JAKARTA, KOMPAS— Meski terjadi dini hari, minat masyarakat menyaksikan gerhana bulan total terlama pada abad ke-21, Sabtu (28/7/2018), tinggi. Banyak orang rela menanti hingga gerhana tak lagi terlihat karena Bulan sudah terbenam. Gerhana bulan total selanjutnya yang bisa dilihat dari Indonesia terjadi 26 Mei 2021.
Warga Jakarta mulai memadati Plaza Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat malam. Meski pengamatan dimulai pukul 23.00, warga datang sejak dua jam sebelumnya. Rentang usia pengunjung mulai dari anak sampai warga lanjut usia, meski didominasi anak muda.
Situasi serupa terjadi di sejumlah daerah. Pengamatan juga ada di Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Sumedang, Jawa Barat; Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta; dan Masjid Al Akbar, Surabaya, oleh Lembaga Falakiyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur.
Makin malam, kian banyak pengunjung datang. Meski suhu di Sumedang Sabtu dini hari menyentuh 11 derajat celsius, minat masyarakat tetap besar.
”Jumlah pengunjung gerhana kali ini lebih sedikit dibandingkan gerhana bulan 31 Januari lalu,” kata Koordinator Kegiatan Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ) Muhammad Rayhan. Pada gerhana 31 Januari lalu ada 4.500-5.000 pengunjung, sedangkan saat gerhana Sabtu kemarin sekitar 1.000 orang.
Jumlah pengunjung gerhana kali ini lebih sedikit dibandingkan gerhana bulan 31 Januari lalu.
Di sejumlah lokasi, sembari menanti gerhana bulan yang mulai berlangsung pukul 00.15, warga bisa melihat Mars, Jupiter, dan Saturnus melalui sejumlah teropong yang disediakan.
Selain di Indonesia, antusiasme menyambut gerhana bulan juga terjadi di Arab Saudi. Wartawan Kompas, Nasrullah Nara, dari Mekkah melaporkan, gerhana berlangsung setelah isya. Jemaah di Masjidil Haram menyambutnya dengan shalat gerhana bulan (shalat Khusuf).
Selanjutnya, jemaah melakukan tawaf (mengelilingi Kabah tujuh kali) dan sai (berlari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah). Setelah beribadah, jemaah melihat gerhana sambil zikir.
Shalat gerhana juga digelar di masjid di sejumlah kota, termasuk Masjid Al Akbar, Surabaya, dan Masjid Agung Serang, Banten. Di Jakarta, beberapa masjid juga menggelar shalat gerhana. Selain di Indonesia, gerhana bulan bisa disaksikan di sebagian besar Asia, Australia, Eropa, Afrika, dan Amerika Selatan.
Memerah
Dari Jakarta, sejak fase gerhana bulan sebagian dimulai pukul 01.24, piringan Bulan yang semula kuning cerah berubah jadi merah kehitaman. Perubahan terjadi dari bagian atas atau timur Bulan dan paling akhir bagian barat atau bawah.
Saat gerhana bulan total berlangsung pukul 02.30-04.13, Bulan berubah jadi merah kehitaman. Warna piringan Bulan itu hampir sama dengan warna langit malam Jakarta yang penuh dengan polusi cahaya.
”Warna merah kehitaman Bulan itu terjadi karena gerhana kali ini termasuk gerhana sentral. Bulan berada di dekat titik terjauhnya, banyak debu atau partikel udara di langit Jakarta, dan diselubungi awan tipis,” kata anggota staf Planetarium dan Observatorium Jakarta yang juga pembina HAAJ, Widya Sawitar.
Warna merah kehitaman Bulan itu terjadi karena gerhana kali ini termasuk gerhana sentral. Bulan berada di dekat titik terjauhnya, banyak debu atau partikel udara di langit Jakarta, dan diselubungi awan tipis.
Sepanjang gerhana, tampak Planet Mars di dekat Bulan dan bintang Fomalhaut atau Alfa Piscis Austrini di atas kepala. Sementara hujan meteor Delta Aquariid yang mencapai puncaknya Sabtu dini hari tak tampak sama sekali, kalah terang dengan langit malam Jakarta. ”Saat fase totalitas gerhana, bintang-bintang redup di rasi Capricornus tertangkap kamera, tetapi tak terlihat mata,” kata Rayhan.
Seluruh proses gerhana berakhir pukul 06.29. Namun, sejak pukul 05.45, Bulan sulit diamati akibat terhalang pohon dan gedung tinggi Jakarta.
Sejumlah pengunjung bertahan sampai gerhana selesai. Hamdinal (36) setia mendampingi putrinya, Rayna (7), melihat gerhana dari sejumlah teleskop di TIM. Meski kantuknya mendera, putrinya justru bersemangat. ”Takjub. Ini pengalaman pertama,” ujarnya.
Hermita (35) juga rela mendampingi anaknya, Alif (5), yang menyukai astronomi setahun terakhir. Ia tak hanya hafal nama dan urutan planet, tetapi juga ciri-cirinya. ”Aku mau jadi astronot. Nanti aku mau tinggal di planet paling dingin, Neptunus,” kata Alif.
Menjadi astronot ialah cita-cita banyak anak kecil. Orangtua tak perlu khawatir karena anak dalam masa mengeksplorasi pengetahuannya. Hal itu berkembang sesuai pertumbuhan, pengetahuan, dan pengalaman anak.
Astronomi bisa dimanfaatkan untuk membuka pengetahuan anak soal sains dan membangun kedekatan mereka dengan lingkungan sekitar. Ketertarikan itu jadi bekal anak mempelajari bidang ilmu apa pun, baik eksakta, ekonomi, maupun humaniora. ”Astronomi itu gerbang pengetahuan,” ucap komunikator astronomi dan pengelola situs Langitselatan.com, Avivah Yamani.