Warga Bukit Duri Menanti Kampung
JAKARTA, KOMPAS – Sedikitnya, 90 kepala keluarga dari RW 11 Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan menunggu kepastian penggantian lahan mukim mereka pascapenggusuran 2016. Mereka masih memperjuangkan pembangunan Kampung Susun di RW 11 dalam gerakan Ciliwung Merdeka.
Ketua RW 11 Kelurahan Bukit Duri Muhammad Siroj pada Sabtu (28/7/2018) mengatakan, konsep Kampung Susun menjadi jalan tengah bagi penggantian lahan mukim warga yang tergusur. Hal itu dicapai setelah gugatan 90 keluarga yang tergabung dalam Komunitas Ciliwung Merdeka dan diajukan melalui Balai Besar Sungai Wilayah Ciliwung Cisadane (BBWSCC) dimenangkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.
Selanjutnya, kata Siroj, Wisma Ciliwung yang terletak di RW 11 dengan luas area tanah sekira 2,4 hektar direncanakan menjadi lokasi pembangunan Kampung Susun. “Tidak ada pembedaan antara KK satu dengan yang lain, masing-masing nilai ganti ruginya Rp 200 juta,” ujar Siroj.
Penggusuran yang terjadi pada 2016 itu mencakup permukiman warga di 3 RW, yaitu RW 10, 11, dan 12 Bukit Duri. Kala itu, penertiban dicapai melalui sejumlah sosialisasi yang relatif tanpa protes dari warga. Muhammad, Kepala RW 12 Bukit Duri, mengatakan, penggusuran waktu itu sudah dilakukan dengan bertahap dan melalui sosialisasi dari pihak Pemprov DKI dan Pemkot Jakarta Selatan, hingga tingkat kelurahan dan RW-RW. “Ya, ada beberapa warga yang waktu itu tidak setuju, tapi akhirnya sebagian besar mau dipindahkan,” kata Muhammad, yang biasa disapa Haji Mumuk.
Berkaca pada kondisi sebelum relokasi pada 2016, Haji Mumuk mengatakan bahwa kondisi permukiman warga kini menjadi lebih baik. Namun, ia mengharapkan ada tindak lanjut dari upaya pemerintah untuk penataan lingkungan permukiman mereka.
“Mudah-mudahan setelah penataan lingkungan nanti, bisa menjadi lebih baik,” kata Haji Mumuk.
Sejak relokasi itu, sedikitnya ada 60 kepala keluarga di RW 12 yang pindah ke hunian baru di rumah susun Rawa Bebek, Pulo Gadung, Jakarta Timur. Sementara itu, menurut Siroj, mereka yang tidak mau dipindahkan ke rusun di Rawa Bebek itulah yang mengajukan banding. “Mereka tidak mau dipindahkan ke (rusun) Rawa Bebek. Ya, namanya juga sudah lama tinggal menyatu di lingkungan sini (Bukit Duri),” kata dia.
Sebagian dari 90 KK yang menolak penggusuran tersebut kini ada yang tinggal menumpang di rumah saudara, atau mengontrak di rumah seorang warga lain. Muridin (65), misalnya, sejak 2016 mengontrak di rumah kontrakan milik Haji Ahmad di RT 2 RW 10 Bukit Duri. Dia mengontrak di situ bersama istri dan beberapa warga lain yang memeprjuangkan ganti rugi lewat Ciliwung Merdeka.
“Ya, kita sudah dua tahun di sini, September 2016. Ada 12 kamar yang sudah terisi dari total 20,” kata Muridin, Sabtu (28/7/2018) saat ditemui di halaman kontrakan yang sekaligus kios dan warung tempat ia berdagang.
Menyatu dengan Bukit Duri
Sabtu siang (28/7/2018), deretan kios-kios kerajinan di sepanjang Jalan Bukit Duri Utara memajang beragam produk mebel, seperti kusen-kusen pintu, lemari, dan meja tamu. Usaha mebel ini sejak lama digeluti oleh warga setempat. Maka, sekalipun beberapa warga telah pindah tempat tinggal pascarelokasi 2016, mereka masih mengusahakan kios mebel di situ. Mereka menjadi potret sebagian eks warga Bukit Duri yang tidak begitu saja meninggalkan kampung mereka.
Seorang eks warga RW 12, Sadik, misalnya, bercerita, ia telah tinggal di Bukit Duri sejak kecil. Lantas, pada Juni 2016, ia berpindah ke hunian baru di rusun Rawa Bebek. Meskipun begitu, setiap hari ia datang ke Bukit Duri untuk mengawasi usaha mebel yang ia kembangkan di kampung asalnya itu. Hampir saban pagi ia juga mengantarkan anaknya yang bersekolah di SD di kawasan kampung Bukit Duri. “Malam hari baru pulang ke Rawa Bebek,” kata Sadik.
Ada yang tetap beraktivitas di Bukit Duri, baik menjalankan bisnis ataupun mengantarkan anak bersekolah. Wati (58) bersama suaminya Muridin harus membuka warung nasi goreng setiap petang pukul 18.00 hingga malam hari.
“Susah, Mas, buat bayar kontrakan ya kita usaha jualan. Kita sebulan bayar sewa kontrakan ini Rp 2 juta,” ungkap Wati. Napsiah (45), warga RW 12 yang juga mengontrak bersama Wati mengatakan, ia bisa saja tinggal bersama keluarganya di Bogor. “Ya, tapi anak-anak pada sekolah di sini (Bukit Duri),” kata dia beralasan.
Dia menyewa kontrakan di situ dibantu oleh Komunitas Ciliwung Merdeka di bawah koordinasi Sandyawan. Namun sejak Juni 2018, Ciliwung Merdeka tidak lagi mengontrak di situ dan berpindah “kantor” ke Matraman, Jakarta Timur. Akibatnya, Muridin bersama istri dan warga lain yang mengontrak rumah kontrakan Haji Ahmad harus membayar lebih mahal.
“Pak Sandyawan orangnya dermawan, cukup membantu orang-orang kecil seperti kami ini,” ungkap Wati.
Nasib masa depan 90 kepala keluarga ini sungguh menjadi harap-harap cemas. Mereka tidak tahu pasti bagaimana tentang rencana Kampung Susun. Muridin mengatakan, ia belum tahu di mana lokasi kampung susun akan dibangun. “Apa saja kebijakannya, ya mudah-mudahan nanti dapat (tempat tinggal) yang baik,” kata Muridin.(Robertus Rony Setiawan)