Masa persidangan sengketa hasil pilkada di Makamah Konstitusi adalah musim “panen” bagi advokat. Ratusan advokat dari berbagai firma hukum berbondong-bondong menenteng tas atau map berisi berkas perkara ke MK. Ketakpuasan calon atas hasil pilkada jadi rezeki mereka.
Riuhnya kehadiran advokat terlihat sejak awal Juli lalu, ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah melakukan rekapitulasi suara. Mereka intens datang ke MK untuk berkonsultasi mengenai prosedur pendaftaran perkara, menanyakan jadwal, atau memastikan format permohonan. Puncaknya ialah kehadiran advokat pada Kamis dan Jumat lalu (26-27 Juli 2018), saat sidang pemeriksaan pendahuluan perkara sengketa pilkada digelar.
Ruang sidang MK yang biasanya sepi, kini didominasi para advokat dari berbagai firma hukum di daerah maupun Jakarta, Ada nama-nama yang tak asing di telinga, semisal mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra atau Refly Harun yang kerap menjadi ahli di MK. Para advokat hadir mewakili prinsipal dari berbagai latar belakang.
“Masa panen” inilah yang dinanti-nanti advokat. Dari 171 pilkada tahun ini, ada 70 permohonan sengketa yang diregistrasi MK. Jika pemohon dan termohon masing-masing menghadirkan minimal dua kuasa hukum, paling sedikit ada 280 advokat terlibat dalam persidangan. Jumlah itu belum termasuk kuasa hukum pihak terkait (pasangan calon), Bawaslu, dan Panwaslu.
Bisa dipahami kalau banyaknya perkara yang masuk ke MK di satu sisi menjadi berkah tersendiri bagi advokat. Nurdiansyah dari Sulawesi Selatan, misalnya, sudah dua kali menjadi kuasa hukum dalam perkara pilkada.
“Tahun lalu (Pilkada 2017), saya menangani sengketa pilkada dari Tolikara, Papua dan tahun ini dari Kota Parepare,” ujar lelaki berusia 26 tahun ini, Jumat.
Nurdiansyah tak menampik dirinya menerima fee dalam jumlah yang lumayan dari kandidat yang diwakilinya. Hal itu pula yang antara lain membuatnya tertarik menangani perkara pilkada. Bagi advokat, ini adalah jalan cepat memeroleh pendapatan profesional.
“Ini impian setiap advokat untuk bisa beracara di MK. Alhamdullilah saya sudah dua periode pilkada ini beracara di MK. Di umur yang baru 26 tahun, tentu saya bersyukur bisa beracara di MK, dan ini prestasi tersendiri bagi pengacara muda,” katanya lagi.
Ucapan syukur atas “rezeki” yang diterima itu pun beberapa kali diungkapkan oleh M Nursal (32), pengacara yang tahun ini memegang empat perkara pilkada. Nursal yang mengelola firma hukum M Nursal&Partners di Makassar ini mengaku lebih nyaman menjadi kuasa hukum bagi pemohon atau pihak terkait. Hal ini terkait langsung dengan pendapatan profesionalnya sebagai advokat.
“Pihak terkait dan pemohon itu kan pasangan calon. Lumayan juga (pendapatannya) itu. Kalau KPU (KPU daerah/termohon), kan pertama karena anggaran atau nomenklaturnya ditetapkan (ada batasan), dan kedua, pencairannya itu bertahap, bukan cash and carry, ha-ha-ha,” jelas Nursal.
Trek cepat
Sebagaimana Nurdiansyah, Nursal merasakan dampak positif dari beracara di MK. Bisa berperkara di MK menaikkan nilai tawar atau gengsi advokat dan firma hukum bersangkutan. “Beracara di MK juga membuat advokat lebih bisa mengungkapkan argumentasi hukumnya, karena ada diskursus yang kental di MK. Advokat leluasa mengemukakan argumentasi hukum berdasarkan landasan teori atau buku yang kami baca. Jadi, ada dua alasan menarik beracara di MK, selain alasan pragmatis, juga ada prestise,” kata Nursal.
Citra MK sebagai peradilan modern tak bisa dimungkiri membuat advokat ingin bisa beracara di MK. Kalau soal honorarium, menurut Refly, hal itu relatif. Dibandingkan dengan perkara kepailitan, fee advokat dari perkara pilkada masih kalah besar. Hanya saja beracara di MK memang merupakan trek cepat bagi advokat.
“Yang paling menguntungkan di sini ialah trek cepat. Kalau dibandingkan dengan perkara lain, seperti (sidang perkara) pidana kan enam bulan. Belum lagi harus menunggu hakim, tidak jadi sidang, dan problem macam-macamlah. Jadi, tekanannya (menangani perkara) di peradilan umum jauh lebih banyak karena menyangkut nasib orang, masa tahanan, dan sebagainya,” kata Refly.
Yang paling menguntungkan di sini ialah trek cepat. Kalau dibandingkan dengan perkara lain, seperti (sidang perkara) pidana kan enam bulan. Belum lagi harus menunggu hakim, tidak jadi sidang, dan problem macam-macamlah. Jadi, tekanannya (menangani perkara) di peradilan umum jauh lebih banyak karena menyangkut nasib orang, masa tahanan, dan sebagainya
Adapun untuk perkara sengketa pilkada, advokat tidak lama-lama bersidang. Advokat hanya beberapa kali sidang, lalu selesai atau putus dalam batas waktu tertentu. “Tetapi hasilnya lumayan,” ujarnya.
Melihat fenomena “panen” ini, advokat senior Denny Kailimang mengingatkan agar kesempatan itu dimanfaatkan dengan baik. “Advokat itu profesi mulia atau terhormat, sehingga setiap advokat wajib menjaga harkat dan martabat profesinya. Sebagai advokat enggak usah neko-neko. Jalankan profesi seusai hukum. Kalau memang kalah ya jangan berbuat sesuatu di luar prosedur,” tutur Denny.
Penerimaan honorarium atau pun jasa hukum dari penanganan perkara pilkada tidak melanggar etika profesi advokat. Besaran fee tergantung pada kesepakatan antara klien dengan advokat bersangkutan.
“Besaran fee bermacam-macam tergantung kontrak, apakah mereka dibayar dengan sistem hour time atau lumpsum. Mereka yang dari daerah, tentu senang bisa datang ke Jakarta dan beracara di MK. Kalau rata-rata dibayar Rp 100 juta saja, itu sudah senang mereka,” kata Denny.
Terlepas dari “panen” yang dinikmati advokat saat menangani perkara pilkada di MK, advokat memiliki tanggung jawab besar. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat secara tegas menyatakan advokat adalah penegak hukum. Publik tentu berharap para advokat yang menangani perkara pilkada di MK tidak malah menyalahi hukum dengan menyuap atau memberi gratifikasi. Pertanggungjawaban advokat ialah pada hukum dan keadilan, bukan semata-mata pada klien.