosong ini. Kenyataannya, petahana yang didiskualifikasi itu dilantik kembali sebagai wali kota sehingga dengan posisinya itu bisa melakukan pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif guna memenangkan kotak kosong,” kata Yusril.
Putusan ”dismissal”
Di lain pihak, pasangan Danny-Indira meminta MK agar mengulang pilkada dengan hanya menyertakan Danny-Indira sebagai kontestan melawan kotak kosong. ”Semestinya memang pilkada ini diulang, tetapi hanya menyertakan Danny-Indira sebagai kontestan, karena Appi-Cicu terbukti tidak diinginkan oleh rakyat,” kata Refly.
Dalam perkara lainnya, Refly yang juga kuasa pemohon dalam perkara Kabupaten Puncak, meminta MK menggelar kembali pilkada di kabupaten itu karena calon tunggal melakukan kecurangan melawan kotak kosong. Dalam pilkada di Puncak, calon tunggal Willem Wandik-Pelinus Balinal unggul atas kotak kosong. Willem-Pelinus meraih 143.539 suara, sedangkan kotak kosong 14.813 suara.
Namun, pemohon selaku pemantau pilkada menyebut ada pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan calon tunggal, sebab ada indikasi ketidaknetralan penyelenggara, dan persyaratan calon wakil bupati yang tidak dipenuhi.
Juru Bicara MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, fenomena calon tunggal dalam pilkada menjadi salah satu perhatian MK. Namun, apakah perkara yang terkait dengan kotak kosong atau calon tunggal itu diteruskan ke dalam pemeriksaan substansi permohonan, hal itu memerlukan kajian mendalam oleh MK.
Setelah menyidangkan perbaikan permohonan, MK menjadwalkan sidang putusan dismissal untuk menentukan apakah suatu perkara diteruskan ke tahap pembuktian atau tidak. Sedianya putusan dismissal digelar pada 9-15 Agustus 2018.