Pemerintah Dinilai Lamban Mengantisipasi Kekeringan
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·3 menit baca
INDRAMAYU, KOMPAS — Rapat koordinasi lintas sektoral untuk mengatasi kekeringan di sentra pangan nasional akan digelar Selasa (31/7/2018) di Indramayu, Jawa Barat. Petani menilai, langkah antisipasi itu lamban karena lebih dari 2.000 hektar sawah di Indramayu telah puso akibat kekeringan.
Zaenal Muttaqin, petani di Desa Muntur, Kecamatan Losarang, Indramayu, mengatakan, lahan miliknya seluas 2 bahu atau 1,4 hektar sudah gagal panen akibat kekeringan. Padi yang berumur 70 hari tak lagi tumbuh karena kekurangan pasokan air.
”Kalau rapat koordinasinya sekarang, ya sudah terlambat. Sawah kami sudah puso, tidak bisa diselamatkan,” ujar Zaenal, Minggu (29/7/2018), di Indramayu.
Menurut dia, biaya produksi, seperti pengolahan lahan dan tanam padi, sekitar Rp 11 juta. Namun, modal itu tak kembali karena sawahnya telanjur puso. Padahal, dalam kondisi normal, ia mampu meraup 5-6 ton gabah kering giling (GKG). Dengan luas lahan 116.000 hektar, Indramayu mampu menghasilkan 1,7 juta ton GKG.
”Pengairan untuk sawah petani harus bergiliran. Di daerah kami hanya dapat dua hari. Padahal, kami membutuhkan air jauh lebih lama dari itu,” ujar Zaenal.
Menurut Zaenal, tata kelola air oleh pemerintah daerah tidak memadai. Buktinya, ada desa yang 100 persen mendapatkan pasokan air, sementara desa lain, seperti Ranjeng dan Muntur, mendapatkan sedikit air. Bahkan, jaringan irigasinya dangkal.
Berdasarkan data Unit Pelayanan Teknis Daerah Balai Penyuluhan Pertanian Losarang, dari 4.651 hektar sawah, 2.393 hektar belum terairi dalam sepekan terakhir. Bersama Gabuswetan dan Kandanghaur, Losarang merupakan daerah yang dapatkan pasokan air terakhir dari Saluran Induk (SI) Cipelang.
Sebelumnya, Wakil Ketua Bidang Pengadaan Sarana dan Prasarana Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Indramayu Waryono mengatakan, sedikitnya 2.000 hektar sawah di Losarang dan Kandanghaur mengalami puso akibat kekeringan. ”Ini sudah kami laporkan sejak bulan lalu, tetapi belum ada tanggapan,” ujarnya.
Menurut dia, pemerintah seharusnya dapat mencegah lahan pertanian puso. Sebab, nyaris setiap tahun, saat musim kemarau, petani mengalami kekeringan. Apalagi pada 2015, Indramayu mengalami puso hingga 17.094 hektar (Kompas, 19/9/2015). ”Kami juga tidak diberitahu agar tidak menanam dulu untuk menghindari puso,” ujarnya.
Saat dikonfirmasi, Sekretaris Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu Takmid menampik keterlambatan pemerintah dalam mencegah kekeringan.
”Kami sudah lakukan langkah-langkah di lapangan seperti berkoordinasi dengan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung. Memang ada yang puso, tetapi tidak mencapai ribuan hektar,” ujarnya.
Ketua Tim Upaya Khusus Padi Jagung dan Kedelai Jabar Banun Harpini juga mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan BBWS Cimanuk-Cisanggarung untuk menyalurkan air ke sentra pertanian.
Air juga dipakai bergiliran untuk keperluan cabang olahraga dayung disiplin canoe slalom dalam Asian Games 2018 di Bendung Rentang, Majalengka. ”Tanggal 31 Juli ini kami rapat koordinasi untuk membahas masalah itu (kekeringan),” ujarnya.
Selama ini, pasokan air di sentra padi itu berasal dari Waduk Jatigede, Sumedang, dan disalurkan melalui Bendung Rentang. Air lalu menuju dua saluran induk, yakni Sindupraja dan Cipelang.
Saluran induk Sindupraja menyalurkan air untuk 20.620 hektar sawah di Cirebon, 36.000 hektar sawah di Indramayu, dan lebih dari 100 hektar sawah di Majalengka. Sementara SI Cipelang mengairi lebih dari 30.000 hektar sawah di Indramayu dan 300 hektar sawah di Majalengka.